Beragam merek rokok mengisi etalase di belakang kasir minimarket. Sementara di warung-warung, rokok biasa dijual per batang alias ketengan, pilihan bagi perokok berkantung pas-pasan. Bagi sebagian orang, rokok telah menjadi kebutuhan primer seperti halnya makanan.
Dalam sejarah bisnis rokok tersebutlah nama Nitisemito. Ia lahir di Kudus, Jawa Tengah pada 1863, dengan nama kecil Roesdi. Ayahnya, H. Soelaiman, seorang lurah di Desa Jagalan, Kudus Kulon.
Nitisemito menjadi simbol pengusaha bumiputra yang sukses di masa Hindia Belanda. Ia berhasil menjadi pengusaha rokok terbesar sebelum Perang Dunia II. Sehingga pers menjulukinya raja kretek.
Saking tersohornya, sebut Alex Soemadji Nitisemito dalam Raja Kretek Nitisemito, nama sang kakek bahkan tercatat dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang terkenal dengan lahirnya Pancasila.
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! ... bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!” kata Sukarno.
Baca juga: Cara Raja Kretek Mempromosikan Rokoknya
Menurut Christianto Wibisono dalam Jangan Pernah Jadi Malaikat dari Dwifungsi “Penguasaha”, Intrik Politik, sampai “Rekening Gendut”, Bung Karno secara khusus menyebut raja kretek Nitisemito dengan peringatan halus bahwa Indonesia merdeka adalah mementingkan kepentingan nasional seluruh masyarakat dan bukan orang per orang.
“Bukan Indonesia yang hanya enak buat Nitisemito,” tulis Christianto, “tetapi Nitisemito yang kaya juga harus berbuat untuk Indonesia.”
Sebelum menjadi pengusaha rokok, Nitisemito sempat menjajal usaha lain, mulai dari konfeksi, membuat minyak kelapa hingga jual beli kerbau. Akhirnya, ia melihat peluang usaha dari berjualan rokok kretek.
Baca juga: Terpukau Tanaman Suci Tembakau
Pada pagi dan siang hari, tulis Mark Hanusz dalam Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, Nitisemito bekerja menjadi sopir dokar, sementara di malam hari ia berjualan tembakau. Pada masa itu, di pasaran Kudus tengah ramai oleh kehadiran rokok klobot isi cengkeh. Tak jarang ditemukan pengemudi dokar, pedagang kaki lima, hingga buruh harian yang mengisap rokok jenis baru tersebut.
Melihat pasar rokok cukup menjanjikan di Kudus, Nitisemito mengusahakan rokok kretek secara kecil-kecilan. Ia melinting sendiri rokok yang dijualnya. Rokok kretek merupakan campuran tembakau, cengkeh, dan saos yang dibungkus daun jagung kering, serta diikat benang atau serat berwarna merah, hijau, atau warna lain. Daun jagung untuk membungkus rokok kretek kini diganti kertas tipis yang terkenal sebagai rokok sigaret kretek.
Baca juga: Rokok Kretek Rumahan Eksis di Tengah Krisis
Kala itu belum ada rokok kretek bermerek, beberapa diproduksi rumahan dan dijual di apotek. Nitisemito mengemas rokoknya dan memberinya merek. Mula-mula mereknya Kodok Mangan Ulo yang artinya “Katak Makan Ular”. Nama itu ditertawakan dan dikritik pelanggannya. Ia pun mengganti mereknya dengan gambar Bulatan Tiga dan mencantumkan namanya. Rokok kreteknya kemudian dikenal dengan merek Cap Bal Tiga Nitisemito.
Hanusz menyebut Nitisemito pertama kali memproduksi rokok kretek merek Bal Tiga pada 1906 dan mendaftarkan perusahaannya sebagai NV (naamloze vernootschap atau perseroan terbatas) Bal Tiga Nitisemito pada 1908. “Ia segera mulai memasarkan produknya dengan cara yang belum pernah dilihat di Indonesia sebelumnya termasuk mencetak labelnya di Jepang,” tulis Hanusz. Nitisemito juga memelopori strategi marketing dengan memberikan hadiah dan penawaran khusus bagi pelanggannya.
Kendati tuna aksara, Nitisemito telah menerapkan prinsip-prinsip perusahaan modern, salah satunya memiliki armada angkutan untuk mengangkut hasil produksi perusahaannya. Alex memperkirakan armada milik perusahaan rokok kretek Bal Tiga Nitisemito tidak kurang dari seratus kendaraan. “Kendaraan tersebut terdiri dari bus untuk angkutan rokok, bus untuk memamerkan barang-barang hadiah, truk serta sedan,” sebut Alex.
Pemasaran rokok kretek Bal Tiga Nitisemito meliputi seluruh Indonesia. Perusahaan memberikan buku bon bensin kepada karyawan yang bertugas keliling Indonesia. Bon itu dapat ditukar dengan bensin pada pompa-pompa bensin di seluruh Indonesia.
“Jadi, misalnya karyawan tersebut membutuhkan 50 liter bensin, maka karyawan tersebut cukup memberikan kepada petugas bensin 50 lembar,” tulis Alex.
Baca juga: Kisah Rokok Kretek Agus Salim
Begitu juga dengan penginapan, para karyawan yang menginap di hotel-hotel tertentu tak perlu mengeluarkan uang untuk membayar sewa kamar. Karyawan cukup menunjukkan kartu tugas dari perusahaan dan menandatangani surat informasi jangka waktu menginap di hotel tersebut. Sistem ini dimaksudkan untuk menghindari karyawan menginap di hotel tingkat rendah sekadar untuk mendapatkan sisa uang. Selain itu, dengan menginap di hotel yang memiliki fasilitas mumpuni, pegawai diharapkan dapat beristirahat dengan tenang sehingga keesokan harinya dapat bekerja dengan baik.
Pompa-pompa bensin dan hotel-hotel kemudian setiap bulan menagih uangnya pada agen perusahaan terdekat. Sedangkan agen yang membayar bensin dan hotel biasanya memotong uang perusahaan yang harus dibayar.
“Untuk pompa-pompa bensin di seluruh Indonesia lembaran kertas atau bon-bon dari perusahaan rokok Bal Tiga Nitisemito dapat berfungsi sebagai uang kontan. Hanya saja khusus membeli bensin di pompa-pompa bensin,” tulis Alex. Sedangkan untuk hotel hanya hotel tertentu yang telah melakukan perjanjian dengan pihak perusahaan.
Baca juga: Apakah Aidit Seorang Perokok?
Kejayaan perusahaan rokok kretek Bal Tiga Nitisemito terdampak Perang Dunia II dan kedatangan balatentara Jepang ke Indonesia. Perang dan pendudukan Jepang tak hanya menyebabkan perusahaan tutup, tetapi juga menderita kerugian cukup besar. Perang yang berlarut-larut menyulitkan perusahaan untuk mengembangkan usahanya. Tak hanya faktor keamanan tetapi juga sulit memperoleh bahan baku dan daerah pemasaran terbatas.
Usia yang semakin sepuh membuat Nitisemito menyerahkan perusahaan rokok Bal Tiga Nitisemito kepada putra tertua, Soemadji Nitisemito dengan akta notaris. Nitisemito yang dijuluki bapak industri kretek Indonesia meninggal dunia pada 1953 di usia 78 tahun.
Dua tahun kemudian, tulis Hanusz, perusahaan rokok Bal Tiga Nitisemito dinyatakan bangkrut dan kretek Bal Tiga menghilang dari pasaran. Lambat laun popularitas rokok Bal Tiga Nitisemito tergeser produk-produk rokok dari perusahaan lain.*