Terpukau Tanaman Suci Tembakau
“Tanaman Suci” yang terus dicari juga dicerca, di tengah berbagai temuan tentang dampaknya bagi kesehatan.
EKSOTIS dan berkhasiat. “Dunia Baru” Columbus bukan hanya membawa gelombang demam emas dan mutiara, namun juga hasrat keingintahuan bangsa Eropa terhadap sejumlah hewan dan tanaman lokal untuk dapat memanfaatkannya, secara komersial maupun medis.
Tak semua sampel tanaman komunitas Indian Amerika yang dibawa mampu beradaptasi dengan iklim Spanyol. Koka adalah salah satunya. Namun tembakau bisa tumbuh dan melesat menjadi pusat perhatian. Adalah Nicolas Bautista Monardes, seorang figur medis Spanyol yang menanam sampel tembakau di kebunnya di Seville dan mengujicoba, khususnya daun tembakau, untuk merawat pasiennya.
“Daun tembakau memiliki kemampuan menghangatkan dan mencairkan, menutup dan menyembuhkan luka baru, sementara luka lama perlahan menjadi bersih dan kembali dalam kondisi sehat… segala kebaikan tanaman obat ini akan kita bahas lebih lanjut, termasuk manfaatnya bagi semua orang,” tulis Monardes membanggakan tembakau dalam publikasinya yang terbit sekitar 1565-1574. Publikasinya dalam edisi bahasa Inggris terbit pada 1577 dengan judul Joyful News out of the New Found World.
Kabar gembira mengenai tembakau dalam kesimpulan Monardes mengikuti kerangka pemahaman medis Yunani yang dipelopori Galen, yaitu setiap bentuk penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan biologis (humor) manusia yang terdiri atas darah, empedu hitam, empedu kuning dan mukus, yang juga terbagi atas empat dimensi cuaca. Monardes mengklasifikasi manfaat tembakau memberikan keseimbangan humor dalam dimensi “panas” dan “dingin”. Daun tembakau, menurutnya, dapat menyembuhkan banyak gangguan seperti sakit perut, bau mulut, sakit kepala, luka-luka, nyeri otot, hingga mengurangi sakit melahirkan.
“Dalam kondisi nyeri gigi, yang disebabkan humor dingin, buatlah gulungan dari lembaran daun tembakau dan tempelkan di bagian gigi yang sakit, yang sebelumnya telah dibasuh dengan kain yang diperciki sari tembakau...,” salah satu ulasan Monardes.
Dua dari 64 varietas tembakau yang teridentifikasi di wilayah Amerika, Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum, sering dikonsumsi komunitas Indian. Jordan Goodman dalam Tobacco in History: The Cultures of Dependence, menyebut keduanya memiliki kandungan nikotin yang sangat tinggi dibandingkan varietas tembakau yang dipakai bangsa Eropa masa itu maupun sekarang. Bagi kelompok Indian, tembakau adalah tanaman suci, yang memfasilitasi perubahan tingkat kesadaran menuju dunia para roh dan mampu menyembuhkan berbagai bentuk penyakit. Goodman menyimpulkan bahwa membakar serta menghisap asap tembakau merupakan cara tercepat menyerap nikotin, dan biasanya dipimpin oleh seorang shaman (dukun) dalam ritual penyembuhan atau penyembahan roh.
Sejak abad ke-17, konsumsi tembakau di Eropa meluas. Mike Jay dalam High Society: Mind-Altering Drugs in History and Culture menyebutkan peperangan yang terjadi di berbagai wilayah Eropa turut menyebarluaskan kebiasaan “minum-asap” di antara prajurit dan menjadi simbol kebersamaan kaum pria. Konsumsi tembakau pun tak lagi terbatas dengan pipa. Menghirup bubuk halus tembakau (snuff), yang juga tersedia dalam beberapa jenis rasa buah atau bunga serta dikemas dalam kaleng-kaleng berornamen sempat menjadi trend di kalangan bangsawan Inggris pada abad ke-18. Munculnya kertas penggulung (papirossi) juga membuat kebiasaan merokok kian menjalar ke berbagai lapisan masyarakat Eropa hingga abad ke-19.
Kebiasaan yang mulai populer ini tak sepenuhnya diterima semua kalangan. Raja James I dari Inggris termasuk yang mengecamnya. Dalam testimoni A Counterblaste to Tobacco pada 1604, dia menyebut merokok sebagai “sebuah kebiasaan yang tak enak di mata, menyakitkan hidung, mengganggu otak, berbahaya untuk paru-paru.”
Dalam buku The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer karya Siddharta Mukherjee, istilah carcinogen, atau agen penyebab kanker yang disebabkan faktor-faktor eksternal atau buatan manusia (bukan dari ketidakseimbangan internal seperti faham Galen), mulai terdefinisi lewat penelitian ilmuwan Inggris, Percival Pott, pada 1775. Pott menyelidiki tingginya jumlah anak-anak penyapu cerobong asap yang menderita kanker skrotum. Hasil penelitian Pott menyimpulkan bahwa paparan debu asap beracun, yang kemudian menempel pada luka-luka di kulit anak-anak penyapu, menjadi celah berkembangnya kanker.
Namun hingga awal abad ke-20, teori yang menghubungan kanker dengan merokok masih dianggap sebagai kemustahilan. Bahkan seorang ahli bedah paru terkemuka dari Amerika pada 1920-an dan perokok berat, Evarts Graham, meremehkan penelitian rekan sejawatnya, Alton Oschner, yang menghubungkan peningkatan penjualan rokok dengan jumlah penderita kanker paru-paru. Graham menjawab Oschner dengan berkata, “Jika demikian, menggunakan stocking nilon pun dapat menyebabkannya (kanker)!”
Berbeda dari penyakit menular yang memiliki agen pembawa (carrier) seperti penyakit-penyakit zoonotis umumnya (malaria, rabies, dan sebagainya), di mana metode cause-effect (penyebab-dampak) dapat diterapkan, penyebaran kanker membutuhkan pendekatan berbeda. Para peneliti di Amerika dan Eropa awalnya menerapkan metode case-control, di mana sekelompok pasien penderita kanker menjadi kelompok target (case) dengan pasien nonkanker sebagai kelompok pembanding (control).
Pada 1948, peneliti di Inggris, Richard Doll dan Austin Bradford Hill, menerapkan metode case-control terhadap ratusan pasien di beberapa rumahsakit di London yang terbagi atas dua kelompok: penderita kanker, termasuk kanker paru-paru, dan nonkanker. Di awal penelitian, mereka mempertimbangkan berbagai sumber karsinogen selain merokok seperti paparan aspal, serta jarak tempat tinggal pasien dengan stasiun gas, pabrik, dan asap batubara.
Kedua peneliti –dalam tulisan Mukherjee– kemudian prihatin dengan tingginya statistik yang mengarah pada kebiasaan merokok. Kebanyakan penderita kanker yang terdata adalah mereka yang menghisap asap rokok dengan model sigaret, ketimbang pipa. Doll, seorang perokok yang awalnya meyakini paparan aspal sebagai penyebab kanker paru-paru, tak lagi bisa mempertahankan argumentasinya dan berhenti merokok di tengah penelitiannya. Hasil penelitian mereka, “Smoking and Carcinoma of the Lung”, pun dipublikasi dalam British Medical Journal pada 1950.
Doll dan Hill pun memperluas hasil penelitian mereka dengan menerapkan pendekatan cohort – mengobservasi jenis penyakit kelompok target dan pembanding serta penyebab kematian dalam periode beberapa tahun. Mereka mulai mengirimkan survei singkat tentang sejarah merokok kepada 59.600 dokter di Inggris pada Oktober 1951. Kelompok dokter yang menjadi target adalah mereka yang lahir antara 1900-1930. Jawaban para dokter kemudian mereka kelompokkan berdasarkan kategori perokok dan bukan perokok. Doll dan Hill kemudian mencatat setiap terjadinya kematian di masing-masing kelompok serta penyebab kematian.
Hasil penelitian mereka selama empat tahun dan lima bulan itu akhirnya terbit pada 1957 dan dimuat British Medical Journal dengan judul “Lung cancer and other causes of death in relation to smoking; a second report on the mortality of British doctors”. Dari total 1.714 kematian yang tercatat, 84 di antaranya disebabkan kanker paru sebagai faktor utama dan dialami oleh lebih dari 90% perokok –di mana kategori perokok berat (di atas 25 gr tembakau sehari) memiliki tingkat mortalitas tertinggi. Penyebab kematian lainnya termasuk jenis kanker lain dan penyakit jantung.
Penelitian Doll dan Hill berjalan bersamaan dengan sejumlah penelitian lainnya, termasuk di Amerika. Evarts Graham yang terkenal dengan komentar “stocking nilon”, bersama ilmuwan Ernest Wynder, akhirnya bersedia berkolaborasi meneliti sejarah penderita kanker paru-paru yang disebabkan kebiasaan merokok dalam jangka waktu lama. Hasil penelitian mereka, terbit pada 1950 dengan judul “Tobacco Smoking as a Possible Etiologic Factor in Bronchiogenic Carcinoma“ dalam publikasi American Medical Association, menunjukkan dari 605 penderita kanker paru-paru, sebanyak 96,5% adalah perokok sigaret.
Sayangnya, Evarts Graham pun kemudian terdiagnosis kanker paru-paru tujuh tahun setelah publikasinya. Graham, yang beberapa tahun sebelumnya baru berhenti merokok, awalnya menderita keluhan serupa flu. Setelah berminggu-minggu tak kunjung sembuh, dia memutuskan melakukan pemeriksaan x-ray dan menemukan tanda-tanda kanker paru-paru.
“Saya sangat gelisah untuk mengabarkan penyakit ini kepadamu, mengingat persahabatan serta kerjasama yang baik dan menyenangkan yang kita lakukan untuk mengalahkan musuh ini, yang kini berhasil menaklukkan saya,” tulis Graham dalam surat kepada Wynder, 6 Februari 1957. Kondisi Graham terus menurun hingga meninggal dunia pada 4 Maret 1957.
Pro dan kontra tembakau terus berlanjut. Bergulirnya penelitian baru serta peraturan-peraturan pemerintah di Eropa dan Amerika yang membatasi ruang lingkup perokok, batasan usia, serta pencantuman bahaya merokok terhadap kesehatan diikuti dengan berbagai studi dan lobi untuk mendebatnya. Merokok telah menjadi bagian dari budaya manusia dan akan selalu menjadi sebuah pilihan untuk menikmati atau menghentikannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar