Masuk Daftar
My Getplus

Pelajar Indonesia di Jepang Bekerja di Markas Sekutu

Setelah Jepang menyerah, pelajar Indonesia di Jepang bekerja di markas Sekutu. Hidupnya terjamin tapi ada yang kena gampar tentara Sekutu.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 31 Jul 2021
Demonstrasi pelajar Indonesia di Jepang pada 1949. (Repro Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang)

Serangkaian kereta listrik tiba di stasiun Tokyo. Hampir tiap keretanya penuh sesak oleh penumpang orang Jepang. Kecuali satu kereta. Sangat lowong. Tertulis di badan kereta tersebut “Kereta Khusus untuk Tentara Sekutu”. Bahrin Samad, seorang pelajar Indonesia di Jepang, langsung memasukinya.

Bahrin percaya diri memasukinya karena mengenakan seragam GI (Government Issue atau Tentara Amerika Serikat). Pada stasiun berikutnya, beberapa anggota GI kulit putih masuk. Sebagian bernyanyi-nyanyi, lainnya kelihatan mabuk. Seorang GI mabuk mendekat ke Bahrin. Tanpa banyak cingcong, dia langsung menampar muka Bahrin.

“Oleh si penampar pada saat itu saya dinilai overacting,” kata Bahrin dalam “Kena Tampar Tiga Kali” termuat dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.

Advertising
Advertising

GI itu naik darah melihat Bahrin mengenakan seragam GI dan masuk kereta khusus tentara Sekutu. Bahrin turun pada stasiun berikutnya untuk mencegah keributan lebih lanjut. Dia menyadari kesalahannya. Tak sembarang orang boleh mengenakan seragam GI meski dia bekerja di kantor tentara Sekutu sebagai penerjemah.

Bahrin adalah salah satu eks pelajar Indonesia di Jepang dari program Nampo Tokubetsu Ryugakusei (Nantoku). Mereka berangkat secara bergelombang pada 1943–1944. Semua biaya ditanggung oleh pemerintah Jepang. Tapi keadaan berubah setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Beasiswa mereka terhenti. Hidup mereka morat-marit.

Baca juga: Pelajar Indonesia Berjuang di Jepang

Beberapa Nantoku memilih pulang ke Indonesia dengan susah payah. Mereka harus menjalani pemeriksaan ketat dari tentara Belanda di Jepang dan mengambil kewarganegaraan (onderdaan) Belanda untuk sampai ke Indonesia. Tapi setelah tiba, mereka justru menggabungkan diri dengan kelompok pro-Republik.

Sebagian kecil Nantoku tetap tinggal di Jepang. Tapi ini juga bukan urusan gampang. Uang tak ada. Barang-barang sulit didapat. Hidup susah walaupun masih bujangan. Beruntung Markas Tentara Pendudukan Sekutu (GHQ SCAP) membuka lowongan kerja untuk tenaga penerjemah dan juru ketik di Yokohama, Gifu, Tokyo, dan kota lainnya. Jenis-jenis pekerjaan itu tak semua orang Jepang bisa lakukan sehingga Nantoku berpeluang besar diterima.

“Banyak dari mereka memperoleh pekerjaan di berbagai bagian Markas GHQ SCAP sebagai juru bahasa, penerjemah, dan sejenisnya,” sebut Ken’ichi Goto dalam “Bright Legacy or Abortive Flower: Indonesian Students in Japan During World War 2”, termuat dalam Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during World War 2.

Nantoku memiliki modal kemampuan bahasa Jepang, Inggris, dan Belanda. Itu membantu mereka punya daya tawar lebih di mata tentara Sekutu. Gaji mereka juga terbilang cukup baik selama bekerja di markas tentara Sekutu. Singkatnya, kebutuhan makan dan sandang mereka terjamin.

Baca juga: Nasib Orang Indonesia di Jepang Pasca Perang

Nantoku juga menjalin hubungan baik dengan perwira tentara Sekutu. “Banyak di antara mereka bersikap kawan dengan para mahasiswa kita dan dari pergaulan itu tampil nama-nama panggilan baru untuk mahasiswa-mahasiswa kita,” cerita Sam Suhaedi dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.

Bahrin, contohnya, menerima seragam dari perwira GI. Memang seragam itu tak boleh dipakai sembarangan. Polisi Militer Sekutu akan menanyakan orang-orang Asia yang mengenakan seragam GI. Tapi karena merasa sudah dihadiahi oleh seorang perwira, Bahrin merasa aman. Nyatanya dia justru dapat tamparan dari seorang tentara Sekutu di kereta.

Omar Barack, seorang Nantoku lainnya, mengisahkan bahwa dirinya beruntung bisa bekerja di markas tentara Sekutu. Uangnya sering berlebih sampai dia bisa meminjamkannya kepada tentara Sekutu.

“Karena belum mendapat bayaran, maklumlah mereka sangat memerlukannya. Sebagai imbalannya mereka memberikan rokok dan barang lainnya seperti cokelat,” kata Omar dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.

Baca juga: Penyintas Bom Atom Hiroshima dari Indonesia

Sementara itu, Arifin Bey, Nantoku penyintas bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, mengatakan dirinya tak perlu khawatir soal makan, pakaian, dan perumahan. “Karena dia punya akses ke fasilitas tentara Amerika Serikat,” sebut Ken’ichi Goto.

Yang menarik, Nantoku bisa memperoleh informasi berharga terkait situasi di Indonesia selama bekerja di markas tentara Sekutu. Ini misalnya terjadi saat agresi militer Belanda pertama pada Juli–Agustus 1947. Nantoku memprotes keras agresi dan menggalang demonstrasi melalui Serikat Indonesia, organisasi pelajar Indonesia di Jepang yang berdiri sejak 1930-an.

“Kami telah mengadakan demonstrasi-demonstrasi, mengadakan hubungan dengan luar negeri untuk mengingkatkan dukungan internasional bagi RI,” kata Umarjadi Nyotowijono, mantan Nantoku dan anggota Serikat Indonesia dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang.

Demonstrasi para Nantoku sebenarnya pernah digelar tak lama setelah Proklamasi kemerdekaan. Mereka berkumpul di Taman Hibiya, Tokyo, untuk mendukung kemerdekaan Indonesia pada 4 September 1945. Demonstrasi itu melibatkan pula pelajar asing dari Vietnam, Filipina, Korea, Tiongkok, dan Turki.

Baca juga: Nasib Mahasiswa Indonesia di Jepang Pasca Perang

“Kampanye dan unjuk rasa ini membuat bingung tentara Inggris yang sedang bertugas di Indonesia dan Vietnam untuk membebaskan tahanan perang Sekutu dari kamp interniran dan melucuti senjata tentara Jepang,” catat Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia.

Tentara Inggris sempat meminta pemimpin tentara Sekutu di Jepang untuk melarang demonstrasi semacam itu. Tapi larangan itu tak pernah diterapkan. Buktinya beberapa kali para Nantoku menggelar demonstrasi lagi.

Demonstrasi terbesar Nantoku berlangsung pada 19 Januari 1949, satu bulan setelah agresi militer Belanda II pada Desember 1948. Melalui agresi militer, Belanda menangkap Sukarno dan Hatta. Para Nantoku protes keras dengan mengirim petisi ke kantor perwakilan PBB di Jepang. Isinya menuntut penarikan mundur pasukan Belanda dan pengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia. 

Setelah mengirim petisi, para Nantoku berkumpul bersama 300 orang simpatisan Indonesia dari berbagai negara di Taman Hibiya. Dari situ, mereka bergerak ke Kedutaan Besar Belanda.

Baca juga: Pelajar Indonesia Terlibat Perang Jepang

Sepanjang jalan, mereka membentangkan spanduk “Merdeka” dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tapi mereka gagal mendekat ke Kedubes Belanda. Polisi Jepang telah memasang barikade. Beberapa wakil Nantoku kemudian berorasi.

Saat orasi, seorang Nantoku bernama Omar Tuhsin terlibat bentrok dengan polisi Jepang. Dia menamparnya sehingga diangkut dan ditahan oleh polisi militer Sekutu. Tapi penahanannya hanya sebentar. Esok harinya dia sudah bebas.  

Pendudukan tentara Sekutu di Jepang berakhir pada 1952. Bersama itu pula, para Nantoku mengakhiri masa tinggalnya di Jepang. Mereka pulang ke Indonesia secara bergilir.

TAG

jepang mahasiswa indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem