Masuk Daftar
My Getplus

Penyintas Bom Atom Hiroshima dari Indonesia

Kisah mahasiswa Indonesia bertahan dari bom atom dan menyelamatkan korban.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 17 Agt 2018
Mahasiswa Indonesia yang belajar di Hiroshima, 1943-1944. Kiri-kanan (berdiri): Sukristo Sastrowarsito, Sam Suhaedi, Supadi, dan Tarmidi. (Duduk): Muskarna Sastranegara, orang Jepang, Sudio Gandarum. (Repro Suka-Duka Pelajar Indonesia di Jepang).

KAMPUS Bunridai Tokubetsu Gakka di Horishima, Jepang, kelihatan lengang pada pagi 6 Agustus 1945. Banyak kelas kosong. Sebagian besar mahasiswa Jepang dan dosen-dosen mudanya telah bergabung secara berkala ke angkatan perang Jepang sebagai tenaga bantuan untuk menghadapi serangan tentara Amerika Serikat di kota-kota utama Jepang sejak awal 1945.

Sebuah sungai membentang di dekat kampus. Suara aliran sungai biasanya mudah terdengar oleh mahasiswa. Tapi tidak pagi itu. Pesawat pengebom Amerika Serikat terbang di atas kampus. Petugas keamanan Jepang membunyikan sirine peringatan tanda bahaya. Suaranya meraung-raung, menelan suara aliran sungai.

Empat mahasiswa, dua dari Indonesia (Arifin Bey dan Hasan Rahaya) dan dua asal Malaya, berada dalam kelas ketika suara pesawat pengebom dan sirine bersahutan. Mereka masih anyar sekaligus orang asing sehingga harus tetap menjalani perkuliahan di kampus. Dosen mereka berusia lanjut. Perawakannya kurus selaik orang kurang gizi. Langkah-langkahnya pun payah.

Advertising
Advertising

“Staf pengajar seperti inilah yang tinggal di kampus,” kenang Arifin dalam Pertiwi No. 4, 16-29 Juni 1986.

Dosen tua itu baru muncul di kelas usai suara pesawat pengebom dan sirine lenyap dari pendengarannya. Dia sempat bersembunyi di ruang bawah tanah kampus begitu mendengar suara pesawat pengebom dan sirine, sesuai instruksi keselamatan dari pihak kampus

Arifin dan tiga kawannya pernah berkali-kali masuk ke ruang bawah tanah untuk menyelamatkan diri. “Ternyata tidak terjadi apa-apa, kami tidak masuk lubang lagi,” tulis Arifin. Mereka malah melihat pesawat-pesawat pengebom melaju di angkasa dan menyimpulkan Hiroshima tidak mungkin dibom. Paling-paling Kobe atau Osaka, pikir mereka.

Pagi itu, Arifin dan tiga kawannya enggan melihat pesawat pengebom seperti hari-hari sebelumnya. Mereka memilih tinggal di kelas, sebab sinar mentari cukup terik dan dosen sudah hadir pula.

Dosen tua memulai kuliah. Tangannya memegang kapur dan menuliskan beberapa kalimat di papan tulis. Tiba-tiba cahaya benderang serupa kilat merasuk ke ruangan melalui jendela kelas. Tidak ada bunyi apapun. Dosen tua itu sigap berlari ke luar ruang kelas. Tapi tahu-tahu atap bangunan ambruk, menimpa dosen tua dan Arifin beserta tiga kawannya. Mereka pingsan.

Perkiraan Arifin dan tiga kawannya salah. Bukan Kobe atau Osaka sasaran pengeboman, melainkan Hiroshima. Dan tidak tanggung-tanggung, menurut John Hersey dalam Hiroshima: Ketika Bom dijatuhkan, bom tersebut mengandung uranium dan berkekuatan puluhan ribu kali lipat dari bom biasa. Itulah bom atom, bom berdaya ledak paling dahsyat masa itu.

Mahasiswa Indonesia di Hiroshima

Mengapa Arifin dan tiga kawannya bisa sampai di Hiroshima pada 6 Agustus 1945? Cerita mereka bermula pada 1944. Pemerintah Jepang membuka pendaftaran program Nampo Tokubetsu Ryugakusei gelombang kedua. Program ini memberi kesempatan kepada anak-anak muda di wilayah pendudukan Jepang di Asia Tenggara untuk belajar di Jepang.

Gelombang pendaftaran pertama berlangsung pada awal 1943. “Sebanyak 75 pemuda dari seluruh Jawa berkumpul di Jakarta untuk disaring menjadi 20, yakni jumlah yang akan dikirim ke Jepang. Ternyata yang diasramakan 23 orang,” kata Sukristo Sastrowarsito kepada Sam Suhaedi dalam Suka-Duka Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945.

Sukristo dan Sam termasuk rombongan pertama yang berangkat ke Jepang pada Juni 1943. Universitas-universitas di Tokyo menjadi tempat tempaan pertama mereka. Di sini mereka mendapat pendidikan persiapan, semisal bahasa dan kebudayaan Jepang.

Setelah masa pendidikan persiapan kelar, panitia program membagi rombongan pertama ke dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka terpencar ke universitas-universitas di Jepang seperti Kyushu dan Hiroshima, 900 kilometer dari Tokyo.

Sukristo dan Sam bersama empat orang lain masuk kelompok Hiroshima. Ketika mereka datang pada musim semi 1944, Hiroshima jauh dari ingar-bingar perang. “Meskipun mempunyai peranan sangat penting dalam membantu usaha perang sebagai konsentrasi tentara yang akan diberangkatkan ke banyak penjuru medan pertempuran serta daerah pendudukan,” lanjut Sukristo.

Sukristo dan Sam memperhatikan Hiroshima semakin sepi setiap harinya. Para lelaki muda dan mahasiswa Jepang beranjak ke palagan. Suatu hari rasa sepi mereka sedikit terobati oleh kehadiran rombongan kedua program Nampo Tokubetsu Ryugakusei. Antara lain Arifin dan tiga kawannya.

Begitulah jalan Arifin bisa sampai di Hiroshima pada hari nestapa, 6 Agustus 1945.

Membantu Korban Bom

Arifin membuka matanya. Dia perlahan siuman. Pandangannya masih lamur. Sekelilingnya seperti malam. Gelap, hitam, dan pekat.

Beberapa menit kemudian, Arifin bisa melihat dengan jelas. Ada kabut hitam, reruntuhan bangunan, dan debu di sekelilingnya. Dia melihat tiga kawannya masih bernyawa. Tenaganya memulih. “Sambil menguak reruntuhan itu, kami seorang demi seorang keluar melalui jendela,” ungkap Arifin. Mereka tak mengetahui nasib si dosen tua.

Kabut hitam menipis. Arifin dan tiga kawannya berlari meninggalkan kampus dan menyaksikan banyak bangunan telah roboh. Seekor kuda tergeletak mati. Gerobak pedagang setengah terbakar. Pepohonan meranggas. Orang-orang lintang-pukang ke berbagai jurusan. “Ada yang berlumuran darah, ada yang bajunya compang-camping, bahkan ada yang bajunya hangus terbakar,” terang Arifin.

Hiroshima hancur lebur pagi itu. Tapi kemanusiaan justru tetap tegak dalam diri Arifin dan tiga kawannya. Masih ada pikiran untuk menyelamatkan nasib sesama.

Arifin dan tiga kawannya tiba di asrama mereka. “Asrama kami ternyata remuk berantakan,” kata Arifin. Mereka berteriak dan berusaha mencari Syarif Adil Sagala, kawannya asal Riau. Mendengar namanya dipanggil kawan-kawannya, Sagala menyahut. “Di sini, saya terhimpit tidak bisa bergerak,” kata Sagala.

Arifin dan tiga kawannya mengangkat reruntuhan dan berhasil mengeluarkan Sagala. Dia cuma luka ringan pada bagian tubuh, tapi luka berat menyasar ke matanya.

Arifin dan tiga kawannya memindahkan tubuh Sagala ke tepi sungai dekat asrama. Mereka kembali ke asrama untuk mencari ibu asrama dan keluarganya.

Arifin dan tiga kawannya mendengar suara perempuan minta tolong dari puing asrama. Mereka kira suara ibu asrama. Mereka segera mendekati asal suara, menggali puing, dan mengetahui bahwa ternyata suara itu berasal dari wanita tetangga asrama. Mereka mengangkat dan merebahkan tubuhnya di tepi sungai.

Tepi sungai terus penuh oleh tubuh-tubuh manusia: lelaki dan perempuan beragam usia. Mereka masih hidup, sekujur tubuh penuh luka bakar atau memar tertimpa bangunan. Ada yang meringis kesakitan dan menangis. Tanpa bantuan Arifin dan tiga kawannnya, nasib mereka mungkin akan berbeda. “Tidak ingat saya berapa orang yang kami gendong, mungkin sepuluh, mungkin lebih,” kata Arifin.

Sepanjang 6 Agustus 1945, hanya tiga mahasiswa Indonesia berada di Hiroshima: Arifin, Sagala, dan Hasan Rahaya. Sedangkan Sam Suhaedi, Sukristo, dan mahasiswa Indonesia lain yang sempat belajar di Hiroshima, sudah dipindahkan ke luar Hiroshima sebelum Agustus oleh panitia program.

Ada seorang mahasiswa Indonesia bernama Muskarna Sastranegara. Dia masih belajar di Hiroshima seperti Arifin, Sagala, dan Hasan Rahaya. Tapi pada hari saat bom atom jatuh, dia berada di luar Hiroshima untuk berobat.

Arifin, Sagala, dan Hasan Rahaya mampu sintas dari serangan bom atom yang menewaskan 200 ribu penduduk Hiroshima. Bom atom meninggalkan radiasi pada Arifin dan Sagala, sedangkan Hasan bebas. Tapi Arifin dan Sagala bisa bertahan hidup menikmati alam kemerdekaan selama beberapa puluh tahun kemudian. Bahkan membangun keluarga dan beranak-cucu.

Arifin mengungkap dua cara sembuh dari radiasi. Cara pertama dengan menyantap makanan bergizi. Cara kedua meminum sake. “Pasien yang menderita radiasi di Hiroshima lebih cepat sembuh, kalau dia membiasakan diri minum sake tiap hari,” ungkap Arifin.

Arifin wafat di usia 85 tahun pada 2 September 2010 dan Hasan di usia 90 tahun pada 30 November 2014. Sedangkan Sagala, Historia masih terus mencari tahu kabar mutakhirnya. Dimanapun mereka sekarang, mereka telah meninggalkan warisan kisah kemanusiaan.

Baca juga: 

Kisah Bom Atom Buatan Indonesia
Paul Tibbets, Pilot Pembawa Bom Atom
Indonesia Bikin Bom Atom, Amerika Kelabakan

TAG

Hiroshima Nagasaki Jepang Bom-Atom Arifin-Bey Hasan-Rahaya Syarif-Adil-Sagala Sukristo-Sastrowarsito Sam-Suhaedi Proklamasi-Kemerdekaan Kemerdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Bos Sawit Tewas di Siantar Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis)