Pembacaan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945 menjadi tanda berakhirnya hubungan tidak resmi Indonesia dan Jepang. Selama kurun tiga tahun (1942-1945), bahkan sejak tahun 1930-an, telah banyak orang Indonesia yang menetap di Jepang. Sebagian besar memilih Negeri Sakura itu sebagai tempat menuntut ilmu.
Menurut sejarawan Universitas Waseda Ken’ichi Goto dalam Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, orang Indonesia pertama yang mendapat kesempatan belajar ke Jepang adalah Madjid Usman dan Mahjuddin Gaus. Keduanya berasal dari Minangkabau. Permohonan mereka disampaikan pada 1932 oleh konsulat Jepang Naito Keizo kepada Menteri Luar Negeri Uchida Koya di Tokyo.
“… Saya mohon agar orang-orang asing seperti ini yang masih belum memahami bahasa Jepang dapat diberi kelonggaran untuk belajar di sekolah Jepang,” tulis Naito.
Baca juga: Pelajar Indonesia Berjuang di Jepang
Setelah mereka, semakin banyak orang Indonesia yang belajar ke Jepang. Geliat ekonomi dan industri negara itu begitu memikat warga Asia lain-nya. Bahkan sejumlah pelajar Indonesia secara sukarela mendaftar ke akademi militer Jepang ketika negeri itu kekurangan kekuatan untuk menghadapi perang Pasifik. Dicatat Saari Ibrahim dalam Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, ada 17 pelajar dari Jawa dan Sumatera yang masuk Rikugun Shikan Gakko, Akademi Militer Angkatan Darat.
Namun kabar kekalahan Jepang atas Sekutu, serta kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945, membuat mereka bingung. Berdasar laporan Far Eastern Commission –Badan tertinggi dari Sekutu untuk mengurus hal-hal tentang pendudukan di Jepang– sejarawan Jepang Aiko Kurasawa mencatat ada 107 orang Indonesia di Jepang ketika perang selesai pada Agustus 1945.
“Mereka tidak yakin atas nasib diri mereka selanjutnya. Mereka menanyakan kepada diri sendiri: ‘Apakah aku akan dianggap sebagai kolaborator Jepang? Apakah aku bisa pulang ke Indonesia? Bagaimana caranya? Kalau beasiswanya putus, bagimana menjalani kehidupan selanjutnya?’ dan lain-lainnya,” tulis Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia.
Baca juga: Pelajar Indonesia Terlibat Perang Jepang
Dari 107 orang Indonesia di Jepang, imbuh Aiko, mayoritas berstatus mahasiswa. Pemerintah Jepang membaginya menjadi dua kelompok. Pertama, 24 orang yang sudah tinggal di Jepang sebelum pecahnya perang dengan keinginan dan biaya sendiri. Kedua, 83 orang mahasiswa yang dikirim ke Jepang antara tahun 1943 dan 1944 dengan program beasiswa Nantoku dari pemerintah militer Jepang.
Orang Indonesia di Jepang sendiri baru mendengar berita proklamasi kemerdekaan pada 19 Agustus 1945. Sejak kabar itu tersebar ke seluruh Jepang, kehidupan warga Indonesia di sana mulai tidak tenang. Hati mereka sungguh terguncang, antara senang atau takut. Mereka takut dampak kemerdekaan itu membuat orang-orang Jepang memberi perlakuan buruk kepada mereka. Banyak orang yang akhirnya berkeinginan untuk kembali ke tanah air.
“Sesudah 1946, hampir semua mahasiswa dari wilayah jajahan negara Barat sudah dipulangkan. Yang masih tinggal di Jepang hanya mahasiswa dari Indonesia dan mahasiswa dari Vietnam di mana masing-masing pemimpin nasionalisnya sudah memproklamasikan kemerdekaan,” ungkap Aiko.
Baca juga: Pemuda Indonesia Memilih Belajar ke Negeri Sakura
Meski begitu, pemerintahan Indonesia yang baru dibentuk belum bisa menolong 107 orang yang terlantar di Jepang tersebut. Mereka tidak bisa langsung bernegosiasi dengan pihak Sekutu, maupun pemerintah Jepang untuk mengurus kepulangan warganya. Selain karena Sekutu belum mengakui Indonesia, situasi di dalam negeri juga belum memungkinkan untuk melakukannya. Itulah satu kelemahan negara Indonesia yang baru merdeka.
Pemerintah Jepang juga tidak memberatkan keputusan orang-orang Indonesia di negaranya. Bagi mereka yang ingin tinggal, diperbolehkan asalkan menggunakan biaya sendiri. Beasiswa pemerintah Jepang akan sepenuhnya dicabut pada akhir 1946 atas keputusan Sekutu. Begitu juga dengan mereka yang ingin pulang, pemerintah tidak akan menghalangi tetapi mereka harus mencari jalan pulang sendiri.
Baca juga: Penyintas Bom Atom Hiroshima dari Indonesia
Keinginan orang-orang Indonesia di Jepang rupanya berbeda-beda. Tidak semua ingin kembali. Sebagian memilih bertahan di Jepang dan melanjutkan hidupnya, atau menyelesaikan pendidikannya. Kelompok yang ingin tinggal itu biasanya telah berumah tangga. Sementara sisanya memilih pulang, kendati dengan meminjam jasa pemerintah Belanda dan Sekutu.
“Teman-teman negeri tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Birma pulang ke negara asal mereka atas perintah dan fasilitas yang disediakan oleh mantan master kolonial, seperti Inggris dan Amerika, yang kembali dan mulai menjajah lagi,” tulis Aiko.