JAKARTA hari ini, 13 Oktober 2020, dibanjiri massa demonstran yang menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Salah satu penggerak demonstrasi adalah Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Serupa dengan KAMI yang sekarang, 55 tahun yang lalu Kesatukan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) juga menjadi motor penggerak demonstrasi anti-pemerintah Sukarno yang gigih menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pasca peristiwa 1 Oktober 1965 situasi politik dalam negeri kala itu semakin memanas. Masyarakat yang marah menyerang dan membakar kantor CC PKI di Jl. Kramat Raya No. 81, Jakarta Pusat. Sejumlah demonstrasi digelar di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia. Mahasiswa dan pelajar keluar dari kampus dan sekolahan, turun ke jalan menuntut dalang peristiwa pembunuhan jenderal diadili.
Bak bola salju yang menggelinding kian membesar, gerakan moral tersebut pun berubah menjadi gerakan politik yang menuntut pergantian kekuasaan. Pada 27 Oktober 1965, protes mahasiswa yang semula bergerak berdasarkan kampus masing-masing, bersatu ke dalam sebuah wadah bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Mereka mengajukan tiga tuntutan rakyat atau Tritura, yakni Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Bubarkan Kabinet Dwikora.
Sejarawan M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C. 1200 mencatat front mahasiswa tersebut berdiri atas dukungan dan perlindungan tentara. Penggerak intinya terdiri dari kelompok Islam, Katolik, dan kelompok pemuda yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tokoh-tokoh KAMI antara lain Cosmas Batubara, Abdul Gafur, Fahmi Idris, dan David Napitupulu.
Sejak berdiri, aksi-aksi KAMI tak pernah surut memenuhi jalanan Jakarta. Maraknya aksi demonstrasi KAMI membuat Presiden Sukarno membuka pintu dialog dengan mereka pada 21 Desember 1965. Pertemuan tersebut diselenggarakan di Istora Senayan untuk menampung sebanyak mungkin mahasiswa demonstran, kendati kehadiran hanya mencapai 70 persen dari 12 ribu kursi yang disediakan. Padahal Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Sjarief Thayeb sudah diminta untuk mengerahkan mahasiswa sebanyak mungkin dalam pertemuan itu.
"Mestinya kalau Pak Sjarief Thayeb minta mahasiswa berkumpul di Istora, Istora ini penuh sampai hampir pecah. Sebab, jumlah mahasiswa di Jakarta adalah berpuluh-puluh ribu…anak-anakku sekalian, ya biarlah sudah. Yang ada di sini cuma ada 70 persen daripada 12 ribu tempat," kata Bung Karno mengeluhkan jumlah peserta yang hadir.
Dalam pertemuan tersebut Bung Karno menyampaikan harapannya kepada para mahasiswa sebagai calon penerus kepemimpinan bangsa Indonesia agar waspada dan tak mudah diadu domba. "Bersatulah, he seluruh mahasiswa Indonesia, bersatulah!" kata Bung Karno berseru. Mengutip pidato Leon Gambetta (1838–1882), negarawan Prancis, di hadapan para pemuda-pemudi Prancis, Bung Karno katakan, "Faites-vous nos corps un marchepied, soyez plus grand que nous.... pakailah badan-badan kami itu sebagai tangga untuk naik kepada tingkat yang lebih tinggi. Jadilah lebih besar daripada kami ini."
Menyikapi beredarnya berbagai gosip seputar peristiwa 1 Oktober 1965 dan konflik horisontal di tengah masyarakat, Bung Karno mengatakan jangan sampai semua terlibat gontok-gontokan. "Komandoku ialah agar supaya di kalangan mahasiswa dan mahasiswi jangan ada gontok-gontokan. Bukan hanya gontok-gontokan fisik, tetapi juga ada gontok-gontokan mental, gontok-gontokan rasa, gontok-gontokan kepartaian, dan lain-lain sebagainya," ujarnya.
Tak hanya di Jakarta, memasuki akhir Oktober 1965 suasana di berbagai daerah pun semakin mencekam. Serangkaian penangkapan dilakukan terhadap anggota dan simpatisan PKI atas tuduhan terlibat percobaan makar dan pembunuhan para jenderal. Tindak kekerasan tak bisa dihindarkan. Kian hari tuntutan pembubaran PKI pun kian menguat. KAMI menjadi motor penggerak upaya pembubaran tersebut.
Sebagai seorang ideolog yang mengemukakan konsep Nasionalisme, Agama dan Komunisme sejak mudanya sukar untuk Bung Karno mengabulkan tuntutan tersebut. Membubarkan salah satunya sama artinya meruntuhkan bangunan pikirannya sendiri. "Insya Allah, sampai aku masuk lubang kubur, aku akan tetap berpegang kepada Nasakom itu!" katanya tegas.
"Man totet den Geist nicht, orang tidak bisa membunuh jiwa," kata Bung Karno mengutip penyair Jerman Ferdinand Freiligrath (1810–1876). Kutipan tersebut disampaikannya untuk memperkuat argumentasi tentang ide atau gagasan yang tak mungkin bisa diberangus dan ditiadakan sama sekali. Bung Karno berusaha meyakinkan KAMI untuk berpikir jernih dalam menilai situasi saat itu, sehingga semua bisa menahan diri agar tak terjadi konflik berdarah yang lebih besar.
Mengenai peristiwa 1 Oktober 1965 Bung Karno pun melancarkan kritik tajamnya. Menurut dia peristiwa Gerakan Satu Oktober 1965 (Gestok, pembunuhan para jenderal) merupakan tindakan ekstrem dari sebuah ideologi. "Gestok adalah peruncingan daripada Kom. Gestoknya harus kita hantam. Kom-nya tidak bisa dihantam," ungkapnya. Dalam pidatonya yang lain, Bung Karno mengatakan cara menyelesaikan perkara Gestok 1965 yang benar adalah dengan, "menangkap tikusnya bukan membakar lumbungnya."
Setiap ideologi yang ada di Indonesia pernah melakukan tindakan ekstrem. Dalam istilah Bung Karno "peruncingan" yang berujung pada konflik berdarah. "Nah, tapi tiap-tiap ideologi kadang-kadang, saudara-saudara, mempunya extrimiteit, peruncingan," katanya menjelaskan. Dia mengatakan tak hanya kaum Komunis, tapi juga kelompok nasionalis dan kaum agama.
"Nas pula pernah mengalami peruncingan yang dinamakan Chauvinisme. Peruncingan daripada Nasionalisme. Apa yang melahirkan misalnya saja, saudara-saudara, Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta, red.). Apa yang melahirkan Permesta? Yang melahirkan Permesta dulu itu ialah peruncingan daripada Nas," ujar Bung Karno menguraikan.
Untuk peruncingan dalam kelompok agama, Bung Karno mengambil contoh gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakkar. Dia mengatakan, "Darul Islam maupun gerakan Kahar Muzakkar kita pun telah tumpas habis dari muka bumi ini. Jadi peruncingannya itu yang harus kita hantam, saudara-saudara, bukan ideologinya an sich."
Dalam penutup pidatonya, Bung Karno kembali memberi nasihat kepada KAMI agar tidak saling membenci satu sama lain sehingga membuat Indonesia terpecah belah. "Kita tidak boleh kehilangan akal. Jangan saudara-saudara terjilat oleh sentimen, lantas pukul rata. Saudara-saudara, semuanya, semuanya saudara hantam, saudara benci. Salah demikian, saudara-saudara, salah!"
"Sekali merdeka, tetap merdeka," pungkas Bung Karno.*