Masuk Daftar
My Getplus

9 Martir Gerakan Mahasiswa Indonesia

Mereka gugur untuk menuntut situasi lebih baik di zamannya masing-masing.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 27 Sep 2019
Aksi solidaritas mahasiswa Jakarta untuk kematian 3 mahasiswa Makassar pada 1996. (Koleksi Hendi Jo)

GERAKAN mahasiswa kembali berkibar. Kerisauan rakyat dalam mencari kebenaran dan keadilan seolah terwakilkan oleh aksi mahasiswa dan pelajar pada Selasa (24/9) lalu di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta.

Tidak hanya di Jakarta, semangat tak terbendung para pemuda itu juga bergejolak di berbagai daerah, seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar, Garut, dan lain-lain. Meski terpisah, tujuan mereka tetap sama: menolak RUU KUHP dan RUU KPK. 

Akibat aksi-aksi penentangan itu, telah jatuh puluhan korban. Diberitakan jawapos.com, hingga Selasa malam jumlah korban yang masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan, mencapai 87 orang. Kepala Humas RSPP Agus Susetyo menjelaskan umumnya para korban yang dirawat mengalami kondisi sesak napas akibat gas air mata.

Advertising
Advertising

“Para korban tersebut di antaranya terdiri dari 66 pasien statusnya pasien hijau, kemudian 14 pasien status kuning, dan satu pasien status merah,” ucap Agus.

Serangkaian peristiwa ini seolah membuka kembali kenangan tentang sejumlah aksi mahasiswa yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Mereka pun dikenang sebagai martir demokrasi Indonesia. Satu yang tidak mungkin dapat dilupakan adalah Arif Rachman Hakim. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini tewas dalam suatu demonstrasi besar menentang pemerintahan Sukarno di depan Istana Negara pada Februari 1966. 

Selain Arief, tercatat beberapa mahasiswa telah gugur dalam berbagai upaya perjuangan melawan ketidakadilan. Inilah 9 di antaranya.

Aksi mahasiswa saat berdemo di Jakarta. (Fernando Randy/Historia).

Julius Usman

Tahun 1966 Bandung dilanda kepanikan. Bentrok antara mahasiswa (UNPAD, ITB, dan UNPAR) dengan sekelompok massa berseragam serba hitam di Jalan Merdeka tidak dapat dihindarkan. Pangkal permasalahan berasal dari pidato Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1966 saat peringatan 21 tahun Republik Indonesia. Si Bung menyebut adanya gerakan dari suatu kaum, yang ia sebut revolusiner palsu, yang berusaha menjatuhkan dirinya. Ia pun menyerukan ajakan untuk terus maju dan bergerak sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Rupanya ucapan Sukarno itu diartikan oleh para loyalis setianya sebagai perintah untuk menghancurkan kelompok-kelompok anti-Sukarno. Dan sasaran utamanya adalah para mahasiswa yang memang sejak beberapa tahun belakangan melakukan kritik keras kepada pemerintahan Sukarno.

Pada 19 Agustus 1966, massa pro-Sukarno bergerak ke sejumlah markas organisasi mahasiswa di Bandung. Mereka melengkapi diri dengan senjata api dan senjata tajam. Siang hari, markas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) di Jalan Lembong berhasil diduduki. Begitu juga markas KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Sejumlah mahasiswa yang sedang berada di lokasi pun menderita luka-luka akibat penyerangan tersebut.

Selain markas organisasi mahasiswa, massa juga menyasar bangunan-bangunan kampus. Di Jalan Ganeca, mahasiswa ITB dan Resimen Mahasiswa Batalion I Mahawarman membentuk barisan keamanan. Di sekitar Jalan Dipati Ukur UNPAD, Resimen Mahasiswa Batalion II Mahawarman juga sudah bersiap menghadang massa.

Sementara itu di Jalan Merdeka, massa pro-Sukarno berusaha menerobos masuk ke bangunan kampus UNPAR. Menurut Zainuddin Nurdin, dosen UNPAR yang saat itu menjadi mahasiswa fakultas ekonomi angkatan 1963, dalam “50th Anniversary of Julius Usman Death 1966” dimuat Majalah Parahiyangan Vol III No.3, situasi di depan kampus UNPAR begitu kacau. Massa yang berkumpul melepaskan sejumlah tembakan ke arah bangunan.

“Waktu itu ada dua orang mahasiswa yang terkena tembakan dan seorang pegawai kampus yang juga mahasiswa tingkat akhir dari fakultas ekonomi, yakni Julius Usman,” kenang Zainuddin.

Baca juga: Misteri Kematian Seorang Demonstran

Julius Usman merupakan mahasiswa tahun terakhir yang sedang dalam proses pengerjaan skripsi. Saat kejadian ia bersama-sama dengan staf dan mahasiswa, serta anak-anak Batalion III Mahawarman, bahu membahu menghalau massa yang ingin menduduki dan merusak bangunan kampus.

Sebelum sebuah peluru menembus tubuhnya, Julius sedang berada di lantai 2, di ruang administrasi. Saat mendengar rentetan suara tembakan, ia bergegas turun menghampiri kawan-kawannya yang masih bertahan di depan gerbang kampus sambil membawa kotak P3K. Ketika membuka pintu gerbang, seseorang melepaskan tembakan ke arahnya. Julius pun roboh. Orang-orang disekitarnya berusaha membantu. Namun sayang nyawanya tidak dapat tertolong.

Julius Usman kemudian ditetapkan sebagai “Pahlawan Ampera” oleh Panglima Kodam VI/Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Pihak Universitas Parahiyangan pun memberinya gelar doktorandus anumerta.

“Untuk mengenang almarhum, sebuah gedung yang dipakai sebagai markas gerakan pelajar dan mahasiswa di Kota Bandung dinamai Gedung Julius Usman,” tulis Taufik Abdullah, dkk dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal.

Para mahasiswi yang ikut berdemo di Senayan Jakarta. (Fernando Randy/Historia).

Rene Conrad

Tradisi memanjangkan rambut di kalangan mahasiswa memancing polemik pada 1970-an. Aturan tanpa undang-undang melarang keras mereka mereka yang berambut gondrong. Jika masih membangkang, polisi bersenjata gunting yang berkeliaran di kota tak segan memotong rambut mereka langsung di tempat.

Aturan tak berdasar itu tentu tidak dapat diterima. Pada Agustus-September 1970, para mahasiswa ITB Bandung bereaksi. Rum Aly dalam Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, menyebut bahwa pertentangan itu dimotori oleh suatu pernyataan dari Dewan Mahasiswa ITB, ditandatangani Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, yang mengecam pengguntingan rambut itu sebagai: pemerkosaan hak-hak asasi perseorangan.

Di tengah memanasnya polemik rambut gondrong ini, pejabat polisi dan pihak ITB berinisiatif mendinginkan suasana dengan menggelar pertandingan persahabatan antara mahasiswa ITB dengan para taruna Akademi Kepolisian. Pertandingan sepak bola itu diselenggarakan pada 6 Oktober 1970 di dalam kampus ITB.

Sial bagi para taruna. Dua gol yang dilesakkan para pemain Kesebalasan ITB tidak dapat dibalas. Alhasil mereka dipecundangi di hadapan suporter lawan yang sedari tadi mengolok-olok mereka dengan berteriak-teriak, "Ayo gunting rambut gua," seraya membawa-bawa gunting cukur. Saat pertandingan berakhir, bentrokan antar kedua kelompok anak muda itu pun tak bisa lagi dibendung.

“Dalam tawuran itu sudah terdengar bekali-kali suara tembakan. Para taruna rupanya membawa senjata yang digunakan untuk melepas tembakan ke atas,” tulis Rum.

Baca juga: Kisah Seorang Martir

Sorenya, para taruna yang telah puas dibuat malu itu pun pulang. Di tengah jalan truk-truk yang mengangkut mereka berpapasan dengan motor Harley Davidson yang dikendarai seorang mahasiswa ITB. Belakangan diketahui namanya Rene Louis Conrad. Ia tidak tahu apa-apa soal pertandingan persahabatan tersebut.

Rene yang sedang berboncengan dengan kawannya tiba-tiba dihujani ludah dari truk para taruna itu. Tidak terima, Rene pun bereaksi. Ia bertanya berulang kali, tetapi tidak ada yang mengaku. Kesal, Rene pun menantang. “kalau berani turun!”

Dendam dari pertandingan sebelumnya masih terbawa. Para taruna turun menerima tantangan Rene. Ia dan kawannya dikeroyok hingga Rene meregang nyawa. Beruntung, kawannya berhasil lolos karena para taruna fokus melumat Rene yang dianggap paling reaktif.

Pengeroyokan Rene sebenarnya disaksikan oleh mahasiswa lain yang sedang ada di sekitar lokasi. Tetapi saat akan membantu mereka dihadang oleh anggota-anggota Brigade Mobil (Brimob) yang berjaga di sekitar kampus. Bahkan mereka yang memaksa dihadiahi pukulan hingga harus dibawa ke rumah sakit.

Baca juga: 5 Mahasiswa yang meninggal di Belanda

Mahasiswa dan Pelajar Bandung mengecam keras tindak pengeroyokan yang merenggut nyawa Rene itu. Mereka menentang keberadaan para polisi dan meminta keadilan atas peristiwa tersebut. Pada 9 Oktober 1970, diadakan apel di kampus ITB untuk melepas jenazah Rene kepada keluarganya. Rene dikebumikan di Jakarta.

Pada 1972 proses hukum atas tewasnya Rene dijalankan. Seorang brigadir polisi bernama Djani Maman Surjaman ditetapkan sebagai tersangka, padahal pelaku sebenarnya adalah para taruna. Meski mendapat pembelaan dari Adnan Buyung Nasution, Djani tetap divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Sementara itu, para taruna yang terlibat baru diproses hukum pada 1973-1974. Mereka sendiri saat itu telah berdinas di kepolisian. Dan dari sekian banyak taruna yang terlibat, hanya 8 orang yang dijadikan tersangka.

Tiga Mahasiswa Makassar

Gelombang protes terhadap kekuasaan pemerintah Soeharto klimaksnya memang terjadi pada Mei 1998 di Jakata. Namun di beberapa daerah pergolakan telah dimulai sejak permulaan tahun 1990-an. Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu daerah yang paling bergejolak. Banyak kasus pertentangan terhadap pemerintah yang segera direaksi dalam suasana panas.

Tahun 1996 tiga mahasiswa Makassar menjadi korban dalam protes menentang kebijakan kenaikan tarif angkutan umum. Mereka adalah Syaiful Bya (21) dari Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar; Andi Sultan Iskandar (21) dan Tasrif (21). Dua nama terakhir adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI.

Ketiganya tewas dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Syaiful ditemukan di Sungai Pampang dengan penuh luka bekas pukulan benda tumpul, terutama di bagian dada dan belakang tubuhnya. Kemudian Andi ditemukan dalam kondisi luka tusukan benda tajam di bagian kiri dadanya. Sementara Tasrif ditemukan di Sungai Pampang. Ia diduga dipukul benda keras sebelum akhirnya ditenggelamkan.

Baca juga: Cerita Lucu dari Demonstrasi Mahasiswa

Menurut penuturan Arqam Azikin, Wakil Ketua Senat FISIP UNHAS (1994-1995) sekaligus aktivis 1998 dari Makassar, dilansir idntimes.com, peristiwa AMARAH (April Makassar Berdarah) dipicu oleh dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan tentang kenaikan tarif angkutan umum, yang ditindaklanjuti oleh Surat Keputusan Walikota Makassar tentang penyesuaian tarif angkutan umum di Makassar.

Kebijakan itu dianggap oleh para mahasiswa memberatkan masyarakat. Keadaan ekonomi negara yang sedang terpuruk akan membebani rakyat jika tarif tersebut diubah. Mahasiswa pun akhirnya merespon kebijakan tersebut dengan aksi-aksi yang keras.

Ujungnya, gabungan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di Makassar. Pada 8 April 1996 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pemuda Indonesia Merdeka (FPIM) menggelar mimbar bebas di UMI. Kemudian setelah mendapat massa, mereka bergerak ke kantor DPRD Sulawesi Selatan agar SK itu dicabut.

Aksi mahasiswa dilanjut pada 22 April 1996. Kali ini mereka membawa massa lebih banyak. Suasana yang sebelumnya damai berakhir menjadi tegang. Aksi demo pun diakhir bentrokan antara mahasiswa dengan aparat (polisi dan tentara). Setelah kejadian inilah, 3 orang mahasiswa tersebut dilaporkan menjadi korban. 

Moses Gatutkaca 

Kematian Moses Gatutkaca di awal1998 hingga kini masih diliputi kabut misteri yang telampau pekat. Tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas tewasnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Sanata Dharma Yogyakarta itu.

Moses ditemukan bersimbah darah di depan pertokoan di Jalan Mrican, Sleman, Yogyakarta. Luka di belakang kepalanya menunjukkan ia tewas akibat pukulan benda tumpul. Orang-orang yang menemukannya mengira ia tewas di tempat sehingga tidak segera membawanya ke rumah sakit.

Belakangan diketahui Moses dan seorang temannya terjebak di kerumunan massa yang dikejar oleh aparat. Ia saat itu sedang mencari makan malam di sekitar Jalan Gejayan yang tengah membara akibat gelombang demonstrasi massa gabungan dari mahasiswa Yogyakarta menentang pemerintahan Soeharto.

Puncak demonstrasi terjadi pada 8 Mei 1998. Ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi di gerbang kampus. Di lokasi lain, mahasiswa IKIP (kini UNY) dan Universitas Sanata Dharma juga ikut berdemonstrasi. Meski mendapat larangan keras dari aparat keamanan, IKIP dan Universitas Sanata Dharma berusaha menggabungkan diri dengan mahasiswa UGM.

Baca juga: Perlawanan dari Gejayan

“Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samusu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia.

Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa bersenjatakan batu dan bom molotov. Berbagai fasilitas publik pun hancur akibatnya. Mahasiswa yang berhamburan terus dikejar aparat.

Moses yang sedang disekitar lokasi dikira sebagai salah satu demonstran. Ia pun segera menjadi bulan-bulanan aparat. Moses terpisah dari temannya yang diketahui berhasil selamat. Ia tewas dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Panti Rapih. 

“Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samusu.

Yap Yun Hap 

Gejolak reformasi tampaknya belum benar-benar hilang dari benak sebagian rakyat Indonesia. Meski telah beberapa bulan berlalu dan tampuk pimpinan juga sudah berganti, nuansa Orde Baru masih kental terasa. Hal ini khususnya terjadi sepanjang September 1999.

Mahasiswa di beberapa wilayah Indonesia, yang masih ada dalam euforia 1998, kembali melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan penguasa yang dianggap memberatkan. Peristiwa tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap, yang terkenang dalam narasi sejarah sebagai Tragedi Semanggi II memicu kecaman keras dari seluruh mahasiswa.

Petang 24 September 1999 massa aksi demonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) berkumpul di sekitar Kampus Atma Jaya, Semanggi. Yap dari kampusnya di Depok segera bergabung dengan massa dari universitas lain yang telah berada di sana.

Harian Kompas 28 September 1999, menyebut sedari petang hingga pukul 8 malam sekitar 300-an massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sedang bersantai di sekitar lokasi. Tidak ada keributan apapun. Polisi pun banyak berjaga di sana.

Sekira pukul 20.30, suara tembakan tetiba memecah ketenangan. Dari kejauhan tampak iring-iringan mobil tentara bergerak ke arah Semanggi. Ketika mendekat, rentetan senjata semakin aktif dilontarkan. Sontak massa aksi lari berhamburan. Para mahasiswa berusaha mencari perlindungan ke dalam kampus Universitas Atma Jaya dan Rumah Sakit Jakarta (RSJ). Sempat beberapa orang demonstran mencoba melawan dengan senjata seadanya.

Baca juga: Reformasi atau Mati

Yap yang sebelumnya bersama dua kawannya, Arif dan Kokom, terpisah. Dua kawan  Yap itu berhasil bertemu kembali di RSJ pukul 22.30, tetapi Yap tidak diketahui keberadannya. Hingga tengah malam mahasiswa UI itu masih hilang.

Arif dan Kokom baru mendapatkan kabar Yap pukul 00.30. Namun betapa terkejutnya mereka saat mengetahui kawannya itu telah terbujur kaku di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Menurut berita Kompas pihak UGD RSCM mengkonfirmasi Yap masuk pukul 21.30. “Dari hasil pemerikasaan forensik oleh dr Agus P dan dr Jaya dari RSCM disebutkan bahwa korban meninggal akibat penembakan dengan menggunakan peluru tajam. Peluru tersebut juga diperlihatkan kepada saksi-saksi mahasiswa.”

Semua pihak mengutuk aksi aparat yang selalu menggunakan cara represif dalam menghadapi para demonstran. Kematian Yap kembali menjadi duka mendalam bagi iklim demokrasi Indonesia, setelah sebelumnya empat mahasiswa dalam Tragedi Trisakti (1998) dan 17 korban di Tragedi Semanggi (1998).

Dua Mahasiswa Lampung

Sebagai reaksi tewasnya Yap Yun Hap di Jakarta, mahasiswa di beberapa tempat di Indonesia (termasuk di Lampung) menggelar aksi demonstrasi yang lebih besar. Aksi solidaritas itu dilakukan untuk menuntut keadilan atas tewasnya kawan mereka dari UI itu.

Mereka juga semakin keras menentang penetapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), yang dianggap jauh dari semangat demokrasi. Mereka khawatir pengesahan RUU itu akan memberi peluang menguatnya kembali Dwi Fungsi ABRI.

Pada 28 September 1999 gabungan mahasiswa Lampung, termasuk di dalamnya Universitas Lampung (UNILA) dan Universitas Bandar Lampung (UBL), bergerak menuju Makoramil Kedaton. Posisinya persis di depan kampus UBL. Mereka meminta Koramil mengibarkan bendera setengah tiang dan mendesak komandan Koramil menandatangani dukungan penolakan RUU PKB. Namun ditolak.

Baca juga: Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus

Setelah berunding, disepakati massa akan bergerak ke kantor kegubernuran. Mereka akan mendesak gubernur mendukung tuntutan mereka. Namun mendadak situasi di sekitar markas Koramil menjadi kacau. Bentrokan mahasiswa dengan aparat tidak terhindarkan.

Massa yang tidak mempersenjatai diri mereka lari berhamburan. Meski telah masuk ke dalam kampus UBL, aparat tetap memburu para mahasiswa ini. Mereka dipukul, ditembak, dan ditangkap. Bahkan kendaraan dan bangunan di dalam kampus juga dirusak oleh aparat yang membuas.

Dalam suasana yang tidak terkendali itu, dua mahasiswa UNILA ditemukan meregang nyawa. Mereka adalah Muhamad Yusuf Rizal, mahasiswa FISIP UNILA; dan Saidatul Fitriah, yang saat kejadian sedang meliput untuk surat kabar kampusnya. Yusuf tewas akibat tembakan senjata tajam di leher dan dadanya. Sementara Saidatul tewas setelah kepalanya dipopor oleh senjata aparat.

TAG

mahasiswa demonstrasi

ARTIKEL TERKAIT

Zainal Zakse, Aktivis yang Melankolis Zainal Zakse "Si Tukang Loak" Kawan Soe Hok Gie Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse Gerakan Aldera Melawan Orba Hartini Dihina, Sukarno Murka Dari Wala menjadi Menwa Pelajar Indonesia di Jepang Bekerja di Markas Sekutu Balada Menteri Goblok Pesan Bung Karno untuk KAMI Potret Demonstrasi dari Masa ke Masa