SETELAH diplonco dalam penerimaan mahasiswa baru jurusan sejarah, Soe Hok Gie jadi akrab dengan beberapa seniornya. Richard Zakaria Leirissa disebutnya sebagai seorang yang baik hati dan mau membimbing. Sementara Ong Hok Ham, adalah orang yang pandai. Leirissa dan Ong kelak memang menjadi sejarawan ternama dari Universitas Indonesia (UI). Selain mereka, ada satu lagi yang berkesan bagi Gie. Namanya Zakse.
“Ini tukang loak dari fakultas kita,” begitulah Zakse diperkenalkan oleh kawan-kawannya.
Gie dan Zakse terpaut satu angkatan. Gie masuk tahun 1961. Sementara itu, Zakse, juga Leirissa dan Ong merupakan mahasiswa angkatan 1960. Berarti Zakse sudah memasuki tingkat dua.
Baca juga: Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Zakse dipanggil tukang loak karena setiap kuliah selalu membawa ransel besar berisi macam-macam buku. Dari buku tulis sampai buku politik. Dengan tentengannya itu, persislah Zakse macam tukang loak yang mau jualan buku bekas.
Pada saat itu, Zakse adalah sekretaris bagian organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) – organisasi mahasiswa Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dari Zakse pula, Gie banyak bergaul dengan tokoh PSI yang pada umumnya orang-orang intelektual. Sebut saja seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, dan Maruli Silitonga.
Pilihan Zakse berkiblat ke Gemsos terbilang berani atau bahkan nekat. Kelompok mahasiswa Gemsos dikucilkan setelah PSI dibubarkan – bersama Masyumi – pada 1962, karena keterlibatan sejumlah kadernya dalam pemberontakan PRRI-Permesta. Lagi pula, Gemsos kalah populer dibandingkan dengan organisasi mahasiswa lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) atau Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan partai-partai besar, yaitu PNI dan PKI, terang-terangan mendukung kebijakan politik Presiden Sukarno. Dan karena itulah, mereka tampil dominan di kampus-kampus. Sementara itu, Gemsos tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi yang bernada dukungannya atas pemerintah.
“Dia (Zakse) masuk G.M.Sos, organisasi yang tidak pernah mendukung Sukarno, tetapi juga yang paling sengsara,” ulas Soe Hok Gui dalam obituari tentang Zakse yang ditulisnya dalam mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Minggu IV Mei 1967 .
Baca juga: Soe Hok Gie dan Perploncoan di UI
Pilihan Zakse itu, kata Gie, punya konsekuensi yang lebih jauh. “Yaitu, Zakse menjadikan dirinya kasta paria dalam dalam kehidupan kemasyarakatan Sukarno pada waktu itu.” Namun. Gie mengakui sikap idealis Zakse itu turut mempengaruhi dirinya saat masih mahasiswa baru. Dalam diri Zakse, Gie menyaksikan jiwa muda yang bersemangat terus dipelihara, walaupun hanya untuk mengatakan “tidak”, termasuk kepada rezim yang berkuasa.
“Dan inilah yang dipelihara oleh Zakse dan kemudian diindoktrinasikan pada saya pribadi, minggu-minggu pertama dalam kehidupan kemahasiswaan saya,” kata Gie.
Kedekatan Gie dan Zakse turut dibenarkan sahabat Gie yang lain, Luki Sutrisno Bekti. Dalam pencariannya melawan ketidakadilan, Luki menyebut, Gie menemukannya dalam Gemsos melalui perkenalan dengan Zakse. Luki juga mengatakan Gie bergabung dengan kelompok Gemsos berkat Zakse. Gie juga sepaham dengan pemikiran Zakse.
“Kedua anak muda ini sering kali berdiskusi mengenai nasib bangsa ini yang makin lama makin memprihatinkan,” terang Luki Sutrisno Bekti dalam kumpulan tulisan mengenang Gie, Soe Hok-Gie: Sekali Lagi.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
Zakse aslinya orang Minangkabau. Ayahnya Bendaharo Katung seorang pedagang asal Pariaman, Sumatra Barat yang kemudian merantau ke Sumatra Utara. Zakse lahir di Binjai pada 4 Januari 1938, dengan nama lengkap Zainal Abidin Katung Sikumbang Enang, disingkat Zakse. Namun, Zakse menghabiskan masa tumbuh kembangnya di Kota Medan. Dia bersekolah di SMA Pembaruan Medan. Semasa SMA itulah, Zakse merupakan tokoh Ikatan Pelajar Pemuda Indonesia (IPPI) Medan, dan pernah menghadiri kongres nasionalnya di Surabaya dan Bandung.
Lulus SMA tahun 1958, Zakse kemudian kuliah di jurusan sejarah Fakultas Sastra UI pada 1960. Tapi, kuliahnya tak sampai selesai. Hanya sampai tingkat dua saja. Menurut Gie, kemiskinan identik dengan kehidupan Zakse. Ini juga yang membuat sulit melanjutkan perkuliahan. Namun, pengetahuannya jauh lebih luas daripada seorang mahasiswa tingkat dua. Zakse kemudian menjalani pekerjaan sebagai asisten riset sarjana-sarjana luar negeri yang meneliti di Indonesia.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Politikus Berkartu Mahasiswa
Ketika pecah G30S 1965, kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa turun ke jalan berunjuk rasa. Gie dan Zakse turut larut di dalamnya. Selain demonstrasi, Gie banyak menuliskan pemikirannya di koran-koran, mengkritik rezim Sukarno tentang keadaan sosial, politik, dan ekonomi yang carut-marut. Begitupun Zakse, yang menjadi wartawan harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Zakse, menurut Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto, konon pernah menjadi murid kesayangan Kepala Sekolah Bakrie Siregar ketika masih belajar di SMA. Pada 1960-an, Bakrie menjadi sastrawan terkemuka Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI. Di perantauannya di Jakarta, Zakse tetap menjalin hubungan baiknya dengan teman-teman sedaerah yang aktif di Lekra. Dari pergaulan itulah, Zakse kadang-kadang berbagi informasi tentang PKI kepada rekannya sesama wartawan, termasuk kepada Salim Said, yang waktu itu menjadi wartawan muda Angkatan Bersendjata.
“Pada perayaan yang PKI rencanakan berlangsung pada 30 September (1965), menurut informasi Zakse, orang-orang Komunis itu akan mengarak foto-foto para jenderal yang mereka tuduh sebagai jenderal korup dan kapitalis birokrat. Teman kami itu adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos),” ungkap Salim Said.
Baca juga: Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse
Periode 1965—1966, Gie dan Zakse mulai jarang berkontak. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Gie sebagai aktivis mahasiswa sedangkan Zakse tetap wartawan. Gie mengetahui Zakse ikut aktif dalam pengganyangan PKI. Gie sebenarnya yakin, Zakse bisa menjadi wartawan yang hebat di kemudian hari, andai waktu bermurah hati.
“Tetapi sayang sekali tanggal 3 Oktober ia jatuh sebagai korban tusukan bayonet peristiwa Monas,” kenang Gie.
Gie sempat membesuk Zakse sewaktu dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di tengah kesakitannya, Zakse berbisik menyampaikan pesan kepada Gie. “Gie semuanya kejam sekali. Saya minta agar kamu ikut membereskan pertentangan-pertentangan yang ada dalam KAMI. Tolong bereskan Gie,” kata Zakse sambil terisak. Pertentangan yang dimaksud Zakse adalah dalam internal KAMI, antara yang radikal anti-Sukarno, kelompok pro 3 Oktober, dan yang moderat. Zakse masuk dalam kelompok pertama. Setelah beberapa bulan dirawat, Zakse wafat pada 8 Mei 1967 dalam perawatan di Leiden, Belanda.
Entahlah pesan Zakse itu kesampaian terwujud atau tidak. Sebab, Gie pun meninggal dalam usia muda. Gie wafat pada 16 Desember 1969, dua tahun setelah Zakse. Gas asap beracun merenggut nyawa Gie yang saat itu mendaki Gunung Semeru, sehari menjelang ulang tahunnya ke-27.*