Tuyul di kebanyakan film horor diwujudkan bagai sesosok bocah dengan kepala plontos. Mirip permen lolipop. Kerjanya nyolong uang atas perintah sang tuan. Ia adalah makhluk gaib yang lahir dari mitos Nusantara.
“Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, tuyul adalah sosok demit (roh halus) yang berbentuk anak kecil, gundul, dan telanjang,” tutur sejarawan Onghokham dalam artikel Kompas, 13 November 1985 berjudul “Legitimasi Melalui Gaib”. “Tuyul menurut kepercayaan, melakukan pencurian bagi yang si empunya sehingga sang pemilik menjadi kaya.”
Kepercayaan pada tuyul, kata Ong, menjatuhkan status orang kaya di Jawa. Orang kaya itu bukan lagi orang Jawa sebab ia memiliki hubungan dengan setan. Lebih-lebih dalam masyarakat Jawa tradisional, orang kaya adalah pencuri. “Dan yang mencuri tentu tuyulnya,” ujar Ong.
Baca juga artikel mengenai tuyul: Sejarah Tuyul, Makhluk Halus Pencuri Fulus
Tak hanya tuyul. Ong juga menyinggung kawanan demit lainnya, semisal babi kepet dan Nyi Blorong. Sebagai sejarawan, wawasan Ong memang kaya. Ong mengulik sejarah dari aspek keseharian bahkan yang intim dengan kehidupan.
Menurut Adrian Lapian, rekan sesama sejarawan di UI, Ong mengingatkannya pada sosok sejarawan Amerika, Charles Beard yang banyak mempopulerisasi sejarah untuk kepentingan masyarakat umum. Sementara menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, warisan Ong yang paling berharga adalah menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang berasal dari masyarakat dan mengembalikannya ke masyarakat.
“Ia adalah sedikit dari sejarawan Indonesia yang menulis tentang sejarah makanan termasuk menikmatinya secara total,” kata Asvi dalam “Ongokham Sejawaran Publik” termuat di kumpulan tulisan Onze Ong: Ongokham dalam Kenangan.
Dari Gila Londo ke Java Junky
OnghokHam lahir pada Mei 1933 di Surabaya. Ong berasal dari keluarga elite keturunan Tionghoa-Jawa di Semarang. Keluarganya sangat pro-Belanda. Di rumahnya, Ong punya panggilan akrab: Hans. Para pembantu kerap menyapa, “Sinyo Hansje”. Sehari-hari, mereka berbahasa Belanda. Yang sangat penting bagi mereka adalah pendidikan dan budaya Belanda. Keluarganya sangat jauh dari masyarakat Indonesia kebanyakan. Tapi siapa nyana Ong justru menjadi sejarawan handal dari Indonesia?
“Sejak usia muda saya sudah tertarik pada sejarah,” kata Ong dalam kata pengantar kumpulan tulisannya yang dibukukan Dari Soal Priyai sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara. Ong mengakui, dirinya melahap semua buku sejarah maupun roman sejarah tentang sejarah Eropa dalam bahasa Belanda di perpustakaan sekolah.
Semua berpangkal pada 1953. Ong belajar di Hoogere Burger School (HBS—semacam sekolah lanjutan tingkat menengah) Surabaya. Di sekolah itu, Ong terkesan dengan Broeder Rosarius, guru sejarah. Ong mendapat dua hal dari Broeder Rosarius: api sejarah dan kesadaran tentang kewarganegaraan.
“Ketika kebanyakan anak-anak lulusan HBS Surabaya melanjutkan pendidikan mereka di luar negeri, Ong malah memilih untuk menjadi warga Indonesia dan ingin melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan sejarah Indonesia,” kata David Reeve, sejarawan University of New south Wales yang sahabat karib Ong, dalam seminar Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah, di FIB UI, Depok tiga warsa yang lalu.
Sejarah Indonesia adalah konsep yang masih baru saat itu. Tak heran, pilihan Ong untuk menekuni sejarah Indonesia ditentang oleh keluarganya. Ong sempat menjalani studi hukum di Universitas Indonesia (UI), namun hanya sebentar karena dia bosan. Pada 1960, Ong kembali ke UI dan memilih studi jurusan sejarah di Fakultas Sastra.
Pada masa ini, Ong selalu berbicara tentang topik-topik Indonesia, dengan suara sebagai seorang Indonesia, bukan sebagai Indonesia-Chinese. Ong meneliti petani-petani di Jawa dan Gerakan Samin. “Yang spesial dari Ong adalah tekanan pada kultus Bima. Dari gila-Belanda, dia menjadi Java Junky pada 1960-an. Dan minat Ong terhadap Jawa tak pernah lepas sampai akhir hidupnya. Kebanyakan penelitian Ong sesudah itu adalah tentang Jawa,” kata Reeve.
Memulihkan Diri ke Luar Negeri
Reeve menuturkan, Ong sempat tertekan mental sekira tahun 1964—65 karena stres politik yang ada di Indonesia saat itu. Ong tertarik pada kubu PSI Soedjatmoko-Rosihan Anwar. Ong juga tertarik kepada GMNI, tempatnya anak-anak muda nasionalis yang berkiblat pada ideologi Bung Karno. Ong ikut Kiri dan ikut Kanan. Tetapi waktu Kiri dan Kanan semakin jauh, Ong semakin tertekan dan menderita batin.
“Pasca 1965, dia begitu tersentak dengan pembunuhan massal di Jawa Timur. Ong mengalami semacam mental breakdown dan mulai teriak, “hidup PKI!”, “hidup Aidit” di jalanan. Sesuatu yang tak begitu bijaksana sesudah PKI kalah dari panggung politik. Jadi, Ong ditahan dan dipenjara selama enam bulan, diselamatkan oleh Nugroho Notosutanto,” ujar Reeve.
Ong kemudian dikirim ke Amerika untuk memulihkan diri sekaligus melanjutkan studi sejarahnya. Ong menemukan dirinya kembali di Amerika, di Yale University. Di sana, selain membawa pulang ijazah doktoral, Ong punya keahlian baru: memasak.
Ong menulis disertasi tentang Karesidenan Madiun pada abad ke-19. Ia meneliti interaksi dan simbiosis antara kerajaan-kerajaan setempat dengan mesin kolonial Belanda. Ong menyimpulkan bahwa raja-raja Jawa ingin menegakan konsep dewa-raja lewat mesin penjajahan Belanda.
Menurut Ong, pemberontakan mesianis ratu adil yang terjadi di Madiun bukan terjadi karena faktor budaya tetapi karena faktor pajak dan soal kepemilikan tanah yang dikontrol oleh sistem kolonial. Penelitian Ong itu membantu Peter Carey, yang telah bertahun-tahun meneliti struktur masyarakat Jawa. Carey sungguh menyayangkan mengapa karya semonumental ini tak diterbitkan dalam bentuk buku.
Tuyul, Tempe dan Seksualitas
Menurut Reeve, Ong adalah tipikal manusia dengan dua sisi. Dia adalah orang yang punya bakat, tapi bakatnya di sia-siakan dengan terlalu banyak pesta, whiski, dan menulis populer di kolom pers. Ong juga flamboyan, suka makan, suka minum, suka pesta. Ia berasal dari sub multikultur minoritas. Sangat tak biasa untuk menyebutnya sebagai sejarawan.
Ketika kembali ke Indonesia pada medio 1970, Ong kembali ke alamamaternya. Dia mengajar sebagai dosen. Wilson, salah seorang mantan mahasiswa Ong yang kini dikenal sebagai aktivis, mengenang Ong sebagai dosen yang doyan guyon tapi rada bengis. Ong pernah berkelakar, katanya, sebab utama dari kolonialisme adalah ibu-ibu.
“Rempah-rempah itukan kebutuhan dapur ibu-ibu, karena kebutuhan rempah-rempah untuk ibu-ibu, Barat menjajah bangsa lain, tutur Ong ditirukan Wilson dalam “Sejarawan yang Jago Masak: Mengenang Ong Hok Ham”. Ong juga tak segan melempar penghapus ke kepala mahasiswanya yang tak mampu menjawab pertanyaan.
Tak seperti halnya sejarawan kampus, yang berkutat dengan penelitian atau silabus kuliah yang menjemukan. Ong malah lebih suka berkecimpung di media meluapkan gagasan dan kritik. Dia banyak menulis sejarah pop yang berangkat dari aktualita kekinian di kolom Tempo, Kompas, Prisma, dan Jakarta Post. Ia menghabiskan waktu sebagai seorang intelektual publik. Karena eksis sebagai esais, Ong tak meninggalkan karya besar sebagaimana sejarawan kelas begawan macam Sartono Kartodirjo ataupun Taufik Abdullah.
Meski demikian, esai-esai Ong membuktikan bahwa dirinya kaya ide dan penuh warna. Ong menulis begitu banyak tema-tema sejarah kuliner, seksualitas, dan seni. Merentang dari budaya riijstafeel, tempe, sampai ke lukisan Mooi Indie yang dihubungkan dengan pemikiran Belanda hingga nasionalisme Indonesia.
Baca juga artikel mengenai sejarah tempe: Sejarah Tempe
Ong menulis tentang tuyul. Dia sangat terkenal sebagai ahli tuyul, bagaimana rasionalitas ekonomis bisa dipadukan bersama kepercayaan takhayul. Dia menulis tentang Sukarno, tentang Soeharto. Ong pun menulis tentang orang marjinal, tentang jago, tentang preman, tentang gelandangan. Kemampuan yang sedemikian rupa itu memoles nama Ong sebagai public intellectual-activist historian di kalangan cendekiawan pada masanya.
“Ada anggapan umum bahwa sejarah itu ilmu yang membosankan dan sejarawan juga orang yang membosankan. Tetapi Ong membuktikan bahwa sejarah bisa menjadi ilmu yang menarik dan bisa dinikmati. Dan sejarawan bisa menjadi orang yang menarik pula,” ujar Reeve sambil terkekeh manja.
Selera makan yang glamor agaknya mempengaruhi kesehatan sejarawan yang memang doyan makan (dan minum) ini. Ong menghabiskan enam tahun masa senjanya di atas kursi roda karena stroke. Dia wafat di Jakarta pada 30 Agustus 2007 dalam usia 74 tahun.