SEMINAR sejarah nasional baru saja rampung digelar. Sejumlah putusan dan rekomendasi telah dihasilkan. Sejumlah isu penting terkait kesejarahan dikemukakan. Persoalan pembelajaran sejarah di sekolah membuka pokok penting rekomendasi.
“Pendidikan Sejarah harus dapat menjawab tantangan, baik dalam menghasilkan sejarawan yang terampil mengolah data, memanfaatkan teknologi, dan menguasai keterampilan dalam menyajikan sejarah yang menarik bagi generasi milenial,” ujar sejarawan UI Andi Achdian yang membacakan rekomendasi.
Tahun ini, seminar sejarah nasional mengusung tema “Membayangkan Indonesia di Hari Depan”. Perhelatan berlangsung pada 4—5 Desember 2019 di Aston Priority Simatupang Hotel & Conference Center. Seminar ini menghasilkan 4 butir rekomendasi yang dirumuskan oleh tim dari Direktorat Sejarah Kemendikbud dan sejarawan dari kalangan akademisi maupun profesional. Sejarawan UGM Sri Margana menjadi ketua perumus dengan anggota Triana Wulandari (Direktur Sejarah Kemdikbud), Agus Widiatmoko (Kasubdit Sejarah Nasional), Abdul Syukur (Sejarawan UNJ), Andi Achdian (Sejarawan UI), dan Erwien Kusuma (Sejarawan Publik/Konsultan Museum). Sementara pembacaan rekomendasi diwakili oleh Andi Achdian.
Baca juga: Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Dalam pembelajaran sejarah, khususnya di sekolah ditekankan pentingnya inovasi dan kreatifitas. Cara ini dapat dilakukan dengan menjadikan materi-materi museum di Indonesia sebagai subjek pengayaan pembelajaran sejarah. Selain itu, pembelajaran sejarah dituntut memanfaatkan perkembangan teknologi untuk lebih menarik minat siswa belajar sejarah. Demikianlah rekomendasi butir pertama.
Keadilan dan keberagaman dalam historiografi turut menjadi perhatian dan merupakan rekomendasi butir kedua. Oleh karena itu, penting sekali mengembangkan kajian sejarah yang menitikberatkan nilai keberagaman untuk penguatan integrasi nasional. Di samping itu, menuliskan kembali sejarah nasional dengan perspektif baru dan memperjelas periode sejarah yang masih samar dapat merumuskan dengan benar kepentingan-kepentingan nasional.
Baca juga: Setengah Abad Historiografi G30S dan Dua Solusi Kasus Genosida 1965
Butir ketiga merekomendasikan penulisan sejarah dengan mengangkat tema-tema baru yang berkembang dalam masyarakat. Perhatian pada tema ekologi, kesetaraan gender, ketimpangan regional dan anti-kekerasan perlu dikembangkan dalam historiografi Indonesia. Selain itu, perlu dipikirkan dan dirumuskan bagaimana cara menyajikan sejarah untuk generasi milenial. Menuliskan ulang sejarah Indonesia dengan perspektif baru juga dianggap perlu sebagai proyeksi dalam historiogafi sejarah nasional ke depan. Gagasan “menulis ulang” diperlukan untuk memperbaiki buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang selama ini dipakai sebagai induk pengembangan kurikulum pendidikan sejarah.
Baca juga: Problem Historiografi Indonesia
Terakhir, wacana sertifikasi sejarawan ikut mendapat tempat sebagai hasil rekomendasi. Peningkatan profesionalisme sejarawan melalui sertifikasi sejarawan merupakan langkah penting dalam mendorong kemajuan pengetahuan sejarah di Indonesia. Sertifikasi profesi sejarawan berkait erat dengan regulasi mutu bagi mereka yang berkecimpung di bidang sejarah. Ini juga sebagai kebijakan dalam memperhatikan kesejahteraan sejarawan ataupun mereka yang berprofesi dan menekuni bidang sejarah.
Oleh karena itu sejarawan masa depan dituntut mampu meningkatkan profesionalisme profesinya. Keterampilan dalam memanfaatkan perkembangan teknologi dapat menjadi penunjang dalam mengangkat kualitas penelitian maupun sejarawan itu sendiri. Sejarawan juga diharapkan mempertimbangkan perubahan yang terjadi dalam pemahaman masyarakat tentang sejarah.
Baca juga: Sejarawan Sukarnois Berpulang
Gagasan sertifikasi sejarawan menutup rekomendasi Seminar Sejarah Nasional Indonesia tahun 2019. Butir-butir rekomendasi tersebut didasarkan pada saran-saran dari 93 pemateri seminar dan pembicara kunci selama konferensi berlangsung. Isu sertifikasi sejarawan sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan sampai saat ini.