Masuk Daftar
My Getplus

Problem Historiografi Indonesia

Sejarawan Taufik Abdullah memaparkan perjalanan penulisan sejarah di Indonesia. Memandang pidato Hatta lebih bernilai akademis ketimbang pledoi Sukarno.

Oleh: Aryono | 27 Jan 2016
Sejarawan Taufik Abdullah dalam ceramahnya di Salihara. Foto: Nugroho Sejati/Historia@2016

TAUFIK Abdullah membuka ceramahnya dengan menyebut Mohammad Hatta sebagai orang Indonesia pertama yang secara terbuka menyatakan sejarah nasional Indonesia. Menurutnya, hal tersebut terbaca dari pidato pembelaan Hatta pada 1928 di depan Pengadilan Den Haag, Belanda.

Menurutnya, dalam pidato yang berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) itu Mohammad Hatta tak hanya memprotes pemerintah kolonial namun juga mengecam corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah pemerintah di Hindia Belanda. Siswa yang bersekolah di sekolah pemerintah hanya dicekoki kisah pahlawan Eropa.

“Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah, katanya, hanya disuruh dan dibujuk “untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye,” kata Taufik dalam ceramahnya di Salihara, 26 Januari kemarin.

Advertising
Advertising

Sejarawan senior ini pun membandingkan pidato Hatta dengan pidato Indonesia Menggugat, pledoi pembelaan Sukarno di pengadilan Bandung pada 1930. Taufik menilai dari kacamata seorang akademis, pidato Hatta jauh lebih bernilai ketimbang Sukarno.

“Kalo dipandang dari sudut pandang akademis, Indonesia Vrij lebih tinggi nilainya daripada Indonesia Menggugat, karena Bung Hatta kan kuliahnya di Belanda, sedangkan Bung Karno kan hanya di Bandung,” ujarnya ditingkahi derai tawa peserta.

Dalam Indonesia Menggugat, Sukarno tidak melakukan protes terhadap narasi sejarah kolonial. Dia, menurut Taufik, hanya mengisahkan pembabakan sejarah Indonesia ke dalam tiga periode yakni, masa lalu yang gemilang; masa kini yang gelap gulita; dan masa depan yang penuh harapan.

Menggugat Neerlando-Sentrisme

Dalam ceramahnya, Taufik juga menjelaskan sejarah historiografi di Indonesia mulai zaman Hindia Belanda. Buku F.W Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indies (Sejarah Hindia Belanda) yang terbit 1939, dipandang sebagai titik puncak historiografi kolonial. Buku ini terdiri dari lima jilid: dua jilid pertama mengenai kerajaan lama di Jawa yang bercorak Hindu dan Islam dan tiga jilid berikutnya tentang peran Belanda.

Buku tersebut kemudian dikritik oleh J.C van Leur karena sejarah Indonesia hanya dipandang sebagai perpanjangan tangan dari orang-orang VOC, seputar pejabat, gubernur jenderal dan orang-orang  besar lain. “Dalam hal ini orang Indonesia tidak muncul sama sekali, atau sebagai people without history jika meminjam istilah Henk Schulte Nordholt,” kata Taufik dalam makalahnya.

Sekira 1950-an, zaman kembali normal setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, diskusi tentang historiografi Indonesia mulai menghangat. Mulai dari Willem Philippus Coolhaas (1899-1981), ahli sejarah kolonial sekaligus mantan pejabat kolonial, yang mengkritisi van Leur, hingga pendapat GJ Resink yang menyatakan Indonesia tidak dijajah 350 tahun. Dalam makalahnya, Taufik menulis secara agak sinis mengenai H.J De Graaf. Menurutnya, de Graaf -ahli sejarah kesultanan Mataram-, tetap terpukau dengan dinamika sejarah Jawa dan melupakan wilayah lain.

Taufik lebih menyoroti karya de Graaf yang berjudul De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram 1613-1645, en die van zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapjak 1601-1613, yang diterbitkan tahun 1958. Namun dia tak merujuk karya de Graaf lain yang berjudul Geschiedenis van Indonesie yang diterbitkan tahun 1949. Bahkan oleh Moh Ali, seperti ditulis dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, buku de Graaf tersebut termasuk dalam kategori karya yang progresif waktu itu, sejajar dengan buku Nusantara karya B.H.M Vlekke yang terbit 1943.

Rekonstruksi sejarah otentik dengan visi nasional mulai mengemuka pada Seminar Sejarah Nasional, di kampus UGM Yogyakarta, pada 14-18 Desember 1957. Pesertanya beragam, mulai dari akademisi, pendidik, ahli arkeologi bahkan hingga politisi dari berbagai partai politik kala itu.

“Ada satu orang yang kemudian terkenal, bahkan kelak ada yang membenciya dan ada pula yang menyanjungnya. Orang itu adalah Aidit (D.N Aidit -red). Jadi ia datang di seminar sejarah itu,” kenang Taufik. Hasil utama seminar sejarah tersebut adalah ciri Neerlando-sentris dalam penulisan sejarah harus digantikan dengan visi Indonesia-sentris.

Setelah Sukarno tergusur, Maret 1968, Suharto memegang tampuk. ‘Revolusi’ digantikan ‘pembangunan nasional’ ala Orde Baru. Agustus 1970, Seminar Sejarah Nasional II dihelat. Menurut Taufik, ada dua hasil penting, yaitu pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia 6 jilid.

Dalam kacamata Taufik, Orde Baru hanya ingin menguasai rekonstruksi dan corak interpretasi kesejarahan tentang beberapa peristiwa sejarah tertentu. “Misalnya dalam buku jilid VI buku SNI, PDRI hanya diceritakan beberapa kalimat saja. Dan tentu saja masalah G30S,” tukas Taufik.

Masalah Penulisan Sejarah 1965

“Sewaktu saya SMP dua guru memberikan dua keterangan berbeda tentang pelaku G30S, dan buku cetak yang kami baca juga mengatakan hal yang berbeda. Lalu seperti apa kebenaran itu?,” tanya Fanny, seorang pelajar, kepada Taufik di sesi tanya jawab. Taufik menjawab normatif: tinggal bagaimana penyampainya atau guru yang mengajarkannya.

Setelah kejatuhan Suharto 1998, masalah penulisan sejarah terutama tema G30S kembali diperbincangkan. Bukan hanya ditataran akademisi, penambahan materi tentang masalah G30S juga masuk dalam kurikulum sekolah, seperti pada kurikulum 2004 yang menyebut peristiwa itu sebagai G30S saja. Namun, pada kurikulum 2006, ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kejaksaan Agung mulai mempertanyakan terbitnya buku yang tidak menggunakan istilah G30S/PKI. Bahkan Menteri Pendidikan Nasional meminta para penerbit menarik buku-buku mereka yang menggunakan istilah lain selain G30S/PKI.

Pada akhir ceramahnya, model pelurusan sejarah tentang masalah G30S perlu dikaji ulang. Menurutnya, dengan nada sinis, ketika pelurusan sejarah itu diluncurkan, maka batas profesionalisme, ambisi politik, kesombongan dan kenaifan menjadi kabur. “Tidak usah berlagak i’m the truth,”, ujarnya.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh