Masuk Daftar
My Getplus

Ketika George Kahin Disangka Orang Belanda

Pengalaman seorang akademisi cum wartawan saat akan melakukan penelitian di wilayah Republik Indonesia pada era revolusi.

Oleh: Hendi Johari | 06 Des 2020
George McTurnan Kahin muda (Southeast Asia; A Testament)

Ketika memutuskan untuk mempelajari Indonesia pada 1948, tak pernah ada yang menyangka Goerge McTurnan Kahin akan memiliki hubungan yang lebih jauh dengan republik baru di kawasan tenggara Asia itu. Berbekal dana riset sebesar $3.000 dari Social Science Researh Council New York, mahasiswa ilmu politik tingkat doktoral di The Johns Hopkins University, Amerika Serikat (AS) itu nekat pergi ke bekas jajahan Belanda tersebut.

“Kahin naik kapal Belanda Veendam dan De Oranje dari Pantai Timur Amerika Serikat ke Jakarta,” ungkap Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka karena Amerika?

Di kapal Veendam, Kahin berjumpa sekaligus berkenalan dengan Kees van Mook, putra dari Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. van Mook. Kedua anak muda itu kemudian cepat akrab. Selain surat rekomendasi, Kahin juga mendapatkan pengetahuan bahasa Indonesia tingkat awal dari Kees yang terbukti bermanfaat banyak saat dia mulai menginjakan kaki di Pulau Jawa.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cerita George Kahin Saat Ditangkap Belanda

Pertengahan Juli 1948, Kahin sampai di Jakarta. Atas budi baik salah seorang kawan seperjalanannya selama di kapal De Oranje, dia mendapatkan tumpangan gratis di wilayah Menteng. Senin, 2 Agustus 1948, Kahin baru bisa mewawancarai H.J. van Mook di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka).

Urusan di Jakarta rampung, giliran Kahin untuk mewawancarai sejumlah tokoh republik di Jakarta. Untuk urusan visa dan izin dari pihak RI, Kahin mendapatkan respon yang positif. Persoalan muncul justru saat dia harus meminta izin dan tumpangan kepada pihak Belanda.

Kendati mendapatkan perhatian penuh dari H.J. van Mook, tidak berarti urusan Kahin selama di Jakarta selalu mulus. Itu terjadi saat dirinya meminta surat izin jalan sekaligus tumpangan pesawat untuk menuju wilayah republik kepada kantor staf militer urusan politik. Kepala institusi tersebut yakni  Letnan Kolonel Mr. J.Ph. H.E. van Lier  menyatakan bahwa tak ada fasilitas untuk akademisi seperti Kahin.

“Tentu saja kami tidak keberatan jika anda ingin pergi ke wilayah republik, selama itu menggunakan kendaraanmu sendiri," ujar van Lier seperti dikisahkan Kahin dalam Southeast Asia; A Testament.

Kahin lantas memutar otak untuk mencari jalan keluar. Kata-kata ejekan dari van Lier justru menjadikannya terpacu untuk membeli kendaraan sendiri. Kebetulan sekali saat itu Konsulat Jenderal AS di Jakarta tengah melelang barang-barang yang baru saja dikembalikan oleh militer Inggris selama misi di Jawa. Salah satu barang tersebut adalah sebuah jip militer Willys yang sudah setengah rusak. Dengan mengandalkan stausnya sebagai veteran perang AS selama Perang Dunia II, Kahin akhirnya dapat melego jip itu seharga $ 501.

Begitu jip itu resmi menjadi miliknya, Kahin mengirimkan ke bengkel terbaik di kota Jakarta. Setelah memeriksa seperlunya, sang mekanik tak begitu meyakini bahwa kendaraan tersebut bisa menempuh rute Jakarta-Yogyakarta. Satu-satunya cara, kata Si Mekanik,  jip itu harus diangkut terlebih dahulu dengan kereta barang menuju Purwokerto. Dari sana, barulah mobil ini bisa berjalan sampai Yogyakarta. Singkat cerita, dengan menggunakan saran itu sampailah Kahin di Purwokerto.

Usai mengurusi izin di markas militer Belanda setempat, seorang kopral berkebangsaan Indonesia (Ambon) disediakan untuk mengawal Kahin hingga ke batas garis demarkasi. Selama perjalanan menuju garis demarkasi di wilayah Gombong, jip yang bagian depannya dihiasi bendera kecil AS itu, dua kali mendapat gangguan dari kelompok bersenjata. Namun untunglah mereka bisa lolos dari upaya penghadangan itu.

Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo

Dari garis demarkasi, Kahin kemudian “diserahkan” kepada pihak TNI. Seorang letnan dua bernama Sutrisno kemudian ditugaskan untuk menyertai Kahin hingga Yogyakarta. Kesan Kahin terhadap anak muda itu sangat baik. Menurutnya Sutrisno adalah seorang yang terpelajar, ramah dan serius.

Perjalanan dari Gombong awalnya aman-aman saja. Masalah muncul saat mereka singgah untuk makan siang di Kebumen. Di tengah keseruan menikmati hidangan masakan Tiongkok, tetiba mereka berdua dikejutkan oleh adanya keributan di depan restoran. Suara makian dan kemarahan terdengar nyaring. Sutrisno keluar lantas masuk kembali dalam wajah agak panik.

“Mereka menyangkamu sebagai orang Belanda dan tak mempercayai kata-kataku,”ujarnya.

Tak ada cara lain bagi Kahin selain keluar menemui para pemuda pemberang itu. Dengan bahasa Indonesia terpatah-patah, dia menjelaskan bahwa dirinya adalah warga negara AS bukan orang Belanda. Orang-orang itu dalam wajah sangar menunjuk-nunjuk bendera kecil AS sebagai mengandung warna “merah-putih-biru”, bendera Belanda.

Baca juga: Pilot Amerika Membantu Indonesia

"Benar bendera ini memang mengandung warna merah, putih dan biru tetapi ini bukan Belanda. Ayolah, lihat tanda bintang-bintangnya!", ujar Kahin sekuat tenaga meyakinkan kerumunan tersebut.

Alih-alih mereda dan memahami apa yang dimaksud Kahin, para pemuda itu malah semakin beringas. Namun dengan tetap sabar, Kahin menjelaskan bahwa ada sebuah negara bernama Amerika Serikat dan negara itu mendukung perjuangan Republik Indonesia.

Barulah kemudian kemarahan mereka mereda. Situasi semakin cair ketika Kahin secara ekpresif meneriakan kata 'merdeka'. Sontak semua orang menyambutnya dengan kalimat yang sama. Kecurigaan pun sirna, yang ada malah sambutan ramah dan suara tepuk tangan membahana. Akhirnya Kahin dan Sutrisno bisa melanjutkan perjalanan hingga ke arah Yogyakarta.

TAG

sejarawan george kahin amerika serikat revolusi indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Koleksi Digital Anton Lucas Membayangkan Sejarah di Masa Depan Penyambung Lidah Sukarno dari UI Sejarawan Sukarnois Berpulang Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan Anton Lucas dan Cerita Kutilnya Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri