Almarhum Rudy Badil pernah bercerita. Suatu hari Soe Hok Gie mengajak seorang adik kelas yang dia pacari untuk berkemah di Mandalawangi (sebuah lembah di bawah puncak Gunung Pangrango) bersama kawan-kawan Soe lain-nya. Sebagai sahabat, Rudy tentu saja gembira. Dia kemudian “mengondisikan” agar Soe bisa terus berdua-dua-an dengan sang kekasihnya tersebut, termasuk mengupayakan agar mereka berada dalam satu tenda saat malam tiba. Semua kawan-kawan Soe mendukung ide Rudy itu.
Baca juga:
Paginya Rudy langsung menarik Soe Hok Gie ke tempat agak sepi. Sambil tersenyum nakal, Rudy menanyakan apa yang dilakukan Soe bersama sang pacar selama tidur setenda tadi malam. Soe menatap Rudy sembari tersenyum kecil.
“Enggak ada, gue enggak melakukan apapun selain tidur…” jawab Soe.
“Jadi lu kagak apa-apain dia? Lu cium , gitu?” tanya Rudy dalam nada kaget.
“Ya enggaklah, gue aja tidur-nya agak jauh-jauhan dari dia…”
Pada akhirnya Rudy mafhum, Soe Hok Gie bukanlah lelaki kebanyakan. Kendati dia seorang yang sangat galak saat mengeritik kekuasaan dan nekat ketika menjadi seorang demonstran (dia pernah membaringkan diri di hadapan tank baja yang sedang melaju dalam suatu demonstrasi menentang Presiden Sukarno), namun mengenai cinta, dia benar-benar seorang pemalu dan agak puritan.
Rudy yakin Soe Hok Gie memang mencintai perempuan itu. Begitu juga sebaliknya. Namun bagi lelaki Tinghoa tersebut, cinta bukanlah soal saling membutuhkan namun lebih dari itu: ada saling pengertian, tanggungjawab dan kemerdekaan menyatakan keinginan, termasuk keinginan untuk mencintai itu sendiri. Soal terakhir itu memang menjadi masalah buat Soe, mengingat hubungan mereka yang tak direstui orangtua sang gadis.
“Mereka selalu dihalangi untuk bertemu…” kenang Arief Budiman (kakak Soe Hok Gie) dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Demosntran (catatan harian Soe Hok Gie).
Soe bukannya tidak berupaya meyakinkan orangtua sang gadis. Menurut Arief, sudah beberapa kali Soe bicara dengan ayahnya, seorang pengusaha kaya di Jakarta. Sebagai seorang yang tidak setuju dengan berbagai ketidakberesan di Indonesia saat itu, ayah sang gadis menyatakan kekagumannya kepada Soe Hok Gie yang selalu berani melakukan kritik di koran-koran terhadap para pejabat yang dianggap tidak benar.
“Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya…” curhat Soe kepada Arief.
Baca juga:
Curhat Soe Hok Gie Kepada Arief Budiman
Keresahan Soe semakin bertambah saat dia sendiri tak melihat ketegasan hati dari sang kekasih. Mungkin karena usianya masih muda dan sudah terbiasa hidup nyaman, sang kekasih tak memiliki keberanian untuk melawan pendirian orangtuanya itu.
“Saya katakan bahwa soal ini soal berat, karena ia harus bertempur sendirian di rumah. Kalau ia tak berani bertempur untuk hal tadi maka soalnya menjadi sulit. I can only give my support. Kemungkinan kedua adalah kita memutuskan hubungan sebelum semuanya berkembang menjadi terlalu jauh…” tulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya bertanggal 4 April 1969.
Takdir memutuskan keduanya memilih mengkandaskan hubungan cinta mereka. Karena merasa sudah terlambat untuk menjadi “dua sahabat”, keduanya lantas sepakat untuk saling menjauhkan diri.
“Si Gie pastinya sedih. Walau dia tak ngomong apa-apa ke gue, tapi gue tau pada hari-hari itu dia sedih,” kenang Rudy.
Soe Hok Gie bisa jadi tak memiliki kawan yang banyak untuk dia curhati. Namun dia memiliki buku harian yang senantiasa “setia mendengar keluhannya”. Pada awal April 1969, sejatinya Soe telah menulis Sebuah Tanya, satu puisi yang menyatakan perasaan terakhir-nya untuk sang kekasih.
akhirnya semua akan tiba
pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat.
(lampu-lampu berkerlipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(haripun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)
manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
“Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai kenyataan, rasanya pedih sekali. Tetapi saya tak menjadi emosional. Saya pikir, saya jauh lebih tenang dan dewasa,” tulis Soe dalam catatan hariannya bertanggal 5-6 April 1969.
Sejarah mencatat, keduanya memang tak pernah tersatukan. Soe gugur di Puncak Mahameru pada 16 Desember 1969 sedangkan sang kekasih beberapa tahun kemudian menikah dengan lelaki lain dan tinggal di luar negeri hingga kini.
Baca juga: