Masuk Daftar
My Getplus

Zainal Zakse, Aktivis yang Melankolis

Pernah pukul orang, ditangkap polisi, hingga masuk penjara. Kendati temperamental, di mata Soe Hok Gie, Zainal Zakse adalah sosok yang perasa dan melankolis.

Oleh: Martin Sitompul | 06 Jan 2024
Unjuk rasa pelajar, mahasiswa, dan pemuda anti pemerintahan Sukarno pada 1966. Sumber: Nationaal Archief

Pernah terjadi insiden pemukulan dalam Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI). Orang sial yang kena pukul adalah Bokor Hutasuhut, panitia konferensi yang menjabat Sekretaris Jenderal KKPI. Pelaku pemukulan Zainal Zakse, seorang aktivis mahasiswa dari jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Zakse merasa Bokor banyak melakukan kecurangan. Selama konferensi, protes Zakse dan kawan-kawan tidak mendapat tanggapan panitia. KKPI diselenggarakan pada 1-7 Maret 1964.

Zakse mengadukan Bokor kepada Wiratmo Soekito, tokoh Manifesto Kebudayaan –tempat Bokor juga terlibat di dalamnya. Namun, Wiratmo juga tidak banyak berbuat apa-apa untuk menindak Bokor. Zaksa menjadi sangat marah. Rasa rendahnya dirinya keluar. “Memang saya miskin, memang saya tolol, memang tidak punya pengaruh tetapi saya seorang manusia. Saya tidak mau dicurangi si Bokor,” katanya. Zakse semakin hilang kendali setelah dia memuat surat kiriman menyerang kedua tokoh tersebut, yang segera dimanfaatkan pers-pers kiri.

“Kawan-kawan karibnya, termasuk saya, sangat marah karena kecerobohan ini. Tetapi syukurlah, beberapa minggu kemudian dia dapat tenang kembali dan berbaik kembali dengan Wiratmo. Hanya kepada Bokor dia tidak berbaik lagi,” ulas Soe Hok Gie dalam obituari di mingguan Mahasiswa Indonesia Edisi Jabar, Minggu ke-IV, Mei 1967 .

Advertising
Advertising

Baca juga: Zainal Zakse "Si Tukang Loak" Kawan Soe Hok Gie

Gie merupakan junior Zakse di jurusan Sejarah UI. Mereka juga sama-sama aktivis mahasiswa yang aktif menyelenggarakan diskusi bersama tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menurut Gie, Zakse adalah pribadi yang berpikiran idealis, namun punya hati yang melankolis, sedangkan gaya hidupnya bohemian. Lingkungan sekitar agaknya kurang memahami karakter Zakse yang sedemikian rupa itu.

Zakse pernah diusir dari kelas oleh seorang dosen karena berkeringat dan pakaiannya terlihat kucel. Padahal, saat itu mau ujian. Kali lain, Zakse berkelahi dengan orang yang berpisau karena anjing kesayangannya, Tsombe, ditimpuk orang tersebut. Zakse begitu sayang pada Tsombe. Tapi, anjing itu kemudian hilang, dipotong oleh tukang sop anjing. Pengalaman-pengalaman seperti itu, ungkap Gie, sering membuatnya melankolis.

“Dia juga kecewa melihat tokoh-tokoh intelektual Indonesia yang melarikan diri dari persoalan-persoalan konkrit ke dalam ilmu klenik. Juga kepada mereka yang pura-pura sosialis padahal hidupnya borjuis sekali,” terang Gie. 

Baca juga: Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa

Kemiskinan identik dengan kehidupan Zakse. Kuliahnya putus di tengah jalan. Mingguan Mahasiswa Indonesia Edisi Jabar, Minggu ke-II, Mei 1967, menyebut Zakse punya kebiasaan nongkrong di warung-warung kopi pinggir jalan untuk menyelami kehidupan rakyat kecil. “Ia hidup dalam keadaan serba berkekurangan, sehingga ia sudah jarang mengikuti kuliah-kuliah dengan teratur.”

Meski dalam keadaan serba kekurangan, Zakse tidak menurunkan tensinya dalam menentang rezim Sukarno. Sikap Zakse yang demikian kerap membuatnya terancam dalam ketidakamanan fisik. Kalau perlu, imbuh Gie, dia memaki Sukarno dan kroni-kroninya di muka umum. 

“Ia selalu menjadi bulan-bulanan dari informan-informan polisi keamanan Sukarno,” catat Gie.    

Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI

Pada pagi buta 21 Mei 1963, Zakse kabur ke rumah Gie. Tempat tinggal Zakse di Jl. Cisadane 6 digerebek polisi. Seperti Zakse, di tempat ini banyak tinggal pemuda-pemuda anti-Sukarno. Zakse bersama kawannya Hasam berhasil melarikan diri. Sementara Sudjono tertangkap. Sebelumnya, tersiar desas-desus bahwa Zakse dkk. akan ditangkap atas laporan orang-orang Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI, organ mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI).

Zakse benar-benar terciduk polisi pada akhir 1965. Alasan penangkapannya, karena Zakse tidak punya KTP sementara pada dokumentasinya banyak terdapat soal-soal politik. Dalam tahanan, Zakse diinterogasi. Dia dipaksa mengaku sebagai tokoh anti-komunis yang mengorganisasikan demonstrasi-demonstrasi anti-PKI saat itu. Tak lama kemudian, Zakse dibebaskan. Ketika Harian KAMI  terbit pada 1966, Zakse menjadi salah seorang wartawan koran pers mahasiswa tersebut.

“Zainal Zakse, seorang wartawan wartawan Surat Kabar KAMI. Zainal Zakse adalah seorang anak muda militan. Sungguhpun dia dikaruniai tubuh yang kurang sempurna, semua itu tidak menghalangi tugasnya sebagai reporter Surat Kabar KAMI,” kata aktivis HMI angkatan 66 Sulastomo dalam Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru: Sebuah Memoar.

Baca juga: Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse

Namun, kiprah Zakse sebagai wartawan cum aktivis itu hanya berlangsung singkat. Zakse jadi korban dalam unjuk rasa yang berakhir rusuh di Monas pada 3 Oktober 1966. Tusukan bayonet dan hantaman popor senapan tentara menyebabkan kerusakan akut pada saraf tulang belakang Zakse. Setelah berbulan-bulan dirawat, Zakse tak kunjung selamat. Dia wafat dalam perawatan di Rumah Sakit Katwijk, Leiden pada 8 Mei 1967.

TAG

zainal zakse soe hok gie mahasiswa aktivis 66

ARTIKEL TERKAIT

Zainal Zakse "Si Tukang Loak" Kawan Soe Hok Gie Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse Gerakan Aldera Melawan Orba Hartini Dihina, Sukarno Murka Dari Wala menjadi Menwa Pelajar Indonesia di Jepang Bekerja di Markas Sekutu Balada Menteri Goblok Puisi Cinta Soe Hok Gie Pesan Bung Karno untuk KAMI Potret Demonstrasi dari Masa ke Masa