CATATAN harian itu berbicara banyak. Sebagai salah satu pimpinan demonstran KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Yozar Anwar mengisahkan secara detail peristiwa demonstrasi di Jalan Merdeka Utara pada Kamis, 24 Februari 1966.
“Jam 9 pagi, mahasiswa mulai berbondong-bondong dengan membawa jaket kuning yang berlumuran darah…” tulis Yozar dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa. Darah siapakah gerangan yang memenuhi jaket kebanggaan Universitas Indonesia (UI) itu?
Menurut Yozar, darah yang berlumuran pada jaket kuning itu adalah milik Arief Rahman Hakim, seorang demonstran KAMI dari Fakultas Kedokteran UI yang tewas sehari sebelumnya. Ceritanya, Arief tengah berdemonstrasi di sekitar Lapangan Banteng ketika barisan demonstran didesak oleh aparat kemananan yang terdiri dari pasukan Resimen Pelopor (Menpor), Divisi Siliwangi (Batalyon 317 dan Batalyon 323) dan Resimen Tjakrabirawa sebagai lapis terakhir penjagaan Istana Negara.
“Saya ingat di Istana Negara kala itu tengah diadakan rapat Kabinet Dwikora yang langsung dipimpin oleh Presiden Sukarno,” ujar Rushdy Hoesein, sejarawan sekaligus pelaku sejarah gerakan mahasiswa 1966.
Arief Terbunuh
Yozar mencatat begitu massa demonstran memasuki “ring satu” siang itu, aparat keamanan mulai membuat pagar yang sangat rapat. Mereka dengan memakai senjata bersangkur, berusaha menghalau para mahasiswa keluar dari kawasan Istana Negara.
“Namun barisan tetap berdesak-desakan, teriakan tetap bergemuruh di angkasa…” ujar Yozar.
Di tengah kepanikan dan situasi panas tersebut, dari lapis terakhir tetiba terdengar rentetan senjata AK (senjata otomatis buatan Uni Sovyet). Mahasiswa yang tidak menduga ditembaki, langsung bertiarap semua diikuti pula oleh para prajurit dari Menpor dan Divisi Siliwangi yang berada pada posisi paling depan, berhadapan dengan para demonstran.
Suara tembakan masih terdengar ketika butiran-butiran prokyektil peluru mengenai tubuh beberapa demonstran. Salah seorang yang terkena adalah Arief Rahman Hakim. Begitu beberapa mahasiswa bergelimpangan di jalanan, tembakan baru berhenti. Spontan para mahasiswa yang tiarap bangkit dan memburu Arief yang kondisinya terlihat paling parah. Mata Arief terlihat nanar saat digotong untuk mendaparkan perawatan.
Namun menurut Yozar, ia masih berteriak lemah: “Jaket kuning, maju terusss!!!”
Menpor lantas memerintahkan para mahasiswa untuk mundur. Perintah tersebut direspon oleh mahasiswa secara malas-malasan. Akibatnya, aparat kemanan langsung merangsek. Massa mulai mundur seraya berteriak-teriak marah:
“Tjakrabirawa anjing!”
“Tjakrabirawa pembunuh!”
“Tjakrabirawa menembak rakyat dengan peluru yang dibeli rakyat!”
Nyawa Arief sendiri akhirnya tak tertolong. Sehari sesudah tubuhnya disasar peluru tajam, sang mahasiswa menghembuskan nafas terakhirnya pada jam 12.45. Sejak itulah, Arief menjadi simbol perlawanan mahasiswa terhadap rezim Sukarno. Jaketnya yang berlumuran darah, nyaris tiap hari diarak dalam setiap aksi demonstrasi: menjadikan situasi semakin panas dan suasana kebencian terhadap pemerintah menggumpal. Resimen Tjakrabirawa pun menjadi kambing hitam.
Tjakra Membantah
Masih segar dalam kenangan Rushdy orang-orang mengutuk Resimen Tjakrabirawa sebagai pembunuh mahasiswa. Mereka menyebut, Tjakra harus betanggungjawab terhadap aksi brutal mereka. Padahal menurut Yozar Anwar, saat bergerak ke arah Istana, mahasiswa ada dalam kondisi tertib dan tidak berniat membuat aksi-aksi anarki.
Namun lain pendapat mahasiswa, lain pula pendapat prajurit Tjakra. Ketika saya mengkonfirmasi kejadian lebih dari setengah abad lalu itu kepada beberapa eks prajurit Tjakra yang kala itu tengah bertugas di Istana Negara, ceritanya tentu saja berlainan.
Letnan Satu C.H. Sriyono masih ingat bagaimana situasi saat itu sangat kacau. Ketika massa berkerumun di sekitar Lapangan Banteng dan Merdeka Utara, dia sendiri memang mendengar rentetan tembakan yang menyalak secara mendadak. Namun anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakra itu sangat yakin tembakan itu bukan berasal dari kesatuannya.
“Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam…” ujar Sriyono kepada Historia.
Kedisiplinan Tjakra terbukti saat menghadapi aksi nekad sekelompok mahasiswa yang lolos masuk ke halaman Istana Negara. Mereka yang tadinya akan menurunkan bendera merah putih untuk digantikan jaket kuning berlumuran darah, hanya diperintahkan untuk pergi saja.
“Tapi karena awalnya mereka ngotot ya terpaksa kami menembakan senjata ke atas sebagai peringatan, baru mereka bubar…” kenang anggota Tjakra dari unsur CPM (Corps Polisi Militer) itu.
Keterangan Sriyono diperkuat oleh Maulwi Saelan dalam otobiografinya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. Menurut Saelan, kematian Arief Rahman Hakim secara disengaja diarahkan kepada kesatuannya sebagai penyebab. Dia ingat, bagaimana beberapa jam setelah kejadian itu ratusan mahasiswa dengan memakai truk-truk tentara mengelilingi jalan-jalan sekitar Istana Negara sambil mengibar-ngibarkan jaket kuning berlumuran darah.
“Tjakra pembunuh! Tjakra pembunuh!” teriak para mahasiswa.
Isu pun kemudian bertiup kencang: Arief tewas ditembak oleh seorang prajurit Tjakra di depan Gedung Pemuda, tepat di seberang markas DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Resimen Tjakrabirawa.
Demi mendengar teriakan-teriakan itu, Kapten Hidrosin (anggota DKP yang pasukannya tengah bertugas) langsung mengumpulkan anak buahnya. Salah seorang komandan kompi Tjakra itu langsung memeriksa satu persatu senjata para prajuritnya secara teliti.
“Ternyata Hidrosin menemukan kenyataan tidak terdapat satu pun peluru yang keluar dan laras senjata semuanya bersih…” ujar Maulwi yang kala itu berpangkat kolonel.
Lantas siapa yang menembak Arief?
Maulwi punya versi sendiri. Ceritanya, setahun setelah kejadian (ketika dia sudah dipindahkan dari Resimen Tjakrabirawa ke PUSPOM ABRI) dia justru mendapat cerita dari beberapa anggota POM DAM V (Polisi Militer Daerah Militer V Jakarta) bahwa yang menembak Arief di Lapangan Banteng (bukan di seberang Markas DKP) adalah seorang prajurit dari POM DAM V yang saat itu sedang ditugaskan di kesatuan Garnizun Ibukota Jakarta.
“Saya sendiri sudah meminta kepada Brigjen TNI dr. Rubiono, perwira sandi yang selalu bersama saya, agar segera mengusahakan visum et repertum Arief Rahman Hakim untuk dilaporkan kepada Presiden Sukarno…” ungkap Maulwi.
Namun hingga Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, tidak ada visum et repertum. Jadilah pendapat yang menyatakan bahwa pembunuh Arief Rahman Hakim adalah anggota Resimen Tjakrabirawa terus diyakini sebagian besar khalayak hingga kini.
“Terlebih setelah Jenderal A.H. Nasution memuji-muji Arief sebagai Pahlawan AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), anggapan itu seolah tak terbantahkan…” kata salah satu orang dekat Presiden Sukarno tersebut.