Masuk Daftar
My Getplus

Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia

Orang Indonesia pertama yang menerima Penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. Mendapat pujian dari tokoh-tokoh kesehatan dunia karena berhasil memberantas frambusia.

Oleh: Laila Amalia Khaerani | 22 Des 2024
Dokter Kodijat. (Sumber : rmaward.asia)

KETIKA bertugas sebagai dokter di Kediri, R. Kodijat merasa prihatin menyaksikan keadaan masyarakat sekitar. Banyak orang terjangkit penyakit frambusia atau patek. Penyakit ini memang tak menyebabkan kematian tapi sangat berbahaya. Menimbulkan luka-luka atau koreng yang berbentuk seperti buah frambos. Luka dapat membesar dan menyebar yang menyebabkan cacat pada anggota tubuh. Agar sembuh, penderita dikumpulkan di satu tempat untuk mendapatkan suntikan neosalvarsan. Tak cukup sekali tapi beberapa kali. Masalahnya, tak banyak orang punya cukup uang untuk berobat. Melihat keadaan itu, Kodijat tak bisa tinggal diam. Dia tak mau menunggu pasien datang untuk berobat tapi mendatangi mereka untuk melakukan penyuntikan secara cuma-cuma. 

Kampanye kecil-kecilan ini dilakukannya sejak 1934, ternyata memberikan hasil positif. Menurut Vivek Neelakantan dalam “The campaign against yaws in postcolonial Indonesia”, IIAS Newsletter 69 (2014), metode Kodijat bertujuan mencegah kambuhnya frambusia di Kediri melalui deteksi penyakit tersebut di antara seluruh penduduk desa dengan interval enam bulan. Hanya pasien individu dengan lesi frambusia aktif dan kontak langsung mereka yang diobati menggunakan neosalvarsan atau arsenik hingga gejala mereka hilang. Metode ini mengurangi prevalensi frambusia secara keseluruhan di Kediri dari 10,1% tahun 1934 menjadi 1,7% pada 1936.   

Kodijat membagikan pengalamannya menangani frambusia pada Intergovernmental Conference of Far Eastern Countries of Rural Hygiene di Bandung, 3-13 Agustus 1937. Konferensi diadakan oleh organisasi kesehatan Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu Badan Kesehatan Dunia (WHO) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada kesempatan itu Kodijat menyajikan prasaran berjudul "Framboesia”.   

Advertising
Advertising

Menurut Report of the Intergovernmental Conference of Far-Eastern Countries o Rural Hygiene (1937), percobaan yang dilakukan di Hindia Belanda untuk mengobati seluruh kelompok populasi hingga penyakit frambusia benar-benar hilang dapat disebutkan. “Konferensi ini meyakini bahwa ini adalah metode yang layak dipelajari lebih lanjut.” Kendati demikian, Kodijat mulai menghadapi tantangan lain. Penduduk desa percaya neosalvarsan adalah obat mujarab untuk semua penyakit dan hanya dengan satu suntikan salvarsan gejala frambusia bisa berkurang drastis. “Karena alasan ini, beberapa pasien tidak menyelesaikan pengobatan mereka, dan sebagai akibatnya, kambuhnya frambusia terjadi,” catat Vivek Neelakantan.  

Kendati demikian, Kodijat tak pernah surut dalam upaya pemberantasan frambusia. Setelah Indonesia merdeka, ia membentuk Treponematoses Control Program (TCP) yang berjalan sukses. Program ini diakui oleh dunia internasional bahkan dijadikan contoh oleh negara-negara lain. Kepeloporannya diakui oleh banyak kalangan dan lembaga, dari dalam maupun luar negeri.  

Seorang warga Eropa memvaksinasi warga Perusahaan Gula Kanigoro di Madiun, Jawa Timur, terhadap penyakit frambusia (Sumber: Collectie Tropenmuseum/Wikimedia Commons)  

Dokter yang Bersahaja  

Raden Kodijat lahir di Kawedanan Muntilan, Jawa Tengah, pada 16 September 1890. Dia adalah anak ketiga dari pasangan R. Prawirowidjojo dan Raden Roro Soepiah. Ayahnya seorang pegawai tata usaha (klerk) di kota kecamatan Temanggung. Di usia tiga tahun, ayahnya meninggal dunia sehingga dia ikut dengan pamannya, Raden Atmosoediro, guru di Bestuur School Magelang. Sebagai guru, Atmosoediro sangat memperhatikan kemajuan dan perkembangan Kodijat. Hal ini membuat Kodijat tetap merasakan sosok ayah di hidupnya.   

Kodijat menempuh pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Yogyakarta. Lulus HIS, dia memutuskan untuk mengulang pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS) Magelang agar bisa mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Di sekolah ini dia belajar selama tiga tahun dan lulus dengan hasil memuaskan. Alhasil, lulus dari ELS, dia bisa lanjut ke School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Pada 1914, Kodijat lulus STOVIA dan menyandang gelar Inlandsche Arts (dokter pribumi).  

Pada Juli 1914, Kodijat bekerja sebagai dokter di Stadsverband Surabaya. Menurut Wisnu Subagyo dalam DR.R.Kodiyat: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Kodijat jarang berada di Surabaya karena sering ditugaskan ke luar kota. Dia bertugas memberantas epidemi kolera dan malaria di beberapa daerah di Jawa Timur dan Madura.  

Baca juga: 

Dari Malaria Hingga Corona  

Pada Oktober 1915, Kodijat dipindahkan ke desa Kasiyan, Kecamatan Puger di Kabupaten Jember. Dia iperbantukan pada proyek pembangunan irigasi Bedadung untuk memelihara kesehatan para pekerja. Selain itu melakukan penyelidikan malaria yang berjangkit di Jember dan Lumajang bagian selatan.

Kodijat suka melakukan penelitian medis. Tak jarang dia berbeda pendapat dengan dokter-dokter Belanda. Ketika Dr. J. Terburgh, inspektur Bugerlijke Geneeskundige Dienst (Dinas Kesehatan Masyarakat) di Surabaya, mengatakan malaria sebagai penyebab kematian tinggi di Kasiyan, Kodijat melakukan bedah mayat dan menemukan penyebab kematian adalah penyakit pneumonia atau radang paru-paru, disertai basiler, dan disentri amubawi. Dengan jujur, Dr. Terburgh mengakui kekhilafannya dan pendapat Kodijat.  

Kodijat juga pernah mematahkan pendapat Dr. Knoch bahwa tukak-tukak penderita disentri amubawi terdapat pada poros usus yang terletak di usus bagian terbawah dan penyakit ini disebabkan kebiasaan cebok orang-orang Indonesia. Setelah melakukan pembedahan mayat, ternyata tukak-tukak itu terdapat di bagian usus yang letaknya lebih tinggi daripada poros usus.   

Menurut Kodijat, jalan yang tepat untuk menentukan penyakit apa yang menyebabkan kematian seseorang adalah bedah mayat. “Kepastian tentang sebab mati itu adalah syarat mutlak, tidak hanya untuk memajukan ilmu kedokteran melainkan jµga untuk menyelamatkan orang-orang yang masih hidup,” catat Wisnu Subagyo.  

Karena keberhasilan tugasnya, Kodijat mendapat penghargaan dari Kepala Hoofdkantoor Bugerlijke Geneeskundige Dienat atau Kantor Pusat Dinas Kesehatan Rakyat di Weltervreden (Jatinegara). Dari Jawa Timur, Kodijat memperoleh penempatan tugas di Saparua, Haruku, dan Nusa Laut. Sekira tiga tahun di Maluku, dia itempatkan di Jakarta dan menjadi dokter di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichtiag (CBZ)--sekarang Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo. Baru kurang lebih tiga tahun menjadi dokter di Jakarta kemudian dia mendapat tugas belajar di Belanda.  

Kodijat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam dan mendapatkan gelar Arts. Belum puas dengan ilmunya, Kodijat melanjutkan studi di Koninklijk Instituut voor Tropische Ziekten atau Lembaga Penyakit-penyakit Tropik di Amsterdam selama setengah tahun.   

Di samping kuliah, Kodijat menikah dengan gadis Belanda bernama Maria Deronden. Belum lama menikah, Maria jatuh sakit dan meninggal dunia. Kodijat menikah lagi dengan Sutarini, puteri kelima seorang patih Ponorogo.  

Sekembalinya dari Belanda, Kodijat ditempatkan di Rumah Sakit Umum Pusat Semarang pada April 1926. Setahun kemudian menjadi kepala Pemberantasan Penyakit Pes untuk Karesidenan Surakarta dan juga Karesidenan Banyumas. Pada April 1930, dia ditugaskan sebagai dokter di Karesidenan Kediri, yang melambungkan namanya berkat penanganan penyakit frambusia.  

Selain itu, sebagaimana tercatat dalam Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa (1944), Kodijat aktif dalam perkumpulan. Dia menjadi ketua Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang kemudian menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) cabang Kediri dan bendahara perkumpulan Pemberantasan Lintah Darat Kediri.  

  
Cocktail-party di Kementerian Kesehatan Thailand di sela-sela konferensi frambusia di Bangkok tahun 1953. Ki-ka: Prof. Hiel, Prof. Soetopo, dr. R. Kodijat, Dr Wasito, dr Lim Ek Ouee, dr Soedarsono (Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2)  

Pionir Pengentasan Frambusia   

Pada zaman pendudukan Jepang, Kodijat menjadi Inspektur Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya. Setahun kemudian dipindahkan ke Jakarta dan menjadi dokter pada Naimubu Eiseykyoku. Masa ini merupakan masa yang sulit baginya, karena banyak orang terserang penyakit. Bagian Penyakit Rakyat mencatat selama pendudukan Jepang terdapat 204.353 pasien di antaranya 4.506 penderita malaria dan 26.508 penderita frambusia.  

Pada Januari 1944, terjadi kejadian kematian luar biasa yang disebabkan penyakit mendadak di Desa Tumpakrejo dan Arjosari (Malang). Kodijat bersama Ali Hanafiah, atas perintah Naimubu Eiseikyoku suki (Iryonkatyoo), datang ke Malang untuk melakukan penyelidikan. Dalam laporannya, dicatat Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1, mereka menyimpulkan penyebab kematian “disebabkan oleh bongkrek yang mengandung racun.”  

Setelah Indonesia merdeka, Kodijat bekerja sebagai dokter pada Kementerian Kesehatan. Kemudian ia ditunjuk sebagai kepala Lembaga Penyelidikan dan Pemberantasan Penyakit Menular Rakyat, khususnya penyakit frambusia, yang berkedudukan di Yogyakarta. Menurut Wisnu Subagyo, saat itu Kodijat sudah berusia 60 tahun, dan seharusnya sudah pensiun. Tetapi karena tenaganya masih diperlukan dan perhatiannya terhadap penyakit frambusia begitu besar, dia diangkat kembali oleh pemerintah.  

Kampanye pemberantasan frambusia mulai masif di Indonesia sejak 1950. Dr. Kodijat menerapkan Treponematoses Control Program (TCP) dengan mengandalkan jururawat sebagai pelaksana. Mula-mula dilakukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai proyek percontohan. Secara bertahap diperluas ke daerah-daerah lainnya. Program ini mendapat dukungan dana dari Unicef, badan untuk anak-anak PBB. Dilansir Kedaulatan Rakjat, 27 Februari 1951, bantuan diberikan untuk dua tahun dalam bentuk obat penisilin, dana sebesar 1 juta dolar, alat-alat dan pinjaman kendaraan. Menurut Kodijat, rencanannya pemberantasan selesai dalam lima tahun. “Apakah setelah bantuan dari Unicef itu habis, pemberantasannya akan lebih lancar lagi, belum dapat ditentukan,” ujar Kodijat.  

Menurut Vivek Neelakantan, Kodijat memiliki reputasi sebagai orang yang lemah lembut tetapi berkemauan keras. Unicef harus meyakinkannya tentang kemanjuran terapi penisilin terhadap frambusia. “Hanya setelah ia menguji penisilin di rumah sakitnya di Yogyakarta, dan telah menganalisis efeknya dengan hati-hati, dia setuju untuk menerima penisilin dalam mengobati pasien frambusia.”  

Seiring seluasnya daerah pemberantasan, TCP terlalu mahal dan membutuhkan banyak perawat yang tenaganya juga dibutuhkan di bidang lainnya. Maka, untuk daerah Jawa Timur, Mas Soetopo dan dr. Saiful Anwar (inspektur kesehatan Jawa Timur) menyederhanakan sistem tersebut yang dikenal dengan Treponematoses Control Program Simplified (TCPS).   

Menurut Sri Indra Gayatri dalam buku Prof. Dr. Soetopo: Hasil Karya dan Pengabdiannya, TCPS menggunakan tenaga jururawat di poliklinik ibukota kecamatan dibantu juru patek. Juru patek adalah orang-orang desa berpendidikan paling rendah sekolah dasar dan sudah memiliki profesi di desanya, seperti guru, petani atau pamong desa. Mereka diberikan pendidikan dan latihan selama tiga bulan.   

Ujicoba TCPS di daerah-daerah di Jawa Timur ternyata memuaskan. “Sehingga cara pemberantasan yang baru ini kemudian diterapkan juga di Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku,” catat Sri Indra Gayatri. Pada 1952, Kodijat diundang untuk mengikuti First International Symposium of Yaws Control di Bangkok. Dalam simposium ini, WHO menghendaki agar negara-negara yang mendapat bantuan segera melakukan selective mass treatment atau menyuntik semua orang yang melakukan kontak dengan penderita frambusia.   

Baca juga: 

Vaksin Wabah Penyaki

Kodijat menolak. Apalagi setelah percobaan di Jawa Timur hanya menurunkan angka 10%, yang tak sebanding dengan bertambahnya pekerjaan administrasi dan waktu yang digunakan. Markas Besar Unicef di New York mendesak dan bahkan mengancam untuk menghentikan bantuan. "Namun Dr. R. Kodijat tetap memegang teguh pendiriannya yaitu menerima yang baik untuk Indonesia tetapi menolak apa-apa yang tidak cocok,” catat Wisnu Subagyo.  

Proyek pemberantasan frambusia terus meluas ke daerah-daerah lainnya di Indonesia. Indonesia mendapat bantuan dari Unicef dan WHO. Unicef menyediakan obat-obatan, perlengkapan, dan pengangkutan. Sedangkan WHO memberikan petunjuk-petunjuk teknis, termasuk tenaga ahli seperti Dr. Sehutzenberger dari Prancis.   

Bantuan itu tak melunturkan sikap kritis Kodijat.  Pada 1954, Kodijat kembali mengkritik WHO yang menganjurkan Total Mass Treatment (TMT) di daerah dengan 10% atau lebih penduduknya terkena frambusia. Kodijat hanya mau menjalankan jika frekuensi frambusia 30% atau lebih, daerah-daerah yang sulit dijangkau, dan pengobatan semua orang di bawah umur 19 tahun dengan frekuensi frambusia 5 sampai 10%.  

Kampanye pemberantasan frambusia memberi hasil gemilang. Saat berkunjung ke Indonesia pada 1959, Penasehat WHO Dr. C.J.Hackett memuji Dr. Kodijat. Bahkan menjadikan TCP/TCPS sebagai contoh bagi negara-negara lain dalam mengatasi frambusia.   

“Teknis TCPS, TMT, dan konsolidasi yang dipergunakan di Indonesia nampak sangat memuaskan, mengingat keadaan di dalam Republik. Total Mas Treatment secara besar-besaran mungkin tidak praktis berhubung dengan jumlah tenaga dan posisi keuangan. Pertolongan internasional dipergunakan secara rajin dan efektif,” kata Hackett, dikutip Wisnu Subagyo.  

Kodijat memimpin delegasi Indonesia pada Konferensi Antar Regional WHO yang membahas pemberantasan penyakit frambusia di Bandung, 30 Oktober – 10 November 1961 (Sumber: Warta Bhakti, 31 Oktober 1961)

Apresiasi dari Berbagai Negeri  

Berkat ketekunannya dalam pemberantasan frambusia, Dr. Kodijat mendapat pujian dari dalam maupun luar negeri. Pada 1961, Dr. Kodijat mendapat Penghargaan Ramon Magsaysay. Penghargaan ini diberikan kepada individu atau organisasi yang telah berkontribusi positif bagi masyarakat Asia.   

Bagi Dr. Kodijat, penghargaan ini merupakan dorongan bagi Indonesia untuk bisa segera melenyapkan frambusia. Metode yang dipakai ialah menghilangkan sumber penularan, bukan semata-mata menyembuhkan penderita penyakit itu. Kodijat yakin, dikutip koran Nasional, 26 September 1961, kalau organisasi pemberantasan penyakit frambusia telah tersebar di Indonesia, personil-personil cukup dan bekerja sebaik-baiknya serta alat-alatnya lengkap, frambusia di Indonesia bisa dilenyapkan.  

Pada tahun itu juga Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Antar Regional WHO untuk membahas pemberantasan penyakit frambusia di Bandung pada 30 Oktober – 10 November 1961. Dilansir dalam Warta Bhakti, 31 Oktober 1961, A.J. Walker dari WHO Asia Tenggara memuji hasil pemberantasan frambusia di Indonesia. WHO akan mendorong negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama. Sementara Nyonya Margaret Gaan dari Kantor Unicef untuk Asia menyampaikan penghargaan atas jasa-jasa Kodijat. Gaan juga berharap agar 'the great old man’ atau Dr. Kodijat masih dapat melihat kemenangan terakhir atas perjuangannya terhadap frambusia di tiap pelosok di dunia ini.  

Hingga 1964, kendati sudah tua dan badannya lemah, Kodijat tetap giat melaksanakan kampanye pemberantasan penyakit rakyat. Saat itu, di usia 74 tahun, dia diangkat kembali oleh pemerintah dengan tugas baru sebagai penasehat menteri kesehatan dengan kedudukan tetap di Lembaga Penyelidikan Pemberantasan Penyakit Rakyat.   

Ketika dalam keadaan sakit, Kodijat memikirkan cita-citanya untuk melenyapkan frambusia. "Saya sebenarnya ingin melihat sampai kapan penyakit frambusia itu dapat diberantas,” kata Kodijat dikutip Wisnu Subagyo.  

Sayangnya, sehari kemudian, dia wafat pada 29 Juli 1968 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di makam khusus keluarga sesuai permintaannya ketika masih hidup di Blunyah Kecil, Yogyakarta.  

   

TAG

frambusia penyakit who patek wabah kodijat

ARTIKEL TERKAIT

Koloni Kusta di Teluk Jakarta Ketika Wabah Kusta Melanda Batavia Dari Bersin hingga Penyakit Kelamin Sukarno Sakit Ginjal Sebelum Bakteri Penyebab Maut Hitam Bermutasi Manuskrip-manuskrip tentang Pandemi di Dunia Islam Vaksin Wabah Penyakit Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit Kakek Donald Trump Korban Pandemi Kala Presiden Amerika Terpapar Virus Influenza