Angka kenaikan penderita Covid-19 di Indonesia meningkat pesat sepanjang akhir Juni 2021. Pemerintah berupaya mencegah persebaran virus dan dampak sosial-ekonominya dengan penebalan PPKM. Tapi pada sisi lain, sebagian masyarakat tak percaya dengan pandemi. Ini mempersulit ikhtiar pencegahan wabah.
Mereka yakin pandemi sebagai buah konspirasi elit global. Beberapa orang bahkan berada pada posisi ekstrem fatalis (menerima nasib) dan angkuh terhadap pandemi. Seringkali mereka menggunakan dalil agama Islam untuk mendukung posisinya. Banyak pula yang menyebarkan hoaks konspirasi wabah berbalut dalil agama Islam.
Pandemi bukanlah hal baru bagi masyarakat dunia, termasuk dalam sejarah masyarakat muslim. Dr. Syamsuddin Arif, pakar kajian sains Islam, peneliti senior Institute of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Jakarta, menyebut masyarakat muslim pada masa lampau pernah beberapa kali menghadapi wabah. Salah satunya saat wabah melanda Mesir pada bulan Muharram 816 H (1416 M).
Baca juga: Wabah Sejak Zaman Rasulullah
Ketika itu 100 orang Mesir meninggal setiap hari akibat wabah. Selain Mesir, wabah parah juga pernah melanda wilayah peradaban Islam dari Anatolia (sekarang wilayah Turki) hingga Suriah.
Jejak wabah dalam dunia Islam juga terungkap dalam karya-karya ulama besar pada masa lampau. Karya itu bukan hanya menjabarkan sejarah wabah sejak kurun pertama tahun Hijriah (622 M), tapi juga mengangkat sains wabah dan ilmu kesehatan atau medis. Contohnya karya Jalal al-Din al-Suyuthi dari abad ke-15 M.
“Pendek kata, kaum muslimin sudah berkali-kali mengalami musibah serupa sejak kurun pertama Hijriah,” sebut Syamsuddin dalam kata pengantarnya di buku Wabah dan Ta’un: Tinjauan Hadith, Kedokteran, dan Sejarah, terjemahan dan penelaahan dari kitab Ma Rawah al-Wa’un fi Akhbar al-Tha’un karya Jalal al-Din al-Suyuthi yang terbit abad ke-15 M.
Kisah Pilu Wabah
Karya al-Suyuthi membahas kemunculan wabah dan ta’un, cara penularan wabah, jenis-jenis wabah (termasuk Wabah Hitam di Eropa pada abad ke-15 M), perbedaan ta’un dan wabah, karantina, dampak sosial-ekonomi wabah, dan kisah-kisah pilu dan kelam sekitar wabah.
Al-Suyuthi menyebut wabah sebagai penyakit yang menular kemana-mana. Sekarang istilah medisnya pandemi dan epidemi. Sementara ta’un adalah penyakit mematikan yang aneh luar biasa. “Setiap ta’un adalah wabah, tetapi tidak setiap wabah adalah ta’un,” sebut al-Suyuthi.
Al-Suyuthi juga mengungkap kisah pilu seputar wabah di Syam, Suriah pada 80 Hijriah (702 M). Ada seorang anak kecil yang sampai disusui anjing ketika wabah berjangkit. Semua bermula dari keluarganya yang meninggal dunia akibat wabah. Hanya tersisa anak kecil di keluarga itu.
Baca juga: Haji Terganggu Pandemi
Al-Suyuthi, mengutip penulis kitab Al-Mir’ah, menuturkan sekelompok orang menyaksikan anak itu terkulai lemah di rumah. “Kemudian ada anjing masuk dari sela-sela dinding dan menjilati anak itu. Anak itu merangkak kepadanya sampai ia menghisap susu anjing tersebut,” kutip al-Suyuthi dalam Wabah dan Tha’un: Tinjauan Hadith, Kedokteran, dan Sejarah
Syamsuddin mencatat setidaknya ada 56 karya ulama yang mengangkat bahasan wabah dan penyakit mematikan dari abad ke-3 sampai ke-15 Hijriah. Manuskrip itu terawat dengan baik di pusat penelitian seperti al-Furqan Foundation, London, Inggris; İslam Araştırmaları Merkezi (İSAM), Istanbul, Turki; dan Institut für Geschichte der Arabisch-Islamischen Wissenschaften (IGAW), Frankfurt, Jerman.
Soal wabah pun termaktub di dalam karya para ulama masa lampau di tanah Melayu. Sebut saja Bustan al-Salatin karya Nur al-Din al-Raniri, ulama Melayu sohor dari Aceh yang hidup pada abad ke-17 M. Di dalam “Bab Ketujuh Fasal Ketiga: Pada Menyatakan Ilmu Tashrih dan Ilmu Tibb”, al-Raniri menyebut salah satu khasiat cuka (khall) sebagai obat terhadap sejumlah wabah (wabak) penyakit.
Belum Banyak Dikaji
Syamsudin menyebut sebenarnya ada ribuan kitab kuno tentang pandemi dan penyakit mematikan (ta’un) dari berbagai antero dunia. Tapi pengkajian para sarjana kiwari tentangnya baru terbatas pada kira-kira 56 kitab. “Sejauh ini belum banyak dilakukan kajian akademik yang serius untuk meneliti dan menguraikan isi kitab-kitab tersebut dari berbagai perspektif,” terang Syamsuddin.
Masih ada ribuan kitab karya para ulama masa lampau bertema medis yang masih belum dikaji dengan lebih mendalam. Ribuan kitab sudah masuk ke dalam katalog-katalog manuskrip berbagai perpustakaan. Tapi untuk memproses informasi di dalamnya perlu ikhtiar lebih banyak.
“Meskipun sudah dikatalog, para peneliti tetap harus melakukan proses ekstraksi informasi sendiri, baik secara manual maupun digital, untuk mengungkap isi masing-masing naskah kitab-kitab tersebut,” tulis Syamsuddin.
Baca juga: Ulama Tetap Berkarya di Tengah Wabah
Pengkajian manuskrip-manuskrip tersebut tak semata untuk melestarikan warisan ilmiah, tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam memajukan dan mengembangkan tradisi ilmiah masyarakat dengan pendekatan multidisiplin keilmuan.
Syamsuddin berharap para akademisi dan pakar di bidangnya itu nantinya akan dapat menelaah, menggali, dan melanjutkan karya-karya para ulama ini di masing-masing bidang kepakarannya.
“Jadi kalau dia profesor ilmu kedokteran, itu bagaimana dia di samping berkarier secara klinis di rumah sakit, dia juga membaca dan bisa mendiskusikan, dan bisa mengulas dan membuat artikel ilmiah yang dipublikasi di dalam jurnal-jurnal akademik tentang satu bab di kitab-kitab para ulama,” ungkap Syamsuddin dalam acara daring peluncuran buku Wabah dan Ta’un: Perkembangan Tahqiq Turath dan Sains Islam pada 20 Juni 2021.
Diapresiasi Dunia Barat
Dunia akademik Barat sangat mengapresiasi sejarah keilmuan medis. Contohnya para pelajar dan akademisi ilmu-ilmu medis di Harvard. Mereka menelaah sejarah keilmuan medis di beragam dunia, termasuk di dunia Islam pada masa lampau.
“Mereka (para profesor) di Harvard masih tetap mengajar sejarah medis, bukan hanya yang ada di Barat, akan tetapi juga di wilayah-wilayah dunia yang bukan Barat, termasuk di Cina dan India. Mereka (juga) mengajar sejarah Islamic medicine. Dan sebenarnya mereka mengapropriasi (menyesuaikan), serta terus melakukannya,” lanjut Syamsuddin.
Sementara masyarakat di Indonesia belum mencapai taraf itu. “Cuma kalau di Indonesia hal ini masih belum banyak yang bisa mengapresiasi dan memahami itu kan. Dia pikir, kalau belajar farmasi ya jadi apoteker. Kalau belajar ilmu kedokteran ya jadi dokter, kerja di industri, kerja di Kimia Farma, buat Pedagang Besar Farmasi (PBF). Ya, yang kayak gitu lah,” lanjut Syamsuddin.
Baca juga: Dreamsea, Pusat Data Naskah Kuno Se-Asia Tenggara
Mengkaji ulang manuskrip sains medis bukan hal yang mudah. Menurut Syamsudin, beragam pendekatan metode harus digunakan untuk mencapai hasil yang baik. Seperti penguasaan ilmu filologi, tahqiq, kodikologi, paleografi, dan pendekatan historis untuk memetakan keabsahan dan keaslian manuskrip itu.
Tak hanya itu, manuskrip kadang diperdagangkan oleh segelintir orang. Untuk memperolehnya kembali agar itu bisa bermanfaat bagi banyak orang, perlu penebusan harga. Syamsuddin bercerita tentang Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sejarawan dan filsuf dari Malaysia, membeli sebuah manuskrip karya al-Biruni sekira tahun 1994.
Syamsuddin mendapatkan kabar dari seniornya, Zainal Abidin Bagir, adik Haidar Bagir bos penerbit Mizan, yang ketika itu menjadi mahasiswa. Dari keterangan Zainal, Prof. al-Attas membeli naskah itu senilai 40.000 ringgit Malaysia. Ketika itu biaya sebuah pesta pernikahan di Malaysia senilai 10.000 ringgit. “Untuk membeli sebuah manuskrip, setara dengan empat kali menikah di Malaysia,” ujar Syamsuddin.
Tapi pada akhirnya, pengkajian ilmiah manuskrip-manuskrip itu telah menyumbang referensi bagi umat manusia dalam menghadapi persoalan pandemi hari ini.