Masuk Daftar
My Getplus

Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit

Di tengah pandemi orang berharap vaksin menjadi solusi. Bagaimana ketika dahulu vaksin belum dikenal?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 13 Jan 2021
Presiden Joko Widodo mendapatkan suntikan dosis pertama vaksin Covid-19 produksi Sinovac. di Istana Merdeka, Jakarta, (13/1/2021). (Dok. Sekretariat Negara).

Presiden Joko Widodo mendapatkan suntikan pertama vaksinasi Covid-19 di Istana Merdeka pagi ini, Rabu (13/01/2021). Jokowi menerima dosis pertama dari vaksin produksi Sinovac.

Pemberian vaksin ini dilakukan setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19 produksi Sinovac. Pun setelah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menetapkan vaksin Covid-19 produksi Sinovac halal dan suci.

Dalam konferensi pers yang digelar usai vaksinasi, Joko Widodo menyatakan bahwa pemberian vaksinasi ini penting untuk memutus mata rantai penularan sekaligus memberikan perlindungan kesehatan kepada seluruh masyarakan Indonesia. “Keselamatan, keamanan bagi kita semua masyarakat Indonesia dan membantu percepatan proses pemulihan ekonomi,” katanya.

Advertising
Advertising

Penemuan vaksin memang menjadi harapan bagi semua orang di kala pandemi. Bayangkan bagaimana kira-kira dahulu orang-orang mengendalikan penyakit sebelum mengenal vaksin?

Penyakit Flu Sebelum Ada Vaksin

Misalnya saja influenza. Jika vaksin flu pertama baru beredar untuk umum pada 1940-an, di Jawa khususnya penyakit ini mungkin sudah ada sejak abad ke-11. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang menjelaskan kalau orang Jawa menyebut flu dengan pilek atau umbelen. Kata ini sudah tercatat dalam prasasti, khususnya dari masa sebelum abad ke-11. Orang Jawa Kuno menyebutnya dengan nama humbelen.

Humbelen atau flu ini rupanya penyakit tua, walaupun kita mungkin tak tahu seberapa penularannya,” kata Dwi. “Setelah abad ke-11 mungkin juga muncul tapi tak disebutkan.”

Baca juga: Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno

Epigraf Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menulis, humbelen adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan). Artinya penyakit ini terjadi karena keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Wikara bisa karena penyakit, bawaan sejak lahir, perubahan kejiwaan, atau kutukan.

Namun, agaknya waktu itu pilek tak begitu ditakuti. Pasalnya, kata Riboet tujuh wikara yang sangat ditakuti kala itu adalah kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk).

“Orang sakit influenza cukup dibedaki hidungnya,” catat Riboet.

Kutukan yang Harus Diruwat

Bicara soal sakit yang mewabah pada masa Jawa Kuno, mungkin bukti yang terjelas hingga kini adalah naskah Calonarang. Calon Arang adalah nama perempuan sakti ahli sihir dari Desa Girah.

Ceritanya diawali ketika Calon Arang merasa terhina karena tak ada yang mau menikah dengan putrinya yang cantik, Ratna Manggali. Semua lelaki takut menjadi menantu seorang Calon Arang.

Ia yang dendam memohon pada Bhatari Durga untuk menimpakan wabah ke seluruh negeri. Karenanya di negeri itu terjadilah wabah penyakit yang hebat. Bahkan tak hanya di desa, tapi sampai ke ibukota.

Banyak orang mati. Mayat-mayat membusuk di rumah dan menumpuk di kuburan, ladang, dan jalan. Desa menjadi sepi, orang-orang menyelamatkan diri ke desa-desa lain.

Baca juga: Calon Arang Memuja Durga Sang Penguasa Penyakit

Filolog R.Ng. Poerbatjaraka yang menerjemahkan naskah itu dari bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Belanda pada 1926 menduga kalau naskah Calon Arang mungkin menggambarkan peristiwa pada masa Raja Airlangga.

Namun, arkeolog Hariani Santiko dalam disertasinya “Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi” di Universitas Indonesia tahun 1987, berpendapat bahwa cerita Calon Arang lebih pas jika ditempatkan pada masa Singhasari akhir atau Majapahit.

Dari kisah Calon Arang, kata Dwi Cahyono, yang menarik untuk dicermati adalah wabah penyakit yang datang akibat teluh seorang ahli sihir. Bisa jadi ini adalah simbol bahwa kala itu pernah terjadi wabah penyakit.

Hariani Santiko menjelaskan pada masa lalu praktik memuja Durga untuk mengusir wabah penyakit memang pernah dilakukan. Di Nusantara, khususnya di Jawa, Durga dikenal sebagai pembinasa asura dan penguasa penyakit. Durga sangat ditakuti karena bisa menyebarkan penyakit sekaligus melindungi manusia dari wabah penyakit.

“Di sini yang dipuja adalah aspek Durga sebagai penguasa penyakit menular,” jelas Hariani.

Kisah wabah penyakit akibat dendam Calon Arang itu pun berakhir setelah Mpu Bharadah membunuh dan meruwat sang ahli sihir dan Desa Girah.

Menangani Penyakit

Ruwatan memang menjadi salah satu cara yang dipercayai masyarakat tradisional untuk meredakan murka alam atau ilahi. Wabah penyakit dianggap sebagai salah satu bentuk dari kemurkaan itu.

Ruwatan berasal dari kata ruwat, artinya luwar atau lepas. Ritual ini bisa dilakukan terhadap alam semesta sebagai tempat hidup manusia, serta segala isinya seperti bumi, sungai, laut, danau. Ruwatan pun bisa dilakukan terhadap manusia secara individu maupun kelompok.

“Karena berkaitan dengan keyakinan jadi dilakukannya juga berdasarkan keyakinan tertentu,” jelas Dwi.

Bukan hanya di Jawa, masyarakat Dayak di Kalimantan juga memiliki pandangan konsmologis bahwa wabah penyakit datang karena keseimbangan alam rusak. Karenanya mereka percaya penyakit bisa diobati dengan ritual, pantangan makanan dan aktivitas fisik lainnya.

Baca juga: Meruwat untuk Mengusir Kekuatan Jahat

Nasrullah Mappatang, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, dalam diskusi daring lewat aplikasi zoom tentang “Wabah Penyakit Menular dan Bencana Kemanusiaan Perspektif Sejarah dam Budaya” pada Kamis 30 April 2020, menyebutkan ritual-ritual yang dilakukan antara lain mencari penyebab penyakit atau ritual senteau. Lalu ritual penyembuhan (balian bawo), seperti yang dilakukan masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung di Kalimantan Timur. Ada pula ritual meminta perlindungan kepada para leluhur (manggatang sahur lewu) dan ritual bersih kampung dari pengaruh jahat akibat ulah manusia (Amapas Lewu).

Lalu di daerah Nusa Tenggara Barat, orang Sasak Lombok mengenal upacara tolak bala untuk mengusir wabah penyakit. Menurut Lalu Wacana, dkk. dalam Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Barat, ritualnya disebut metulak.

Metulak, kata dalam bahasa Sasak, yang artinya: tulak (kembali) dan metulak (mengembalikan). “Arti kiasannya menolak bala, yang dalam bahasa Sasak, bahla,” jelas Lalu.

Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit

Dalam sebutan lain tolak bala disebut tulak bahla. Bahla artinya wabah. Menurut Lalu, maksud upacara metulak untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhi dari segala marabahaya dan wabah yang dapat menimpa tanaman padi dan manusia.

Sementara itu, sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, menyebut bahwa kemarahan roh-roh orang mati yang tak puas merupakan penjelasan yang lebih cepat dan lebih mudah bagi suatu bencana yang terjadi.

Bagaimanapun, menurut Hari Lelono, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Tradisi Ruwatan: Bersih Bumi Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana”, yang terbit di Berkala Arkeologi Vol. 35, 2015, kepercayaan mempunyai fungsi salah satunya untuk mengurangi kegelisahan.

Dengan religi manusia bisa mendapat ketenangan untuk menghadapi hal-hal di luar jangakauan pikirannya, seperti kematian, penyakit, bencana, dan lainnya. Tak jauh berbeda dengan vaksin masa kini yang bisa membawa harapan di tengah pandemi.

Para Penanggung Jawab

Kendati dipengaruhi kepercayaan tertentu, bukan berarti masyarakat kuno tak memiliki organisasi kesehatan yang memadai. Para petugas kesehatan tercatat dalam beberapa prasasti dari masa Jawa Kuno.

Dalam Prasasti Balawi (1305) muncul istilah tuha nambi, yang artinya tukang obat. Kemudian terdapat istilah kdi (dukun wanita) dan walyan (tabib).

Profesi tuha nambi juga muncul dalam Prasasti Sidoteka (1323). Prasasti ini juga menyebut wli tamba atau orang yang mengobati penyakit.

Sedangkan dalam Prasasti Bendosari (1360) disebutkan keberadaan tabib desa atau disebut janggan.

Padadah atau pemijatan yang mungkin merujuk pada tukang pijat, pada masa Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, merupakan salah satu pekerjaan yang dibebaskan dari segala bea cukai. Ini berdasarkan Prasasti Biluluk.

Baca juga: Nusantara Terdampak Wabah Penyakit yang Melanda Dunia

Riboet Darmosoetopo mencatat bahwa pada masa Jawa Kuno, obat-obatan sudah diperhatikan terutama memanfaatkan beberapa tumbuhan, di antaranya buah jana, buah maja, buah jujube, pulai, dan buah mengkudu. Di antara itu ada obat yang bentuknya berupa bedak.

Selain lewat obat, orang dulu juga rupanya telah mengenal pembedahan. Soal ini dikisahkan singkat dalam Serat Pararaton. Raja Jayanagara, paman Hayam Wuruk, menderita penyakit. Penyakit ini oleh Sejarawan Kanada, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni, diartikan sebagai tumor yang membuat sang raja sulit bergerak.

Ra Tanca diberi tugas untuk menyembuhkan penyakit itu. Dikisahkan pembedahan dilakukan beberapa kali, tetapi selalu gagal. Operasi baru berhasil setelah sang prabu menanggalkan pelindungnya.

Baca juga: Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno

Yang jelas, sama seperti sekarang, orang dulu pun harus memastikan penanganan terhadap penyakit tak asal dilakukan. Hal itu diatur dalam kitab Agama, undang-undang dari masa Majapahit.

Dalam undang-undang itu diatur ancaman bagi orang yang lalai dalam pengobatan. Misalnya, seseorang yang mengobati binatang, tetapi binantang itu justru mati, didenda empat kali tiga atak. Sedangkan jika manusia yang diobati, tapi tidak sembuh malah kemudian mati, dendanya selaksa. Bahkan, jika seorang brahmana diobati malah mati, orang yang mengobatinya diganjar hukuman mati oleh raja yang berkuasa.

TAG

wabah penyakit vaksin

ARTIKEL TERKAIT

Koloni Kusta di Teluk Jakarta Ketika Wabah Kusta Melanda Batavia Dari Bersin hingga Penyakit Kelamin Sukarno Sakit Ginjal Sebelum Bakteri Penyebab Maut Hitam Bermutasi Manuskrip-manuskrip tentang Pandemi di Dunia Islam Sardjito Memimpin Institute Pasteur Sardjito, Dokter Revolusi Indonesia Melawan Kolera dengan Vaksinasi Massal Vaksin Wabah Penyakit