PENDUDUK Batavia pada masa-masa awal kota ini berdiri abad ke-17 menghadapi beragam ancaman. Selain peperangan dengan penguasa-penguasa lokal dan kejahatan di luar tembok kota, mereka juga menghadapi ancaman yang tak kalah mengerikan, yaitu wabah penyakit, salah satunya kusta. Penyakit ini menyebar dengan cepat hingga memicu kepanikan di kalangan penduduk. Jumlah korban yang terus bertambah mendorong didirikannya sebuah rumah khusus tahun 1666 untuk memisahkan mereka dari penduduk yang sehat.
Joan Nieuhofs, pegawai VOC yang bermukim di Batavia pada 1660-an, mencatat dalam bukunya Gedenkwaerdige zee en Lantreize door de Voornaemste Landschappen van West en Oostindien, rumah yang berada di sepanjang jalan Angke itu dinamai Lazarus Huis. Di sana, orang yang terjangkit penyakit kusta dirawat dengan makanan, minuman, dan obat-obatan untuk disembuhkan semampunya. “Rumah ini diawasi dan dikelola oleh beberapa patriot tua dan terhormat,” tulis Nieuhofs.
Nama Lazarus terinspirasi dari santo pelindung orang miskin. Lazarus juga merujuk kepada seseorang yang berhasil pulih atau bangkit kembali setelah terpuruk.
Baca juga:
Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Penduduk Batavia memandang penyakit kusta serupa dengan cacar yang mudah menular. Namun, mereka belum mengetahui penyebab penyakit tersebut. Ilmuwan dan tokoh medis yang meneliti penyakit kusta adalah Jacobus Bontius. Menurut sejarawan Leo van Bergen dalam Uncertainty, Anxiety, Frugality: Dealing with Leprosy in the Dutch East Indies, 1816–1942, Bontius yang bekerja sebagai dokter rumah sakit meneliti penyakit kudis yang dapat berkembang menjadi Lepra Arabum, atau, yang lebih buruk lagi, kaki gajah.
Selain Bontius, tokoh lain yang aktif meneliti penyakit kusta adalah Willem ten Rhijne, seorang dokter Belanda yang juga ahli botani. Ia mencatat bahwa penyakit ini menyebarkan benihnya kemana-mana, menginfeksi seluruh keluarga, dan dalam waktu beberapa tahun, telah menyebar sedemikian rupa sehingga orang khawatir wabah ini menjadi semakin serius karena penyebarannya yang masif.
Menurut Rhijne dalam karyanya, “De Lepra Asiatica” yang termuat di Opuscula Selecta Neerlandicorum de arte medica. Jaargang 1937(1937), penyakit kusta Asia, dalam hal gejala-gejalanya, menunjukkan kemiripan yang besar dengan kusta Arab dan kaki gajah. Selain itu, penyakit ini disebabkan oleh beberapa racun, baik yang masuk ke dalam tubuh dari luar dengan menyentuh atau memegang tubuh yang terinfeksi, atau dari udara maupun dari sebab-sebab lain di dunia luar.
Baca juga:
Gubernur Jenderal VOC Jadi Korban Wabah Penyakit
“Penularannya disebabkan oleh hidup bersama, baik melalui kontak saja, atau (dan terutama) melalui persetubuhan, atau melalui hubungan seksual, bahkan, seperti yang telah disebutkan, melalui napas, air liur, cairan tubuh, dan kotoran, dan dengan demikian berpindah dari satu orang ke orang lain,” tulis Rhijne.
Penyakit kusta menyebar cepat di Batavia karena banyak orang memilih merawat anggota keluarga yang terinfeksi di rumah daripada di tempat isolasi. Pilihan ini berkaitan dengan fatalisme bahwa penyakit kusta merupakan kiriman dari Tuhan. Mereka menganggap merawat anggota keluarga yang terinfeksi merupakan kewajiban, dan tak takut terinfeksi karena mereka beranggapan infeksi ditularkan oleh kutu.
Menurut Leo van Bergen, peningkatan jumlah penderita kusta disebabkan masuknya “pendatang baru” ke Batavia. Mereka termasuk para tawanan perang akibat konflik dengan Portugis di Nusantara, serta para budak dari India Selatan dan orang-orang dari Tiongkok. Selain itu, jumlah penduduk Batavia juga meningkat pesat menjadi sekitar 21.000 jiwa.
“Hal ini juga dapat menjadi penjelasan untuk peningkatan jumlah kasus, serta meningkatnya risiko penularan karena orang-orang sekarang hidup dalam kondisi yang lebih padat,” tulis van Bergen.
Untuk mencegah bertambahnya penderita kusta, pada 1667 pemerintah VOC mengeluarkan aturan yang mewajibkan para penderita kusta mendaftarkan diri ke rumah sakit Batavia untuk menjalani pemeriksaan. Akan tetapi, aturan ini tidak berjalan sesuai harapan, hanya sedikit orang mau mendaftarkan diri karena menganggap hal itu berarti pengasingan.
Baca juga:
Nusantara Terdampak Wabah Penyakit yang Melanda Dunia
Kewajiban rawat inap di rumah sakit ditetapkan satu tahun kemudian dan dengan cepat membuat rumah Lazarus di Angke menjadi terlalu padat. Atas perintah Rhijne, tempat perawatan penderita kusta dipindahkan ke Pulau Purmerend atau Pulau Sakit (kini, Pulau Bidadari) di Kepulauan Seribu. Sang dokter sendiri pernah diangkat sebagai buitenregent atau pengurus luar yang bertugas sebagai dokter pengawas di panti kusta yang ada di Batavia.
Rhijne percaya bahwa satu-satunya solusi medis untuk pengobatan penyakit kusta adalah dengan menerapkan isolasi yang ketat. “Mungkin solusi ini terlihat kejam, tetapi hal ini dilakukan semata-mata untuk ‘melindungi mereka yang sehat dari wabah yang mengerikan ini’,” katanya.
Keputusan untuk memindahkan para penderita kusta ke Pulau Purmerend juga didorong oleh ketakutan akan kontaminasi melalui air yang mengalir melalui Angke dan oleh peningkatan kasus yang terus-menerus. Sulitnya mengatasi wabah ini bahkan membuat penyakit kusta dianggap sebagai satu-satunya penyakit di Batavia yang “berkembang secara liar”.
Meski begitu, seiring berjalannya waktu penyakit kusta berangsur-angsur hilang. Frederik de Haan menulis dalam Oud Batavia Volume 1, pada 1790 sebagian dari tempat isolasi bagi penderita kusta digunakan untuk kebutuhan pasien biasa, dan lima tahun kemudian, para penderita kusta yang tersisa dipindahkan ke sebuah rumah sakit kecil di dalam benteng dan rumah sakit Tionghoa. Ketakutan akan penularan penyakit yang tadinya sangat besar, dengan demikian telah hilang sama sekali.*