Pada akhir Agustus 1945, lembaga penelitian vaksin dan obat-obatan milik pemerintah Hindia Belanda, Institute Pasteur, secara resmi diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Seluruh laboratorium, karyawan serta berbagai perangkat, termasuk hasil penelitian-penelitian penting, wewenangnya diberikan kepada Kementerian Kesehatan. Meski begitu, lembaga yang telah menyumbang banyak penelitian medis semasa krisis kesehatan di Hindia Belanda itu tetap pada fungsinya: meneliti kesehatan dan produksi obat-obatan.
Ketika pemerintah mengambil alih Institute Pasteur, kursi pimpinan di sana masih kosong. Pemimpin sebelumnya, Matsura Kakka dari Jepang, meninggalkan jabatannya begitu mengetahui pemerintahannya menyerah kepada Sekutu. Setelah Matsura Kakka angkat kaki, kepemimpinan sementara di lembaga itu dipegang oleh dr. R. Moh. Saleh, bekas dokter pasukan PETA Bandung. Hal itu dilakukan guna menjaga Institute Pasteur agar tidak diduduki oleh tentara Sekutu.
Menteri Kesehatan Boentaran Martoatmodjo lalu mengirim surat kepada kepala laboratorium Institute Pasteur di Semarang, Jawa Tengah, untuk mengambil alih kepemimpinan pusat Institute Pasteur di Bandung. Dia adalah Sardjito. Dijelaskan dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia jilid I, terbitan Departemen Kesehatan RI, Sardjito secara resmi mengemban tugas sebagai kepala Institute Pasteur pada akhir September 1945.
Baca juga: Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit
“Pimpinan Institute Pasteur diserahkan kepada Prof. Dr. Sardjito, sedangkan dokter R. Moh. Saleh tetap bekerja di Institute Pasteur. Pada waktu itu dr. Subaroto bekas dokter Heiho ikut membantu di Institute Pasteur,” demikian termaktub dalam buku tersebut.
Menurut kurator Museum UGM Irfan Waskitha Adi, Sardjito tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memegang jabatan itu. Sebelumnya pada masa penjajahan Belanda, hanya orang Eropa saja yang berhak menduduki jabatan kepala pusat. Sementara pada masa Jepang yang singkat, kepemimpinan Institute Pasteur hanya dipegang oleh orang-orang Jepang saja.
Dalam acara Jambore Kesejarahan “Peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949: Patriot Bangsa Merebut Ibu Kota” yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, (27/04/2021), Irfan menyebut bahwa kepemimpinan Sardjito membawa perubahan besar bagi Institute Pasteur. Selama masa pergerakan, Sardjito menginstruksikan tenaga medis di Institute Pasteur Bandung untuk membantu sipil dan militer, terutama dalam pemberian vaksin dan serum. Dia juga membantu menangani penyebaran penyakit anjing gila yang mewabah di Bandung sekitar tahun 1940-an.
Baca juga: Vaksin Darurat Masa Revolusi
Ketika Inggris datang ke Bandung, Sardjito mendirikan pos-pos medis di sepanjang jalur transportasi penting dan pinggiran kota tempat tentara berkumpul menjaga keamanan kota. Bersama tenaga medis dari Institute Pasteur dan Palang Merah, Sardjito menyediakan segala kebutuhan akan obat-obatan, vaksin, dan makanan darurat. Di bawah pimpinannya Institute Pasteur menjadi garda terdepan dalam menyediakan kebutuhan medis semasa perang. Bahkan ketika Bandung dibombardir, yang memunculkan peristiwa Bandung Lautan Api, Sardjito terus membantu rakyat di garis depan.
“Waktu itu Sardjito sudah diminta untuk mengungsi tetapi beliau tetap bersikukuh untuk tinggal. Padahal kamar tempat tinggal beliau bolong terkena peluru juga bom. Akhirnya setelah dibujuk beliau mau mengungsi,” kata Irfan, berdasarkan cerita Herman Johannes.
Sebetulnya Sardjito enggan untuk pindah karena dia khawatir dengan vaksin dan obat-obatan yang sudah dibuat di lembaganya. Sebagai salah satu pemasok utama obat dan vaksin di Indonesia, Sardjito ingin memastikan Institute Pasteur dapat mendistribusikan obat-obatan ke seluruh daerah yang membutuhkan. Selain itu juga, Sardjito khawatir jika harus meninggalkan staf-staf Institute Pasteur dan Palang Merah yang berada di garis depan perlawanan.
Baca juga: Penolakan Vaksin Dulu dan Kini
“Pemindahan Institute Pasteur Bandung memang harus dijalankan, oleh karena Institute Pasteur tersebut merupakan salah satu modal pemerintah Republik Indonesia untuk melanjutkan perjuangannya,” tulis buku Departemen Kesehatan itu.
Pindah ke Klaten
Melihat situasi yang semakin memanas, Sardjito memutuskan memindahkan Institute Pasteur. Segala operasional, baik penelitian dan produksi seluruhnya dipindahkan. Dia memilih daerah Klaten, Jawa Tengah, sebagai tempat berdirinya Institute Pasteur sementara. Lembaga penelitian kesehatan itu akan menempati laboratorium Percobaan Tembakau di Klaten, yang ketika itu dipimpin oleh Subandi.
Sebelum memindahkan seluruh peralatan dan obat-obatan ke Klaten, Sardjito memastikan kesiapan tempat yang akan ditujunya. Dia lalu mengutus beberapa karyawannya berangkat terlebih dahulu ke Klaten guna mempersiapkan laboratorium di tempat tersebut. Dia sendiri pergi bersama rombongan terakhir karena harus memastikan seluruh pekerjaannya di Bandung telah selesai.
Baca juga: Cerita Rombongan Presiden Soeharto Disuntik Vaksin
“Selain diizinkan mempergunakan gedung Laboratorium Percobaan Tembakau, Institute Pasteur diperbolehkan pula memakai alat-alat dari Laboratorium tersebut,” tulis Departemen Kesehatan.
Di Klaten, Sardjito membagi Institute Pasteur menjadi tiga bagian, yakni unit Bakteriologi (dipimpin Sardjito), unit Immunologi dan virologi (dipimpin Moh. Saleh), dan unit Serologi (dipimpin Subroto). Di sana, meski bekerja dengan peralatan sederhana, Institute Pasteur mampu memproduksi vaksin penyakit menular (tipus, kolera, disentri, dan pes) yang sempat mewabah di Salatiga, Kebumen, dan Yogyakarta.
Baca juga: Yogyakarta Usai Serangan Umum
Mereka juga berhasil membuat serum untuk penyakit rabies dan berbagai penyakit kulit. Bahkan Sardjito dan lembaganya bisa memberikan bantuan vaksin sebanyak 2.000 liter untuk pemerintah Mesir ketika negaranya diserang pandemi kolera. Setelah kepindahan Institute Pasteur ke Klaten, hampir seluruh tentara dan masyarakat umum di sejumlah daerah di Jawa Tengah telah menerima vaksinasi rutin.
Pada 19 Desember 1948, ketika Belanda melakukan penyerbuan ke Yogyakarta, sebagian besar karyawan Institute Pasteur, termasuk Sardjito, diungsikan ke luar Klaten. Mereka lalu mendirikan pos-pos darurat untuk membantu para tentara mengambil kembali ibukota. Setelah Yogyakarta berhasil diamankan, pemerintah Indonesia memutuskan memindahkan Institute Pasteur ke Kota Pelajar tersebut. Sardjito dan staf-staf Institute Pasteur terus berjuang memproduksi vaksin dan obat-obatan di sana. Sampai kemudian Institute Pasteur kembali ke Bandung, setelah pemerintah RI berdaulat secara utuh.