Dunia beberapa kali diserang wabah penyakit. Sejak masa prasejarah, wabah penyakit menyerang Tiongkok pada 3000 SM. Tifus menghantam Athena pada abad ke-5 SM.
Memasuki masa sejarah, wabah penyakit yang tercatat lebih banyak. Wabah Yustinianus (pes) menyerang Kekaisaran Romawi Timur pada abad ke-6, kusta di Eropa pada abad ke-11, Maut Hitam di Eurasia pada abad ke-13, cacar di Amerika dan Pasifik pada abad ke-16, kolera pada abad ke-19, serta flu Spanyol dan polio pada awal abad ke-20.
“Sementara di Indonesia, apakah ada korelasinya yang terjadi di global juga terjadi di Indonesia,” kata Sofwan Noerwidi, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam diskusi Puslit Arkenas lewat aplikasi zoom yang berjudul “Eksistensi Wabah: Fakta Masa Lampau Hadir pada Masa Kini”, pada Selasa, 21 April 2020.
Baca juga: Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa
Jejak penyakit paling awal diderita oleh Homo erectus, pendahulu Homo sapiens. Pada fosil tengkorak Sangiran 38 dari 700.000 tahun yang lalu, di sisi kanan kiri tulang parietal (tulang ubun-ubun) ada beberapa tanda yang mungkin disebabkan infeksi suatu penyakit.
“Kita belum bisa memastikan jenis penyakitnya karena keterbatasan konservasi fosil itu,” kata Sofwan.
Sedangkan pada fosil tulang paha Homo erectus dari Situs Trinil 500.000 tahun lalu, tampak adanya inflamasi atau cedera otot yang menyebabkan perkembangan tulang tak lazim.
“Jenis penyakit ini bahkan berlangsung hingga sekarang, banyak Homo sapiens menderita penyakit ini,” kata Sofwan.
Dari bukti yang ada, menurut Sofwan, manusia pada masa prasejarah lebih banyak menderita penyakit yang bersifat fisik. Penyakit-penyakit tidak menular itu, seperti cedera lengan, tulang paha, dan penggunaan gigi yang sangat ekstrem akibat pola diet. Makanan mereka tak diolah sampai lebih lembut sebagaimana dilakukan manusia pada masa kini.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Kendati begitu bukan berarti pada masa prasejarah tak ada indikasi penyakit menular. Jejaknya ditemukan pada Homo sapiens dari Gua Harimau 2.800 tahun lalu. Ada beberapa indikasi penyakit yang kemungkinan disebabkan bakteri tuberkulosis atau bakteri penyebab lepra. Pun ada jejak radang persendian pada tulang punggung. Ini mungkin disebabkan oleh rematik atau tuberkulosis. Indikasi cedera fisik juga masih dijumpai berupa patah tulang.
“TBC, lepra, bahkan mungkin sifilis jauh sudah ada pada zaman prasejarah. Beberapa kita lihat buktinya,” kata Sofwan.
Ditemukan pula peralatan dari masa prasejarah yang kemungkinan fungsinya tidak hanya untuk memproses makanan tapi juga untuk mengolah obat-obatan. Alat itu berupa batu gandik dan pipisan.
“Dibuktikan dari beberapa penyakit yang diidap masyarakat prasejarah, seperti patah tulang itu sembuh,” kata Sofwan. “Tapi adakah wabah (pada masa prasejarah, red.)? Jejaknya sangat samar.”
Penggambaran Wabah
Menurut Sofwan, kita juga hanya bisa menerka adanya wabah pada masa sejarah seperti lewat relief candi. Dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur, bangunan dari akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9, terdapat penggambaran serangan hama tikus di sebuah lahan pertanian.
“Apakah tikus-tikus itu membawa wabah? Pes? Atau penyakit lainnya? Belum tahu pasti. Tapi indikasi adanya serangan wabah mungkin saja terjadi pada masa itu,” kata Sofwan.
Selain dari relief candi, prasasti juga menyebutkan beberapa jenis penyakit, seperti Prasasti Wiharu II (929) pada masa Mataram Kuno. Dari masa Majapahit terdapat Prasasti Balawi (1305), Prasasti Sidateka (1323), Prasasti Bendosari (1360), Prasasti Biluluk (1350–1389), dan Prasasti Madhawapura dari abad ke-14.
Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit
Sumber naskah kuno juga mengungkapkan berbagai macam penyakit dan pengobatannya. Misalnya, Kidung Sudamala dari abad ke-13. Naskah ini berisi kisah Sadewa, anak Pandawa terakhir, yang meruwat Durga. Ia kemudian diberi nama Sudamala, yang artinya Suda (bersih) dan Mala (kotoran, penyakit).
Kemudian kisah Sri Tanjung dari abad ke-13 tentang cerita tokoh Sidapeksa yang diutus kakeknya untuk mencari obat.
Informasi lainnya ditemukan dalam Kitab Rajapatigundala dari abad ke-14. Disebutkan adanya penyakit akibat kutukan, seperti kusta, buta, cacat mental, gila, dan bungkuk. Dari abad ke-14 terdapat Kitab Korawacrama yang menyebutkan adanya penyakit fisik.
Pada masa Islam, informasi tentang macam-macam penyakit ditemukan dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-18. Serat Centhini (1814–1823) berisi ensiklopedia penyakit dan obat. Begitu juga Serat Kawruh Jampi Jawi (1831) berisi daftar penyakit dan jamu.
“Saya yakin di beberapa daerah di Nusantara mereka juga mengenal naskah-naskah sejenis. Ada pula catatan Eropa yang meneliti tentang obat-obatan di Nusantara seperti Rumphius,” kata Sofwan.
Baca juga: Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno
Sumber-sumber kuno itu banyak mencatat macam-macam wikara atau penyakit. Di antaranya bubuhên dan wudunen (bisul), belek (sakit mata) dan bulêr (katarak), gondong (leher membengkak), umis (pendarahan), humbêlên (flu), wudug (lepra), panastis (malaria), ulêrên (cacingan), dan apus (kehilangan tenaga). Ada pula beberapa penyakit kulit seperti ampang, amis antem, dan apek.
Soal sakit yang mewabah pada masa Jawa Kuno, mungkin naskah Calonarang hingga sekarang adalah satu-satunya bukti yang paling jelas. “Ada satu cerita tentang masa Kerajaan Airlangga di mana ada serangan wabah yang menelan banyak korban. Kalau pagi sakit, sore meninggal. Sore sakit, pagi meninggal,” kata Sofwan.
Nusantara di Tengah Pandemi
Menurut Sofwan penyebaran penyakit sampai ke Nusantara berkaitan dengan bencana alam dan perang. Misalnya, pada abad ke-13 terjadi letusan gunung yang sangat besar hingga menyebabkan perubahan iklim. Kebetulan kala itu terjadi migrasi pembawa penyakit pes di Asia Daratan bersamaan dengan invasi Mongol dari Asia Daratan ke Eropa.
“Kalau pernah dengar istilah Black Death, kira-kira terjadi masa itu. Apakah ketika Mongol menginvasi Jawa mereka juga membawa pes? Ini menarik, belum banyak dikaji,” kata Sofwan.
Baca juga: Catatan Ibnu Battuta tentang Wabah Penyakit Mematikan
Penyebaran penyakit juga terjadi setelah perluasan pengaruh Eropa pada awal abad ke-16. Selain mencari kekayaan dan kekuasaan, mereka juga menyebarkan penyakit. Penyakit cacar yang dibawa orang Eropa hampir memusnahkan masyarakat Indian di Amerika Utara dan Selatan. Pun masyarakat di kawasan Pasifik, bahkan masyarakat di beberapa pulau punah sama sekali.
“Ternyata cacar juga sampai ke Ternate dan Ambon, kemudian tersebar ke seluruh Nusantara ketika Belanda datang ke Batavia,” kata Sofwan.
Bencana alam sebelum masa Perang Jawa juga berdampak pada timbulnya penyakit. Pada 1815, letusan Gunung Tambora yang sangat besar mengakibatkan perubahan iklim. Panen gagal terutama di Jawa dan Bali sehingga harus mengimpor beras. Ternyata, beras itu terkontaminasi bakteri kolera. Akibatnya, penyakit kolera menyebar di Jawa dan Sumatra.
Setelah kolera berlalu, Perang Diponegoro juga sudah berakhir, terjadi lagi wabah pes. “Dibawa oleh tikus karena perdagangan dunia semakin menggeliat setelah periode perang itu,” kata Sofwan.
Sulitnya Data Primer
Melihat data yang ada, artinya masyarakat di kepulauan Nusantara telah beberapa kali ikut terjangkit wabah yang merebak di berbagai belahan dunia. Karenanya mempelajari sejarah terjadinya wabah pada masa lalu penting untuk dilakukan. Khususnya tentang apa yang dilakukan masyarakat masa lampau. Bagaimana mereka menghadapi wabah dan mencari jalan keluar.
“Ini belum banyak dilakukan, riset obat tradisional juga tampaknya belum optimal,” kata Sofwan.
Sayangnya, kini peneliti kekurangan data primer langsung dari rangka yang berasal dari periode sejarah. Mungkin, kata Sofwan, itu disebabkan oleh keterbatasan konservasi data. Jika pun tidak, mungkin pula pada masa lalu terdapat tradisi tentang tata cara masyarakat memperlakukan jenazah.
Baca juga: Menggali Sejarah Pemakaman
“Misal di Bali ada tradisi ngaben. Apakah waktu dulu juga begitu? Jadi korban-korban wabah itu dikremasi massal. Jadi kita ini memang jarang sekali menemukan data primer,” kata Sofwan.
Kalaupun ada, misalnya temuan rangka dari Situs Liyangan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dari sekira abad ke-9. Namun, temuan rangka ini konservasinya sangat buruk. Akibatnya proses observasi apakah manusia ini pernah menderita suatu penyakit menjadi sulit dilakukan.
“Mengapa rangka prasejarah awet? Itu karena mereka ditemukan pada tempat tertentu dan terendapkan di kondisi tertentu. Rangka dari periode selanjutnya saya belum banyak menemukan,” kata Sofwan.