Pemerintah penting sekali memahami pandemi di masa lalu. Pengalaman menghadapinya dapat dijadikan pelajaran berharga dalam menangani pandemi Covid-19. Khususnya pengalaman ketika pandemi Flu Spanyol melanda dunia termasuk Indonesia ketika berada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda.
"Banyak yang bisa dipelajari, dampaknya (Flu Spanyol, red.) juga luar biasa. Kalau sudah pernah mengalami, sudah ditulis dengan bagus, banyak sumber yang bisa dipelajari kemudian disebarluaskan, kita tak perlu mulai dari zero. Kita hidup dalam pandemi justru harus takut kalau tidak tahu apa-apa," kata Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam dialog sejarah "Riwayat Pandemi dari Masa ke masa" yang disiarkan langsung di Youtube dan Facebook Historia.id, Kamis, 24 September 2020.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Hera mengatakan, waktu Flu Spanyol menyerang pada awal abad ke-20, sudah muncul ide dan pemikiran bahwa kerumunan akan menyebarkan penyakit. "Ketika itu pun ada larangan untuk berkumpul," ujar Hera.
Sayangnya, kata sejarawan Ravando Lie, pemerintah Hindia Belanda lambat merespons pandemi Flu Spanyol. Tak ada strategi pencegahan awal yang dilakukan sehingga banyak korban berjatuhan.
"Kasus di Indonesia menurut saya agak sedikit memprihatinkan. Pada pelaksanaannya tak ada strategi apapun oleh pemerintah kolonial," ujar Ravando.
Mortalitas Tak Lazim
Ravando menjelaskan, dari seluruh pandemi influenza yang pernah dikenal, Flu Spanyol yang paling terkenal. Dalam waktu singkat, penyakit ini diduga menginfeksi 500 juta atau sepertiga populasi dunia. Tingkat kematiannya 20 persen dari total yang terjangkit.
"Untuk ukuran influenza, angka mortalitas (kematian, red.) 20 persen sangat tak lazim. Kalau merujuk pada pandemi influenza sebelumnya, biasanya hanya membunuh 0,2 persen dari total populasi yang terjangkit," kata Ravando.
Baca juga: Seabad Flu Spanyol
Ketika pandemi Flu Spanyol terjadi pada 1918–1919, Perang Dunia I tengah berkecamuk. "Diduga dalam waktu empat bulan, penyakit ini lebih membunuh ketimbang black death yang membunuh korbannya dalam empat tahun," kata Ravando.
Melihat penyebarannya di dunia, Flu Spanyol terbagi menjadi tiga gelombang. Pertama, Maret–Agustus 1918, korbannya masih cenderung sedikit. Kedua, November–Desember 1918, puncak transmisi Flu Spanyol sehingga jumlah korbannya semakin masif. Ketiga, Desember 1918–Februari 1919, pandemi mulai mereda mungkin karena imunitas masyarakat mulai terbentuk.
Respons Lambat
Pemerintah kolonial Hindia Belanda sempat bersikukuh Flu Spanyol bukan penyakit berbahaya, sehingga tak menyiapkan strategi untuk menghadapinya.
"Kalaupun kemudian merebak para dokter, pemerintah kolonial melihatnya hanya sebagai flu biasa yang dianggap tak berbahaya," kata Ravando.
Kenyataannya koran-koran banyak memberitakan bagaimana pandemi menjangkiti masyarakat di Jawa dan Sumatra. Misalnya, koran Sin Po melaporkan penyakit ini meneror Medan dan menyebar ke seluruh Sumatra dan Jawa. Bahkan, diberitakan 60 polisi di Medan terjangkit dan 100 kuli Tionghoa meninggal dunia.
Baca juga: Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno
Padahal, konsulat Belanda di Hongkong dan Singapura telah memperingatkan kemungkinan pandemi Flu Spanyol menyerang Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pun disarankan untuk memperketat pengawasan di pelabuhan.
"Karena ini jadi tempat turun naik penumpang dan diduga kalau tak diperketat penyakit akan menyebar dengan masif," kata Ravando.
Di wilayah lain, seperti Singapura, pencegahan dimulai dengan penutupan sementara sekolah dan fasilitas umum yang memicu keramaian. Kemudian tenaga medis bergerak. Para dokter menjemput pasien yang terjangkit lalu mengirimnya ke tempat karantina untuk diawasi ketat.
Baca juga: Ramuan dan Roh Jahat Penyebab Flu
Terlambatnya pemerintah kolonial merespons pandemi membuat masyarakat kebingungan. Tak heran upaya mereka menghindari wabah dengan obat-obatan herbal hingga cara kultural seperti arak-arakan.
"Obat-obatan jadi solusi dan dipromosikan juga oleh koran-koran sezaman. Banyak juga kemudian berita hoaks bermunculan," kata Ravando.
Pemerintah kolonial baru melakukan upaya signifikan dengan membentuk Influenza Commissie pada 16 November 1918. Komisi ini bertugas menginvestigasi akar penyebaran dan gejala dari Flu Spanyol. Kebijakan yang dihasilkan di antaranya imbauan untuk mengenakan masker hingga pendistribusian obat antiinfluenza.
Dibentuk pula Influenza Ordonnantie untuk mengatur kegiatan di pelabuhan, mulai dari proses naik turun penumpang hingga bongkar muat barang. Bagi pelanggar peraturan dikenakan hukuman denda dan penjara.
Baca juga: Sebuah Pamflet, Sebuah Panduan dalam Menghadapi Flu
Menurut Ravando, rancangan peraturannya sudah diselesaikan oleh Dr. W. Thomas de Vogel dan timnya sejak 1919. Namun, pelaksanaannya menghadapi kendala karena diprotes oleh para pelaku usaha yang mengganggap peraturan itu mematikan bisnis mereka. Akibatnya, peraturan itu baru disahkan pada 1920 ketika korban sudah mencapai 1,5 juta jiwa, atau menurut data terbaru korbannya 4,3 juta jiwa.
"Di sinilah kebingungan yang dialami pemerintah kolonial," ujar Ravando.
Baca juga: Penerjunan Tenaga Medis pada Wabah di Hindia Belanda
Hingga kini proses memahami pandemi Flu Spanyol belum bisa dibilang tuntas. "Kita perlu memahami epidemiologinya. Ini belum selesai. Jadi, pandemi 1918 itu juga terus dipelajari apa yang terjadi. Virusnya sudah bisa dipelajari sekarang. Lalu karakternya dan pola penyebarannya," kata Hera.
Penyakit menular, kata Hera, bisa dibilang merupakan pendamping setia manusia, termasuk yang terjadi sekarang. Kendati seakan wajar hidup di tengah berbagai penyakit menular, bukan berarti kita membiarkan begitu saja penyakit itu berjangkit hingga menjadi lebih dominan. Kita harus terus mengenali si pendamping itu.
"Kita yang mengontrol, bukan mereka," kata Hera. "Yang kita lakukan harusnya berbicara pandemi dulu yang sekarang dan kemungkinan yang akan datang. Belajarlah dari sejarah."