SEBUAH pandemi penyakit paling ganas dalam sejarah umat manusia terjadi pada 1918-1919. Sekitar 50 juta orang tewas di seluruh dunia. Penyebab pandemi adalah virus influenza A H1N1. Proses penularan virus yang cepat dengan tingkat kematian yang tinggi membuat banyak pihak kewalahan, termasuk pemerintah Hindia Belanda.
Di Hindia Belanda sekitar 1,5 juta penduduknya meninggal akibat pandemi. Seperti di wilayah pandemi lainnya, kebanyakan yang meninggal berusia antara 20- 40 tahun. Situasi pandemi yang penuh keprihatinan di Hindia Belanda tertuang dalam sebuah sajak di suratkabar berbahasa Melayu Tjaja Sumatra, 31 Desember 1919.
Penjakit Spanjol datang berdjangkit
sematjam penjakit yang baharoe terbit
keadaannya gandjil sertanja soelit
mendjadikan korban boekan sedikit
Di beberapa tempat sangat hebatnja
baik di Djawa atau di Soemetera
pendeknya diseloeroeh poela Hindia
Influenza nan sangat habis memoenahkan
Pandemi menjelajah berbagai wilayah dalam tiga gelombang: Maret-Agustus 1918, September-November 1918, dan awal 1919. Pandemi influenza itu juga dikenal sebagai “flu Spanyol” karena liputan media Spanyol yang tinggi tentang pandemi. Spanyol merupakan salah satu negara yang tak terlibat perang dunia pertama sehingga tak ada sensor media.
Baca juga: Seabad Flu Spanyol
Pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi pandemi, termasuk melakukan penyebaran informasi tentang influenza yang dianggap efektif untuk masyarakat lokal. Salah satunya lewat cerita wayang dalam bahasa lokal.
Pada 1920, lewat penerbit Balai Pustaka, pemerintah menerbitkan sebuah buku panduan pencegahan dan pengobatan influenza yang terbit dalam bahasa Jawa berjudul Lelara Influenza. Menurut Priyanto Wibowo dkk dalam Yang Terlupakan, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, diperkirakan target utama pembaca Lelara Influenza adalah para dalang. Informasi mengenai influenza dan pencegahannya terangkai melalui percakapan antartokoh wayang (punakawan) yang dekat dengan masyarakat Jawa. Isinya antara lain:
… Influenza bisa mengakibatkan sakit panas dan batuk, mudah menular, asalnya dari abu atau debu. Berhati hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu…..
…. Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh keluar rumah. Harus tidur atau istirahat aja. Badannya diselimuti sampai rapat. Kepalanya dikompres, tidak boleh mandi…
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Makalah Steve Ferzacca “Governing Bodies in New Order Indonesia” dalam Mark Nitcher dan Margaret Lock New Horizons in Medical Anthropology: essays in honour of Charles Leslie, juga menyebutkan sebuah pamflet berbahasa Melayu mengenai pencegahan influenza yang mengadaptasi alur cerita Ramayana terbit 1920. Isinya hampir sama dengan Lelara Influenza, hanya tokoh-tokohnya bukan punakawan Jawa.
Dikisahkan, ayah Seriati, gadis cantik rupawan, mengadakan sayembara untuk menyembuhkan penduduk yang sakit influenza. Hadiahnya: menikah dengan anaknya. Si Pandjang, tokoh pahlawan, ikut sayembara. Ia membantu menyembuhkan penduduk yang sakit influenza berdasarkan pengetahuan pencegahan dan pengobatan “modern” seperti tablet bandoeng atau pil kina, sama seperti anjuran pemerintah –saat itu pandemi influenza kerap disamakan dengan malaria. Abang Gendoet tak mau kalah. Ia mengobati influenza dengan ilmu tabib dan jimat. Di akhir cerita, Si Pandjang memenangi sayembara dan mendapatkan Si Seriati.
Baca juga: Ramuan Menghadapi Roh Jahat: Pandemi Influenza
Selain penyebaran lewat bahasa dan medium lokal, pemerintah Hindia Belanda mensahkan Influenza Ordonnantie atau undang-undang (UU) khusus influenza pada 1920 (Staatsblad Van Nederlandsch-Indie 1920 no 793). Melalui UU tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Medis Umum (Inspecteur van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst) bertanggung jawab mengantisipasi penyebarluasan pandemi melalui kontrol rutin, kesiapan tenaga kesehatan, fasilitas di lapangan, dan panggilan darurat kesehatan.
Sajak menyambut tahun baru 1920 dalam suratkabar Tjaja Sumatra berakhir dengan sebuah harapan:
Achir kalam kita oetjapkan
Moedahan 1920 membawa perobahan
Seloeroeh Hindia hendaknja aman
Mara bahaja Allah lindoengkan
Pandemi influenza ini kemudian menghilang dengan sendirinya, meski tak pernah benar-benar berakhir. Terbukti pandemi influenza kembali melanda dunia 1957-1958 (Flu Asia, H2N2), 1968-1969 (Flu Hong Kong, H3N2), dan yang terbaru 2009 hingga sekarang (H1N1). Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), pandemi H1N1 2009 hingga Maret 2010 telah menerpa lebih dari 213 negara/wilayah dan sekitar 17.483 penduduk dunia meninggal.
Keganasan pandemi H1N1 2009 tak separah tahun 1918-1919. Berbagai kemajuan penelitian ilmiah serta ketersediaan sarana kesehatan dan komunikasi publik yang lebih memadai membuat banyak negara lebih siap menghadapi pandemi. Namun, seperti pengalaman pandemi 1918-1919, potensi kemunculan (mutasi) virus-virus influenza baru selalu ada. Kesiapsiagaan akan terus menjadi sebuah tantangan.