TEPAT satu abad silam, Flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu membunuh jutaan orang. Flu Spanyol membunuh sekitar dua sampai 20 persen penderita yang terinfeksi. Persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita. Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai "The Mother of All Pandemics."
Asal-muasal virus ini masih menjadi perdebatan. Menurut Frank Macfarlane Burnet, virologis Australia yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari influenza, pandemi 1918 bermula di Camp Funston dan Haskell County (Kansas) Amerika Serikat. Sementara menurut North China Daily News, seperti dikutip harian Pewarta Soerabaia, pandemi bermula di Swedia atau Rusia lalu menyebar ke Tiongkok, Jepang, dan Asia Tenggara.
Beberapa epidemiologis Amerika menyimpulkan, virus flu dibawa oleh buruh Tiongkok dan Vietnam yang dipekerjakan militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia I (PD I). Alasan utamanya, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi. Namun argumen tersebut dibantah Dr. Edwin Jordan, editor dari Journal of Infectious Disease, dengan menyebut bahwa wabah flu di Tiongkok tidak menyebar dan berbahaya. Jordan juga tidak sepakat dengan teori yang menyebutkan India atau Perancis sebagai asal dari virus mengingat virus flu di kedua negara tersebut hanya bersifat endemik.
Baca juga: Sukarno, Hari Kesehatan Nasional, dan pemberantasan malaria
Namun, tidak satu pun teori menyebutkan Spanyol sebagai tempat asal virus penyebab pandemi yang terjadi berbarengan dengan PD I itu. Penamaan pandemi dengan Flu Spanyol, menurut Gina Kolata dalam bukunya, Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It, berasal dari pemberitaan media-media Spanyol yang saat itu sirkulasinya cukup terbuka akibat netralitas negeri itu dalam PD I. Pemberitaan tersebut segera menyebar ke luar Spanyol sehingga membuat wabah tersebut dikenal dengan nama “Flu Spanyol” meski orang-orang Spanyol menyebut pandemi itu dengan “Flu Perancis”.
Cepatnya penularan disebabkan karena virus ditularkan melalui udara. Cepatnya penularan dan luasnya jangkauan pandemi membuat jumlah korban amat tinggi. Satu miliar orang (60 persen dari total populasi dunia) diperkirakan terkontaminasi virus tersebut.
Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa. Para epidemiologis menyimpulkan, Flu Spanyol merupakan penyakit menular paling mematikan dalam sejarah umat manusia, jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera.
Flu Spanyol sampai Indonesia
Di Hindia (kini Indonesia), pandemi itu terbawa masuk besar kemungkinan melalui jalur laut, entah lewat kapal penumpang ataupun kapal kargo. Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertamakali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura dan menyebar lewat Sumatera Utara. Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.
Menariknya, harian Sin Po dan Pewarta Soerabaia memiliki beberapa nama untuk menyebut pandemi itu: “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje”. Dalam salah satu artikelnya, Pewarta Soerabaia bahkan menggunakan istilah "Russische Influenza" meskipun pandemi Flu Rusia sudah berakhir pada 1890. Namun dalam artikel-artikel berikutnya, Sin Po maupun Pewarta Soerabaia menggunakan terminologi yang lazim digunakan di seluruh dunia untuk menyebut penyakit ini: Flu Spanyol.
Ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes, dan cacar.
Baca juga: Kampanye pencegahan dan pengobatan flu melalui medium lokal
Beberapa suratkabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. Aneta, misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe berbahaja seperti kolera atau pes."
Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera. Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.
Menurut BGD, gejala Flu Spanyol layaknya flu biasa. Penderita merasakan pilek berat, batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut di awal. Dalam beberapa hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi. Gejala umum lainnya, mimisan, muntah-muntah, menggigil, diare, dan herpes. Pada hari keempat atau kelima, virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak kasus, gejala itu berkembang menjadi pneumonia. Bila penderita sudah sampai pada tahapan ini, kecil kemungkinan bisa bertahan.
Menurut Sinar Hindia, penyakit itu disebabkan perang yang berkecamuk di Eropa membuat kondisi udara menjadi buruk. Faktor tersebut berkelindan dengan musim kemarau panjang yang tengah terjadi di Hindia. Namun, De Sumatra Post membantah pendapat itu dengan menyebut influenza tersebut sebagai “Penjakit Rakjat”, berasal dari dalam Hindia, dan tidak menular. De Sumatra Post terpaksa menelan ludahnya sendiri ketika dalam salah satu artikelnya mendorong agar seluruh suratkabar di Hindia Belanda berkenan menyediakan rubrik singkat guna memberikan informasi mengenai bahaya penyakit ini.
Penyebaran Flu Spanyol di Hindia terjadi dalam dua gelombang. Pertama, Juli 1918-September 1918, sekalipun di beberapa tempat, seperti Pangkatan (Sumatera Utara), virus ini sudah menyebar pada Juni 1918. Diduga kuat penyakit itu ditularkan penumpang dari Singapura. Sementara, kawasan timur, seperti Sulawesi dan Maluku, masih terbebas dari Flu Spanyol selama gelombang pertama.
Baca juga: Masyarakat merespons pandemi flu lewat arak-arakan dan sesajen
Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara masif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Memasuki Oktober 1918, virus telah mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Sunda. Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua dan Maluku, 10 dari 1000 orang meninggal akibat flu ini. Menurut Oetoesan Hindia, lebih dari 10 persen populasi di Pulau Seram meninggal akibat keganasan virus ini. Sementara, 60 persen penduduk Makassar yang berjumlah sekitar 26.000 jiwa dilaporkan terjangkit virus ini dan 6 persen dari mereka tewas.
Pewarta Soerabaia mencatat, hingga pertengahan Juli 1918, Flu Spanyol telah menjangkiti 70 polisi di Jawa dan membunuh 10 orang Tionghoa di Medan. Beberapa perusahaan di Surabaya bahkan harus mengurangi produksi karena lebih dari setengah karyawannya tidak dapat masuk kerja karena terkena Flu Spanyol. Sin Po bahkan mengabarkan kemungkinan keterlambatan tiba korannya agar masyarakat memaklumi. Sementara itu, sebuah perusahaan di Ambon harus menerima kenyataan hanya sembilan pekerjanya (dari total 800 pekerja) yang bisa masuk kerja.
Seluruh rumahsakit mendadak kebanjiran pasien sampai harus menolak banyak pasien karena keterbatasan kamar. Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu. Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.
Menurut Koloniaal Weekblad (1919), masing-masing dokter di Makassar harus bertanggungjawab terhadap nasib 800 pasien. Saking frustasinya, dalam sebuah rapat regional di Rembang, Dr. Deggeler sampai menyatakan bahwa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu, selain amal baik seseorang.
Beberapa dokter justru memanfaatkan momentum pandemi itu untuk menaikkan tarif pengobatan. Dr. Hoefer dan Dr. Rademaker di Surabaya, misalnya, secara sepihak menaikkan tarif dari f.1,5 menjadi f.3. Mereka berdalih tindakan tersebut diambil supaya tidak harus melayani banyak pasien. Pewarta Soerabaia menganggap dokter tipe tersebut hanya mengambil keuntungan dari orang sakit. Mereka dianggap melanggar sumpah dokter karena tidak memprioritaskan pasien yang membutuhkan dan hanya berpikir memperkaya diri.
Akibatnya, berkembang stereotip dokter Eropa cenderung memprioritaskan pasien dari golongan berada sehingga pasien kurang mampu takut berobat ke rumahsakit atau memanggil dokter. Umumnya, mereka hanya mengandalkan pengobatan tradisional, yang seringkali juga tidak berakhir manjur.
Dalam rapat Volskraad, Dr. Abdul Rivai menyebutkan bahwa pandemi telah menjangkiti lima persen dari total populasi di Surabaya. Di Pasuruan, mayat-mayat terpaksa dibaringkan di jalan karena banyak penggali kubur terjangkiti virus tersebut. Koloniaal Weekblad (1919) menuliskan, influenza masih mengamuk di berbagai wilayah Kalimantan pada akhir Desember 1918. Menurut laporan Zendeling Borch, banyak penduduk meninggal akibat influenza dan pneumonia, biasanya didahului dengan demam tinggi hingga 41 derajat Celsius.
Gelombang kedua Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur, berlangsung hingga akhir Januari 1919. Pewarta Soerabaia melaporkan, virus masih mengganas di Buton pada awal Januari 1919. Kasus kematian juga terjadi di beberapa perkebunan di Sumatera, yang dilaporkan Harian Andalas.
Sin Po menyebutkan Flu Spanyol membuat beberapa perkebunan di Jawa Barat menderita. Sebanyak 200 pekerja di Wanasukan terinfeksi pandemi sehingga tidak dapat bekerja. Kondisi serupa terjadi di Talun, mengakibatkan produksi kopi terhambat. Di Padang, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Adabiah dihentikan karena mayoritas murid dan gurunya terinfeksi Flu Spanyol. Begitu juga dengan Kartinischool Goenoeng Sari dan Kweekschool Goenoeng Sari di Batavia dan HIS Gorontalo.
Laporan BGD tahun 1920 menyebutkan, “Seloeroeh desa di Hindia Olanda hampir tidak ada jang tidak terinfeksi oleh penjakit flu." Akibatnya, menurut laporan itu, "[P]intu rumah tertutup. Jalan-jalan begitu lengang. Anak-anak menangis di dalam rumah karena merasa lapar dan haus. Banyak binatang bahkan meninggal kelaparan. Hari-hari tersebut sangat penuh dengan kesengsaraan."
Menurut data mortalitas dalam Handelingen van den Volksraad tahun 1918, pada November 1918 sebanyak 9.956 orang meninggal karena kolera, 909 karena cacar, 733 karena pes. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding jumlah korban Flu Spanyol di bulan yang sama, 402.163 jiwa.
Tidak diketahui pasti berapa jumlah korban Flu Spanyol di Hindia mengingat jumlah penduduk Indonesia saat itu belum diketahui pasti dan sensus pertama baru diadakan pemerintah kolonial pada 1920 sehingga besar kemungkinan korban Flu Spanyol di daerah-daerah terpencil tidak tercatat. Pewarta Soerabaia menyebutkan, hingga 23 November 1918, jumlah korban meninggal akibat berbagai wabah penyakit di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa dan mayoritas adalah korban Flu Spanyol. Sementara menurut Colin Brown dalam “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, korban Flu Spanyol di Indonesia sebanyak 1,5 juta jiwa. Statistik dalam Koloniaal Verslag menginformasikan, Flu Spanyol mengakibatkan peningkatan persentase angka kematian di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga dua kali lipat, bahkan lebih.