NAMA Budi Gunadi Sadikin masuk dalam bursa calon menteri yang akan mengisi kabinet yang dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto. Menteri Kesehatan era Joko Widodo itu diberitakan akan tetap menduduki jabatannya hingga lima tahun ke depan. Sinyal tersebut disampaikan pria yang akrab disapa BGS itu setelah mengunjungi kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (14/10) malam lalu.
Menkes Budi mengatakan kepada awak media bahwa ada sejumlah hal yang dibicarakan dengan Prabowo malam itu. Beberapa di antaranya terkait dengan persoalan kesehatan di Indonesia, termasuk upaya untuk meningkatkan jumlah dokter, peningkatan pemeriksaan kesehatan, dan pengendalian penyakit tuberculosis dan malaria.
Kabar mengenai kemungkinan Budi Gunadi Sadikin kembali menduduki posisi sebagai menteri kesehatan mencuri atensi publik. Sebab, Menkes Budi sesungguhnya bukan seorang dokter maupun peneliti di bidang kesehatan. Namanya menarik perhatian masyarakat Indonesia ketika ia dilantik menjadi menteri kesehatan pada 23 Desember 2020.
Baca juga:
Bela Negara dari Belantara Minangkabau
Sorotan yang diarahkan kepada alumni Institut Teknologi Bandung yang pernah menjabat sebagai wakil menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2019-2020 itu cukup beralasan. Pandemi COVID-19 tak hanya membahayakan kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi nasional. Dengan demikian sebagai seorang menteri kesehatan Budi tak hanya didorong untuk memastikan pelayanan kesehatan yang maksimal tetapi juga mencari cara untuk menanggulangi pandemi.
Meski kerap dipandang sebagai menteri kesehatan pertama non-dokter, Budi Gunadi Sadikin bukan satu-satunya insinyur yang pernah dimandatkan tugas menjadi menkes. Di tahun 1948, ketika Perang Kemerdekaan tengah berkecamuk di berbagai wilayah, Ir. Mananti Sitompul ditunjuk menjadi Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan dalam kabinet yang dibentuk oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Menurut Amrin Imran, Saleh A. Djamhari, dan J.R. Chaniago dalam PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam Perang Kemerdekaan, kondisi darurat akibat perang membuat tokoh-tokoh yang ditunjuk menjadi menteri dalam kabinet PDRI memegang beberapa kementerian. Mr. Sjafroeddin Prawiranegara, misalnya, sebagai perdana menteri juga menjadi menteri pertahanan, menteri penerangan, dan menteri luar negeri (ad interim) –jabatan menteri luar negeri kemudian diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis.
“Mr. Teuku Mohammad Hassan selain menjabat sebagai Wakil Ketua juga merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, dan Menteri Agama; Mr. Sutan Mohammad Rasjid menjadi Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Perburuhan; Mr. Lukman Hakim menjabat sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman; sedangkan Ir. Indratjaja bertugas menjadi Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran,” tulis Imran, Djamhari, dan Chaniago.
Usulan mengenai rangkap jabatan ini, menurut Sutan Mohamad Rasjid dalam Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia), pernah diutarakan oleh IJ Kasimo.
“Kasimo mengusulkan, karena kedudukan menteri-menteri terpencar di medan perjuangan, supaya menteri-menteri di samping tugas masing-masing juga merangkap memangku jabatan menteri lainnya, jika menteri itu berhalangan, dan sesudah itu segera memberi tahu yang bersangkutan dan ini untuk kepentingan negara, disetujui oleh PDRI,” tulis Rasjid.
Baca juga:
Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia
Mengemban tugas sebagai menteri kesehatan tentu memberikan tantangan tersendiri bagi Mananti Sitompul. Seperti halnya Menkes Budi di masa kini, pria kelahiran Tapanuli 9 Juli 1909 itu juga tidak memiliki latar belakang dunia kesehatan. Anak tunggal dari seorang petani yang tidak bisa membaca dan menulis itu memulai pendidikan formalnya di HIS Tapanuli dan lulus pada tahun 1925. Kesulitan ekonomi tak mematahkan semangat Mananti Sitompul untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu ketika kesempatan untuk mendapatkan beurs (beasiswa) muncul, ia tak menyianyiakannya dan berhasil mendapatkannya serta menamatkan pendidikannya di MULO Padang pada 1929.
Memasuki tahun 1930, Mananti Sitompul merantau ke tanah Jawa. Ia meneruskan pendidikannya di AMS Yogyakarta dan tamat pada 1932 dengan mendapat darma-siswa dari Rijstfonds dan AVROS Medan. Selanjutnya ia bersekolah di Technische Hooge School (THS, kini ITB) Bandung.
‘’Pada tahun pertama ia masih mendapatkan beurs (beasiswa, red). Tapi pada tahun-tahun 1933-1937, beurs dihentikan karena dia, tak maju. Baru tahun 1937 dia dapat melanjutkan hingga tamat pada tahun 1939 dengan mendapat gelar Ir dengan pertolongan seorang keluarganya,” demikian tertulis dalam Kabinet Republik Indonesia rsbalijimbaran.com yang diterbitkan Departemen Penarangan Indonesia (1950).
Setelah mendapatkan gelar insinyur, Mananti Sitompul bekerja di Waterstaat, mula-mula di Laboratorium THS Bandung. Kemudian di Provinciale Waterstaat Jakarta hingga Jepang tiba.
Di masa pendudukan Jepang, tahun 1941-1943, pria yang pernah menjabat sebagai ketua ISV (Perkumpulan Mahasiswa-mahasiswa Indonesia) ketika menjadi mahasiswa di Bandung itu mengepalai Daerah I Provinciale Waterstaat Jawa Barat. Kemudian pindah ke Sukabumi dan ke Jakarta di Kantor Pusat Pekerjaan Umum. Selanjutnya, di tahun 1945 ia menduduki jabatan sebagai wakil Kepala Pekerjaan Umum Jawa Barat, lalu dipindahkan ke Siantar dan seterusnya Bukittinggi sebagai Kepala Pekerjaan Umum Sumatra. Jabatan ini dipegangnya hingga ia diangkat menjadi salah satu menteri dalam kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Sjafroeddin Prawiranegara.
Serangan demi serangan yang dilancarkan di wilayah Sumatra Barat pada akhir 1948 membuat Sjafroeddin Prawiranegara bersama para menterinya memutuskan untuk bergerilya agar tak tertangkap pasukan Belanda. Meski begitu, Umar Said Noor menulis dalam Peran Stasiun Radio PHB AURI bahwa Gubernur Militer Sumatra Tengah/Barat yang juga merangkap sebagai Menteri Keamanan dan Sosial PDRI serta Menteri Pekerjaan Umum dan Kesehatan Ir. Mananti Sitompul tak ikut bergerilya. Mereka menetap di Kototinggi dan sekitarnya sampai penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949 atau sebelumnya.
Kehadiran sejumlah menteri PDRI di Kototinggi disambut dengan sepenuh hati oleh masyarakat setempat. Sejarawan Mestika Zed menulis dalam Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan bahwa perintah-perintah dari para pemimpin dan tokoh PDRI itu didengarkan dengan betul-betul oleh rakyat. Bersama-sama, mereka bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Baca juga:
Kisah Dua Presiden RI yang Terlupa
Yang menarik, selain mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan PDRI, Mananti Sitompul juga turut mengelola sebuah “SMP Darurat” bersama beberapa orang tenaga guru yang hampir semuanya merupakan petinggi PDRI Kototinggi, seperti Rasjid Manan, dr. Datuk Hitam, hingga Djoeir Moehammad.
Sekolah itu berlokasi di sebuah gedung Sekolah Rakyat di sana dan dibuka pada sore hari. Murid-murid sekolah itu umumnya terdiri dari anak-anak “petinggi PDRI”, tetapi ada juga anak-anak setempat dalam jumlah sedikit. Para murid tidak diwajibkan membayar uang sekolah, namun bagi mereka yang dianggap mampu harus membayar uang sekolah dengan setengah gantang beras per bulan.
Di sisi lain, setelah pemerintahan darurat yang dipimpin Sajfroeddin Prawiranegara berjalan selama beberapa bulan, Rasjid menulis bahwa di luar negeri tersiar kabar tentang kesimpang-siuran nama anggota kabinet PDRI. Sebagai upaya untuk mensiasati permasalahan ini, pimpinan PDRI berunding untuk menetapkan susunan baru kabinet PDRI di bulan Maret 1949. Hasilnya, ada beberapa menteri yang tak lagi rangkap jabatan, salah satunya adalah Ir. Mananti Sitompul yang kini hanya mengemban jabatan sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Sementara jabatan Menteri Kesehatan kemudian diemban oleh Dr. Sukiman yang juga bertugas sebagai Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan keputusan tersebut selesailah tugas Mananti Sitompul sebagai Menteri Kesehatan RI, jabatan yang didudukinya sejak 22 Desember 1948 hingga 31 Maret 1949.