Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia
Menteri kesehatan pertama Republik Indonesia ini berpendapat seharusnya yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah negara memelihara kesehatan rakyat bukan memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Kian hari dampak persebaran pandemi Covid-19 di Indonesia semakin terasa. Jumlah korban positif terpapar virus terus meningkat. Para pengambil kebijakan di pusat, maupun daerah, pun mengklaim tengah mengupayakan pemulihan, sambil mencegah jatuhnya korban jiwa lebih banyak. Namun angka korban yang tak kunjung berkurang membuat publik resah. Mereka amat menanti arahan dari pemerintah untuk menghadapi krisis ini.
Demi menjawab rasa penasaran publik, program Mata Najwa (28/09/2020) yang disiarkan TRANS7, berusaha mengundang Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Maju Terawan Agus Putranto. Acara diskusi terbuka yang dipandu jurnalis Najwa Shihab itu mencoba menggali informasi terkait langkah pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19.
“Tentu tak ada sosok yang lebih tepat bicara kepada publik, kepada kita, memberi penjelasan tentang situasi sebenarnya dan sejauh apa penanganan yang dilakukan negara. Adalah Pak Terawan yang punya wewenang, akses anggaran, dan pemberi arahan. Pastilah di atas sana beradu banyak kepentinan namun Pak Terawan semestinya orang paling gencar memperjuangkan kepentingan kesehatan,” ujar Najwa.
Namun sosok Menteri Kesahatan itu tidak pernah muncul. Undangan hadir di acara Mata Najwa telah sekian kali dilayangkan. Tapi tidak pernah sekali pun Terawan mengiyakan hadir. Sikapnya itu membuat publik bertanya-tanya tentang kondisi di pemerintahan pusat. Bahkan tidak sedikit yang malah fokus mempertanyakan kualitas Terawan sebagai menteri. Keputusan Presiden Joko Widodo memilihnya sebagai menteri pun pada akhirnya tidak luput dari sorotan publik.
Keberadaan menteri untuk urusan kesehatan dalam perjalanan sejarah Indonesia amatlah penting. Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada1945, departemen kesehatan masuk ke dalam jajaran kabinet yang paling awal dipersiapkan Sukarno-Hatta. Kondisi kesehatan rakyat Indonesia yang baru terbebas dari belenggu penjajahan menjadi salah satu fokus Kabinet Presidensial kala itu. Lantas siapa yang mengisi kursi Menteri Kesehatan pertama di Republik ini?
Riwayat Perjuangan
Raden Boentaran Martoatmodjo lahir pada 11 Januari 1896 di Desa Loano, Purworejo, Jawa Tengah. Dia berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Sejak kecil, dia telah menerima fasilitas pendidikan Eropa yang baik dari keluarganya. Setelah lulus dari sekolah dasar dan menengah di Jawa Tengah, dia melanjutkan pendidikan tingginya ke Stovia (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Batavia.
Tahun 1918, dalam usia 22 tahun, Boentaran berhasil menyelesaikan sekolah dokternya. Dia lalu ditugaskan di Semarang sebagai dokter di Kantor Inspektorat. Setahun bekerja, dia diterbangkan ke Banjarmasin untuk memberantas penyakit kolera yang mewabah di Kalimantan. Hingga tahun 1928, dia diberi macam-macam jabatan dokter di kantor pemerintahan Belanda di berbagai daerah.
Pada 1928, Boentaran mendapat beasiswa pendidikan di Universitas Leiden. Dijelaskan sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, selama di Negeri Belanda, Boentaran aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia. Dia juga bersahabat dengan Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasoemantri, Mr. Gatot Taroenamihardja, Sukiman dan Mr. Sartono.
Setelah memperoleh gelar doctor in de geneeskundig tahun 1931, Boentaran kembali ke tanah air dan bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat Batavia hingga 1932. Tahun berikutnya, dia kembali ke Semarang untuk menempati kursi wakil Havenarts di Jawatan Pemeberantasan Penyakit Lepra hingga tahun 1938. Jabatan lain di bidang kedokteran yang pernah dipangku Boentaran, hingga tahun 1944, di antaranya: pemimpin Penolong Korban Perang, pemimpin Komite Pembantu Rakyat, anggota kehormatan dan penasihat Ikatan Sport Indonesia, dan pemimpin Penjagaan Bahaya Udara.
“Di samping sebagai seorang dokter yang tekun sekaligus pejuang, Boentaran juga tampil sebagai intelektual yang cukup berhasil di bidangnya,” tulis Susanto Zuhdi, dkk. dalam Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Karier Politik
Perjalanan Boentaran di dunia politik dimulai pada akhir masa pendudukan Jepang. Menurut Ibnu Mufti dan Muhtar Said dalam Mr. S. Budhyarto Martoatmodjo: Pejuang Kemerdekaan dan Pendidik Tiga Zaman, Boentaran tercatat sebagai anggota Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat), wakil ketua Syuu Hookookai (Kebaktian Rakyat), wakil ketua Suishintai (Barisan Pelopor), dan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Ketika menjabat di Chuo Sangi-in, Boentaran pernah mengajukan usulan pendirian Badan Penyelidik Bahan Makanan kepada pemerintah Jepang. Tujuannya adalah untuk mencari solusi atas tingginya tingkat kelaparan di seluruh daerah di Indonesia. Meningkatnya jumlah kelaparan itu terjadi karena kurangnya jumlah pasokan makanan, yang sebagian besar dananya digunakan jepang untuk modal perang.
Baca juga: Menteri Peranan Wanita Pertama
“Dengan demikian usul Boentaran secara implisit tidak semata-mata masalah makanan dan kesehatan, tetapi juga mempunya motivasi politik. Maksudnya, penyelidikan ini akan membuka kedok pemerintah pendudukan di mata rakyat dan dunia, bahwa kesehatan dan makanan tidak semata-mata kekurangan dalam arti alamiah, namun memang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kebutuhan perang Jepang melawan Sekutu,” tulis Zuhdi, dkk.
Boentaran juga terkenal aktif dalam memperjuangkan kesehatan rakyat. Pada suatu sidang, di BPUPKI Juli 1945, Boentaran pernah terlibat debat dengan Soepomo terkait masalah penggunaan kalimat di pasal 32 UUD yang bunyinya: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sementara menurut Boentaran kalimat itu seharusnya diganti menjadi: “Kesehatan rakyat seluruhnya dipelihara oleh negara”.
Dia menegaskan, apabila kesehatan rakyat dipelihara sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya tidak ada lagi orang-orang yang disebut fakir-miskin dan tidak ada anak-anak terlantar. Hal itu akan menjamin terciptanya kesehatan rakyat yang menjadi sendi kekuatan negara. Baginya, penyebutan fakir miskin dan anak-anak terlantar adalah warisan penjajahan. Di Indonesia yang merdeka istilah seperti itu tidak perlu lagi digunakan.
Baca juga: Menteri Pertahanan yang Hilang
“… kekhawatiran Boentaran bukan tidak beralasan, karena itu sejak masa kolonial Belanda, Boentaran sudah memikirkan masalah-masalah yang menyangkut fakir miskin dan kesehatan bangsanya yang ia cintai. Komitmen Boentaran tetap tidak berubah sebagai intelektual, dokter sekaligus pejuang yang tetap bergerak di bidangnya demi kemajuan bangsa dan rakyatnya,” tulis Zuhdi, dkk.
Menjelang proklamasi, Boentaran semakin aktif mencurahkan waktunya di bidang politik. Dia menjadi salah satu tokoh yang hadir di malam pertemuan di Pegangsaan Timur bersama Mohammad Hatta dan Ahmad Subardjo. Boentaran juga ikut menghadiri pertemuan di rumah Laksamana Maeda bersama Sajuti Melik dan Iwa Koesoemasoemantri.
Baca juga: Sistem Informasi PAFI
Saat Presiden Sukarno membentuk kabinet presidensial, Boentaran ditunjuk menjadi Menteri Kesehatan yang pertama. Dia dipercaya membantu pemulihan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia pasca tebebas dari belenggu penjajahan. Dia juga tercatat sebagai pendiri Palang Merah Indonesia (PMI). Dibantu R. Mochtar, Bahder Djohan, dan tiga orang lainnya, Boentaran membentuk panitia persiapan pendirian PMI. Pada 17 September 1945, terbentuklah PMI dengan Mohammad Hatta sebagai Ketua Pengurus Besar pertama.
Setelah mengalami berbagai fase dari kehidupan bangsanya yang sudah merdeka, pada 3 Oktober 1979, Boentaran Martoatmodjo meninggal dunia pada usia 83 tahun di Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar