TAK ada yang lebih menakutkan bagi penduduk Batavia di paruh kedua abad ke-17 selain terinfeksi penyakit kusta. Wabah penyakit kusta memicu kepanikan masyarakat, khususnya orang-orang Eropa. Seiring bertambahnya jumlah penderita kusta, Lazarus Huis yang didirikan di Angke pada 1666 sebagai tempat perawatan pasien kusta menjadi semakin padat.
Oleh karena itu, pada 1667 diputuskan bahwa mereka yang terinfeksi penyakit kusta harus mendaftarkan diri ke rumah sakit Batavia untuk menjalani pemeriksaan. Sayangnya, upaya ini tak sepenuhnya berhasil mengatasi wabah penyakit kusta. Menurut sejarawan Leo van Bergen dalam Uncertainty, Anxiety, Frugality: Dealing with Leprosy in the Dutch East Indies, pada 1678 masih ada 70 orang penderita kusta, tetapi tak menjalani perawatan di Lazarus Huis.
Willem ten Rhijne, seorang dokter Belanda, yang telah meneliti penyakit kusta menawarkan solusi untuk mengatasi wabah penyakit kusta yang melanda Batavia. Menurutnya, kusta dapat menular melalui kontak fisik antara penderita dengan orang sehat. Oleh karena itu, isolasi menjadi cara yang paling tepat untuk menghentikan laju penyebaran penyakit kusta. Berdasarkan hal tersebut, pembangunan rumah sakit kusta di sebuah pulau yang terpisah dari Batavia mulai dilakukan pada 1679. Pulau itu dikenal dengan nama Purmerend yang berarti Pulau Sakit atau pulau untuk orang-orang sakit.
Baca juga: Ketika Wabah Kusta Melanda Batavia
Pembangunan rumah sakit khusus penderita kusta di luar Batavia bukan satu-satunya upaya mengatasi wabah penyakit kusta. Adanya dugaan penyakit kusta bisa menjangkiti manusia melalui makanan membuat sejumlah orang menghindari mengonsumsi daging babi atau jenis ikan tertentu. Selain itu, hubungan seksual dengan pasangan yang menderita kusta, khususnya ketika tengah menstruasi, sangat berbahaya karena dapat menularkan penyakit tersebut.
Leprosium atau rumah sakit khusus penderita kusta selesai dibangun di Pulau Purmerend pada 1681. Pasien kusta yang sebelumnya dirawat di Lazarus Huis dipindahkan ke pulau tersebut. Di sana, mereka dirawat oleh tiga dokter spesialis serta dua ahli bedah. John Joseph Stockdale dalam Island of Java menyebut rumah sakit itu beroperasi dengan dana bantuan dari orang-orang Eropa dan Jawa, tetapi orang Jawa memberikan sumbangan terbesar.
Namun, kehadiran rumah sakit khusus penderita kusta tak membuat penduduk Batavia terbebas dari rasa takut dan curiga. Kekhawatiran masih adanya penderita kusta yang tak menjalani perawatan di rumah sakit membuat penduduk saling mencurigai. Akibatnya, tindakan-tindakan untuk menanggulangi wabah kusta semakin diperketat. Setiap orang yang dicurigai menderita penyakit kusta dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan medis. Selain itu, para pengawas distrik juga harus menyerahkan daftar penderita kusta yang dicurigai setiap bulan.
Menurut van Bergen, tindakan ini tak semata-mata untuk memutus rantai penyebaran penyakit kusta, tetapi juga kerap digunakan untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap tidak menyenangkan oleh pengawas distrik. “Sulit untuk mengambil tindakan yang tepat, karena pengawas distrik, yang tidak memiliki keahlian medis, selalu dapat menuntut ganti rugi atas kesalahan yang mereka lakukan. Tidak heran jika mereka yang dicurigai menderita kusta sering melakukan protes keras,” tulisnya. Masalah ini kemudian diselesaikan dengan menyerahkan tugas memeriksa orang-orang yang dicurigai menderita penyakit kusta kepada komisi “ahli kusta” yang terdiri dari dua orang dokter dan dua ahli bedah untuk mencegah kesalahan diagnosis.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Tantangan lain yang dihadapi dalam mengatasi wabah kusta di Batavia, yakni masih banyak ditemukan pasien-pasien kaya dan orang Eropa yang diizinkan untuk diperiksa dan dirawat di rumah mereka. Selain itu, mereka juga diizinkan melakukan isolasi mandiri di luar Batavia. Jika perawatan dan isolasi tidak berhasil, pasien kusta itu mau tidak mau dikirim ke Pulau Purmerend. Namun, mereka masih mendapatkan privilese ketika tiba di Purmerend. Mereka diizinkan membangun rumah dan diperbolehkan kembali ke Eropa. Meski begitu, pada akhir abad ke-17, hal ini tidak diizinkan lagi.
Pulau Purmerend kemudian tak hanya menjadi tempat isolasi bagi penderita kusta. Sejak tahun 1682, orang-orang di Batavia yang dianggap cacat dan mengerikan dipindahkan ke sana. “Dengan cara ini mereka tidak lagi membahayakan ‘kepentingan masyarakat’ atau ‘terlihat oleh wanita hamil’. Hal ini tetap menjadi salah satu ciri khas koloni kusta, setidaknya sampai pertengahan abad ke-19,” tulis van Bergen.
Koloni kusta di Pulau Purmerend diawasi oleh buitenregent atau pengurus luar yang tidak tinggal di sana. Salah satu pengawas harus seorang anggota VOC, sedangkan yang lain penduduk Batavia. Alih-alih memberikan pelatihan medis kepada para perawat di pulau itu, para pengurus lebih banyak menyoroti keuangan rumah sakit.
Pasien penderita kusta yang dikirim ke Pulau Purmerend berasal dari berbagai kelompok masyarakat. Orang-orang kaya Batavia turut membawa budak mereka untuk menjalani perawatan. Yang menarik, orang-orang Tionghoa yang dikirim ke Purmerend memiliki sistem perawatan kesehatan sendiri. Di masa-masa awal pulau itu digunakan sebagai tempat isolasi, tak ada aturan yang membatasi aktivitas penderita kusta. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang menjalin kontak dengan penduduk lokal pulau dan menjadi akrab sehingga sulit membedakan antara pasien dan penduduk asli.
Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Jadi Korban Wabah Penyakit
Namun, untuk membatasi risiko penularan, diberlakukan aturan yang melarang remigrasi (perpindahan penduduk ke tempat asalnya) disertai larangan pernikahan dan hubungan antara penderita dan bukan penderita kusta. Kekhawatiran jumlah penderita kusta bertambah karena faktor keturunan bahkan mendorong munculnya aturan yang memisahkan pasien wanita dan pria tahun 1762. Tak hanya itu, para pasien juga dilarang melakukan hubungan seksual. Selain itu, sejak tahun 1752, anak-anak berusia di atas delapan tahun dan dianggap sehat harus dikirim ke pulau tetangga, yakni Edam untuk mencegah penularan penyakit kusta.
Pada abad ke-18, wabah kusta yang menjadi momok bagi penduduk Batavia lambat laun mulai mereda. Para penderita kusta yang dikirim ke Pulau Purmerend pun berkurang. Setelahnya, Pulau Purmerend tak hanya menjadi tempat perawatan bagi pasien kusta, tetapi juga orang-orang yang menderita penyakit lainnya. Meski begitu, tempat perawatan mereka dipisah dari penderita kusta. Pada pertengahan tahun 1790-an, selama perang melawan Inggris, pasien penderita kusta di Pulau Purmerend dipindahkan ke rumah sakit Tionghoa di Batavia, dan pada 1800, Inggris mengebom pulau itu, menghancurkan koloni kusta. Saat ini, Pulau Purmerend atau Pulau Sakit dikenal dengan Pulau Bidadari, salah satu objek wisata di Kepulauan Seribu.*