Masuk Daftar
My Getplus

Cerita Lucu dari Demonstrasi Mahasiswa

Selain ketegangan dan aksi heroik, demonstrasi mahasiswa dari zaman ke zaman pun dibumbui kisah-kisah lucu.

Oleh: Hendi Johari | 25 Sep 2019
Sebuah aksi mahasiswa Jakarta pada 1990-an. (koleksi: Hendi Jo)

AKSI gerakan mahasiswa 2019 di berbagai kota kini tengah menjadi pemberitaan luas di media massa dan media sosial. Bukan hanya sekitar tuntutan mereka saja, berbagai cerita lucu nan konyol di sekitar demonstrasi juga bertebaran di Instagram, Facebook dan Twitter.

Seorang mahasiswa yang membawa spanduk jenaka saat demo di gedung DPR/MPR. (Fernando Randy/Historia)
Aksi mahasiswa yang membawa simbol kematian untuk KPK saat berdemo di gedung DPR/MPR. (Foto:Fernando Randy/Historia)

Sejatinya pengalaman konyol nan jenaka  itu juga dimiliki oleh gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Soe Hok Gie sempat merekam cerita-cerita lucu itu di buku hariannya (kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran). Bagi Soe sendiri, kisah-kisah itu tidak hanya sekadar membuat hiburan namun juga menjadi ikatan penguat dari perjuangan mereka.

“…Dalam petualangan inilah lahir kisah humor-humor mahasiswa,” tulis Soe Hok Gie.

Advertising
Advertising
Spanduk jenaka yang dibawa oleh para mahasiswa dalam demo di gedung DPR/MPR. (Foto:Fernando Randy/Historia)

Baca juga: Kisah Kiri Melawan Kanan

Awal 1966, mahasiswa se-Jakarta turun ke jalan untuk memprotes “menteri-menteri goblok”. Tersebutlah rombongan Fakultas Sastra dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) mendapat bagian untuk melakukan aksi pemasangan selebaran yang berisi tuntutan mahasiswa di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI).

Aksi penempelan pun mereka lakukan di tembok dan mobil-mobil yang lewat sekitar Bundaran HI. Begitu banyaknya hingga tak terasa lem yang mereka gunakan ludes. Karena selebaran yang harus ditempelkan masih begitu banyak, mereka lantas berinisiatif untuk memintanya ke Hotel Indonesia. Permintaan mereka diiyakan, namun sudah sejam tak jua datang itu perekat. Mahasiswa marah dan mulai berteriak-teriak.

Bukannya cepat dikirim lem, pihak manajemen HI malah mengirim nasi. Tentu saja inisiatif itu menjadikan mahasiswa UI tambah marah dan melemparkan kiriman nasi itu. Lantai mengkilap lobi hotel ternama itu pun jadi lengket dipenuhi nasi.

“Kalian menghina kami? Yang kami perlukan adalah lem! Bukan nasi!” teriak mahasiswa.

Pimpinan manajemen HI lantas buru-buru mengirim beberapa wadah berisi lem buatan pabrik. Mahasiswa kembali menolaknya, dengan alasan: lem-nya lem borjuis dan tidak bisa dikobok. Terpaksa pimpinan manajemen HI menyuruh para bawahannya memasak kanji dan mengirimnya dengan ember-ember plastik.

Baca juga: Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa

Di antara para mahasiswa, terdapat Neneng Sabur. Dia tak lain adalah salah satu putri Brigadir Jenderal Mohammad Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa (Pasukan Kawal Istana), “musuh” para demonstran anti Sukarno. Begitu rajinnya Neneng menempelkan selebaran-selebaran di tembok dan mobil-mobil, hingga akhirnya mata Neneng terbelalak saat membaca satu selebaran yang telah ditempelnya di sebuah mobil. “Gantung Sabur!” demikian bunyi isi selebaran itu.

Tiga puluh dua tahun kemudian, mahasiswa UI kembali turun ke jalan. Akhir Februari 1998, mereka memutuskan untuk kali pertama keluar kampus Depok. Baru saja beberapa meter dari gerbang kampus, terjadi sedikit kericuhan akibat salah paham soal koordinasi. Maka terdengarlah kemudian sebuah teriakan dari alat pengeras suara.

“Kawan-kawan! Tenang! Tenang! Komando ada di Padang! Komando ada di Padang!”

Busyet deh, jauh amat!” celetuk para mahasiswa.

Selidik punya selidik, yang dimaksud “padang” itu ternyata bukanlah nama ibu kota Sumatera Barat, melainkan panggilan akrab dari Padang Wicaksono, salah seorang tokoh mahasiswa UI yang menjadi koordinator lapangan aksi tersebut.

April 1998, sekira 500 mahasiswa dari Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional (KM UNAS) Jakarta mengikuti aksi bersama di depan kampus Universitas Pancasila. Begitu acara selesai sekitar jam 15.00, mereka memutuskan untuk pulang ke Pasar Minggu dengan melakukan aksi jalan kaki.

Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR

Guna meraih simpati masyarakat, sepanjang jalan yang dilalui, para mahasiswa kerap menyuarakan yel-yel “turunkan harga”. Namun dalam perkembangannya yel-yel itu mengalami improvisasi sesuai tempat yang dilewati. Begitu melewati Pasar Lenteng Agung, maka para mahasiswa serentak berteriak “turunkan harga sayur!” Lain waktu saat melewati bengkel, mereka teriak pula: “turunkan harga onderdil”. Begitu seterusnya, hingga sampailah rombongan mahasiswa KM UNAS di depan salon kecantikan. Maka keluarlah teriakan-teriakan dari mahasiswa:

“Turunkan tarif rebonding!”

“Turunkan tarif meni-pedi!”

“Turunkan tariff fesyel (facial)!”

Saat itulah tetiba seorang waria muncul dari dalam salon. Sambil melambaikan tangannya, dia balas berteriak: “Ehhh, jangan begitu donggg mahasiswaaaa, akika bisa bangkrutttt, kalau mau murah meni-pedi, turunin dulu donggg harga alat-alat salon!”

Mahasiswa pun riuh tertawa dan langsung mengganti yel-yel, menjadi: “Turunkan harga alat-alat salon!”

Senyum lantas menghiasi wajah sang waria. Sambil mengacungkan jempol dia pun berteriak: “Gudddddd”.

Baca juga: Reformasi atau Mati

 

TAG

gerakan-mahasiswa

ARTIKEL TERKAIT

Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse Gerakan Aldera Melawan Orba Hartini Dihina, Sukarno Murka Setelah Arief Tewas di Ujung Peluru Solidaritas untuk Massa Aksi Menterinya Dibilang Goblok, Sukarno Tersinggung Serba-serbi Demonstrasi 1966 Makanan Buat Para Demonstran Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika