Masuk Daftar
My Getplus

Setelah Arief Tewas di Ujung Peluru

Usai demonstrasi berdarah yang menewaskan seorang mahasiswa FKUI, pemerintah Sukarno melancarkan tindakan represif.

Oleh: Hendi Johari | 23 Feb 2020
Aksi mahasiswa anti Sukarno saat pemakaman Arief Rachman Hakim (gahetna.nl)

HAKIM Sorimuda Pohan (77), masih ingat kejadian itu. Jumat, 25 Februari 1966, dirinya termasuk dalam iringan puluhan ribu mahasiswa dan rakyat yang mengantarkan jenazah Arief Rachman Hakim ke Tempat Pemakaman Umum Blok P Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

“Begitu banyaknya orang yang mengiringi jenazah Arief, hingga ketika kepalanya sudah di Blok P, ekornya masih tertinggal di Salemba,” ujar lelaki yang saat itu menjabat sebagai ketua senat Fakultas Kedokteran UI tersebut.

Arief Rachman Hakim, mahasiswa FKUI, tewas tertembak saat melakukan aksi demonstrasi di depan Istana Merdeka pada 24 Februari 1966. Sampai detik ini, pelaku penembakannya secara persis tak pernah terungkap. Para demonstran anti Presiden Sukarno menuduh prajurit-prajurit dari Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno, sebagai penembak Arief. Namun soal itu kemudian dibantah secara keras oleh Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, Kolonel (CPM) Maulwi Saelan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Seorang Martir

Usai pemakaman Arief Rachman Hakim, situasi Jakarta semakin memanas. Di tingkat atas, Presiden Sukarno melakukan pertemuan mendadak dengan para perwira senior militer yang tergabung dalam Komando Ganyang Malaysia (KOGAM). Pertemuan tersebut pada akhirnya menghasilkan keputusan pembubaran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdasarkan S.K. KOGAM No.41/Kogam/1966 tertanggal 25 Februari 1966 langsung ditandatangani oleh Panglima Tertinggi KOGAM, yang tak lain adalah Presiden Sukarno sendiri.

“Sejak itulah, KOGAM diplesetkan oleh para mahasiswa menjadi Komando Ganyang Mahasiswa,” tulis Christian Wibisono dalam Aksi-Aksi Tritura.

Pembubaran KAMI dilanjutkan dengan pelarangan untuk berdemonstrasi dan penangkapan sejumlah tokoh mahasiswa anti Sukarno. Panglima Kodam V Jakarta Raya, Mayor Jenderal Amir Machmud bahkan mengumumkan akan memberlakukan jam malam di seluruh kawasan ibu kota.

Besoknya, Brigadir Jenderal Kemal Idris (Kepala Staf Kostrad) mengontak seluruh tokoh KAMI. Demi keamanan, dia mendesak mereka untuk sementara “mengungsi” ke Markas Komando Tempur (KOPUR) II yang terletak di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

“Kami saat itu bukan saja disuruh mengungsi tapi juga dibekali senjata dan bahkan didampingi beberapa prajurit pengawal jika terpaksa harus pergi ke luar,” ungkap Hakim Sorimuda.

Pernyataan Hakim dibenarkan oleh peneliti sejarah gerakan mahasiswa 1966 asal Australia, John Maxwell. Dalam Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual (dalihbahasakan menjadi Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani), malah dikatakan bahwa lewat seorang perwira intelijennya Letnan Kolonel Ali Murtopo, Kostrad membentuk Unit Operasi Khusus guna melindungi para tokoh mahasiswa.

Baca juga: Setelah Pesta Usai

“Bisa jadi itu dilakukan pula supaya kelompok perwira militer (yang anti Sukarno) lebih mampu mengendalikan gerakan mahasiswa,” tulis Maxwell.

Sementara itu surat-surat perintah penahanan, penangkapan dan pengamanan para pemimpin mahasiswa anti Sukarno mulai disebarkan. Menurut Christian Wibisono, nyaris seluruh instansi berlomba mencari muka di depan Presiden Sukarno. Kejaksaan Agung lewat Jaksa Agung Muda Bidang Intel Brigadir Jenderal Sunarjo Tirtonegoro mengerahkan anggota-anggota Direktorat Polisi Militer untuk memburu mahasiswa anti Sukarno. Begitu pula Kodam V Jakarta Raya, para preman pimpinan bekas jagoan Pasar Senin Letnan Kolonel Syafii dan (tentu saja) intel Resimen Tjakrabirawa termasuk pihak-pihak yang aktif menangkapi para mahasiswa yang dicurigai terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi sepanjang Januari-Februari 1966.

Usai terjadi berbagai operasi pengamanan itu, banyak pemimpin KAMI yang langsung menghilang dari pandangan publik. Mereka langsung “bertiarap” dan masing-masing menyelamatkan diri. Menurut Maxwell, bisa jadi para mahasiswa tersebut dianjurkan mundur dari garis depan oleh para penasehat politik senior.

“Mereka sebenarnya tidak memiliki kontrol atas (gerakan) mahasiswa…Pekerjaan mereka (hanyalah) rapat dengan pihak militer,” ungkap seorang aktivis mahasiswa asal Bandung yang sempat diwawancarai oleh Maxwell.

Para tokoh mahasiswa itu baru berupaya menjadi pusat perhatian lagi setelah turunnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Namun kalangan aktivis mahasiswa yang berbasis di kampus terlanjur muak dengan mereka. Dalam kumpulan artikelnya yang kemudian dibukukan dengan judul Zaman Peralihan, aktivis mahasiswa UI Soe Hok Gie malah menyebut para tokoh mahasiswa tersebut memiliki kecenderungan bersikap oportunis laiknya para politisi. Itu berbeda dengan para pemimpin mahasiswa yang tetap bertahan dan terus berani berbuat setelah terjadinya penembakan terhadap Arief Rachman Hakim.

“Tokoh-tokoh itu tidak berbicara sebagai politikus, tetapi sebagai mahasiswa biasa…” ungkap Soe Hok Gie.

Baca juga: Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa

Di lain pihak, ketidakkompakan sikap di kalangan mahasiswa anti Sukarno, dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan pro Sukarno. Tiga hari setelah dikeluarkan keputusan pelarangan demonstrasi oleh KOGAM, ribuan pendukung Sukarno justru melakukan aksi pamer kekuatan di jalanan Jakarta.

Dengan berdalih ikut berpartisipasi dalam rapat umum Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI, organisasi mantel PNI) di Senayan, para loyalis Sukarno bersatu dan mengecam demonstrasi-demonstrasi anti pemerintah sebagai “perpanjangan tangan dari pada Nekolim”. Puncaknya terjadi ketika Soebandrio, salah seorang menteri yang dekat dengan Sukarno, menyerukan kepada massa untuk berani “menghadapi teror dengan teror”.

Baca juga: Kisah Kiri Melawan Kanan

Maka begitu rapat usai, ribuan loyalis Sukarno kemudian menyerbu kampus UI di Salemba. Menurut Yozar Anwar dalam catatan hariannya (kemudian dibukukan dengan judul: Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa), bentrok pun pecah saat sekumpulan loyalis Sukarno berpakaian hitam-hitam memaksa para anggota Resimen Mahajaya untuk menaikan bendera setengah tiang (tanda berkabung atas kematian Arief Rachman Hakim) di depan markas mereka, namun permintaan tersebut ditolak mentah-mentah.

Keributan terus meliputi Jakarta setelah terjadinya penembakan terhadap Arief Rachman Hakim. Kondisi itu semakin mencekam ketika kelompok militer pimpinan Letnan Jenderal Soeharto-Kolonel Sarwo Edhie Wibowo secara terbuka memutuskan untuk melindungi gerakan mahasiswa anti Sukarno.

Situasi justru kemudian berbalik merugikan kelompok pro Sukarno ketika pada 11 Maret 1966, Letnan Jenderal Soeharto mengantongi kuasa untuk mengatasi segala keributan tersebut. Tanpa banyak pertimbangan, Soeharto kemudian membubarkan PKI dan memberangus kelompok-kelompok pro Sukarno.

Baca juga: Supersemar dan Tafsir Soeharto

 

 

 

 

TAG

gerakan-mahasiswa tritura angkatan 66

ARTIKEL TERKAIT

Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Penganiayaan Berat Aktivis Mahasiswa Zainal Zakse Gerakan Aldera Melawan Orba Hartini Dihina, Sukarno Murka Solidaritas untuk Massa Aksi Menterinya Dibilang Goblok, Sukarno Tersinggung Serba-serbi Demonstrasi 1966 Makanan Buat Para Demonstran