SEMASA demonstrasi massif menolak RKUHP beberapa waktu lalu, Ananda Badudu menggalang solidaritas dengan membuka donasi lewat akun Twitter-nya. Dana yang terkumpul kemudian ia gunakan untuk keperluan medis dan logistik mahasiswa yang berdemo di depan DPR pada 23 dan 24 September 2019.
Maka begitu mendapat laporan lewat Twitter bahwa ada mahasiswa yang kekurangan air, ia langsung mengirimkan air tak berapa lama kemudian. Begitu pula bila ada mahasiswa yang tumbang karena terus ditembaki gas air mata oleh polisi, Ananda akan langsung mengirimkan tim medis.
Namun, aksi kemanusiaan itu hanya berlangsung beberapa hari. Pada 27 September dini hari, Ananda ditangkap polisi di rumahnya. Penangkapan itu memicu protes dari masyarakat. Ananda dibebaskan pada sore harinya dengan status saksi.
Baca juga: Kala Ibu Bersatu
Selain Ananda, para ibu pedagang minuman dan pedagang buah di Jalan Colombo Yogyakarta pun tak ingin ketinggalan membantu aksi. Mereka membagikan sebagian dagangan mereka pada para pendemo.
Upaya penggalangan solidaritas untuk gerakan massa juga terjadi pada demonstrasi mahasiswa 1998. Sejumlah ibu bahu-membahu menyediakan nasi bungkus untuk para mahasiswa yang sedang menduduki DPR.
Suara Ibu Peduli (SIP) menjadi salah satu gerakan dari para perempuan aktivis. Dalam artikelnya “Politik Representasi Suara Ibu Peduli”, inisiator SIP Gadis Arivia menyebutkan, sebelum membantu logistik mahasiswa pendemo, SIP lebih dulu membuka bazar susu murah. Penjualan susu dan penggalangan dana dari masyarakat untuk aksi mahasiswa itu berhasil mengumpulkan dana lebih dari satu miliar rupiah.
Dengan dana itu, para ibu menyalurkan 70.576 nasi bungkus yang mayoritas merupakan nasi padang yang dibeli dari warung di hampir seluruh Jakarta. Selain nasi, mereka menyalurkan pula 1.947 kardus air mineral, 2.811 kardus snack, dan ribuan buah. Jumlah tersebut belum termasuk sumbangan masyarakat berupa bahan makanan seperti telur dan ayam hidup.
Baca juga: Cerita Lucu dari Demonstrasi Mahasiswa
Selain menyiapkan logistik, SIP juga memberi sumbangan pada newsletter mahasiswa Bergerak dan kaos dengan tulisan “Reformasi Total”.
Solidaritas untuk mengirim logistik ke massa aksi juga dilakukan para ibu rumah tangga. Aksi solidaritas ini bisa berjalan berkat hubungan baik yang sudah terjalin ketika rush sembako pada krisis moneter 1997.
Kala itu, Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) yang terdiri dari berbagai LSM, salah satunya Kalyanamitra, membentuk koperasi sembako. “Lokasi koperasinya di Kalyanamitra, di Rawa Jati, Kalibat. Tapi itu pekerjaan kolektif dari berbagai organisasi,” kata Ruth Indiah Rahayu yang kala itu tergabung dalam Kalyanamitra, kepada Historia.
Dengan memotong jalur distribusi yang panjang, semisal membeli beras langsung ke petani, TRK berhasil menyediakan sembako ke masyarakat dengan harga jauh lebih murah. Harga beras di pasaran saat itu berkisar 2000-2500 rupiah per kilogram. Sementara di koperasi harnya 1000 rupiah per kilogram.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR
Agar penjualan sembako murah tidak salah sasaran, TRK meminta bantuan pada para RT untuk mendata keluarga miskin kota yang tidak mampu membeli sembako. Mereka yang tersaring kemudian diberi kartu. Tiap minggu, antrian koperasi dibuka. “Wah ya orang antri untuk jadi anggota koperasi. Waktu itu yang didata ialah nama ibu, bukan nama bapak,” kata Ruth.
Ruth menjelaskan lebih jauh dalam artikelnya “The Women’s Movement in Reformasi Indonesia”, pembuatan koperasi bukan berarti mendomestifikasi perempuan. Sesuatu yang domestik ketika dijadikan gerakan politik justru akan menjadi politis. Ruth menyebutnya politik logistik. Pilihan TRK untuk mendaftar perwakilan tiap keluarga dengan nama ibu pun karena alasan politis.
Dari kegiatan koperasi sembako TRK inilah uang untuk membiayai kegiatan dapur umum di didapat. Lebih jauh, Kalyanamitra jadi punya kedekatan dengan ibu-ibu di kampung sekitar. Para ibu dari keluarga miskin-kota-anggota-koperasi inilah yang bekerja di dapur umum Kalyanamitra pada demonstrasi 1998. “Para ibu ini bukan aktivis. Itu aksi kolektif politik para ibu,” sambung Ruth.
Baca juga: Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa
Nasi bungkus untuk mahasiswa-demonstran dikirim tiga kali sehari. Bahan mentahnya, seperti beras, diambil dari barang-barang koperasi. Makanan ini diolah secara bergantian oleh ibu-ibu di kampung sekitar Kalyanamitra. Tugas memasak dibagi menjadi tiga shift: pagi, siang, dan sore. Ada yang berbelanja kebutuhan seperti kertas nasi dan minuman kemasan, ada juga yang bertugas mengantarkan makanan ke DPR dan membagikannya.
Politik ibuisme yang dijalankan Soeharto membuat para ibu itu aman ketika mengirimkan makanan ke para mahasiswa pendemo. Sumbangan obat-obatan juga diberikan untuk mahasiswa yang tumbang.
“Makin hari yang daftar mau ikut masak makin banyak. Mereka ingin memberikan kontribusi politik dalam perubahan,” kata Ruth.