JAKARTA, 19 Mei 1998. Fadli mulai merasa tegang ketika memasuki kawasan Senayan. Bersama sekira 6.000 mahasiswa Front Nasional (gabungan dari tiga perguruan tinggi: Universitas Nasional Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta dan Universitas Pakuan Bogor), ia merasa menghadapi situasi hidup dan mati.
“Sebelumnya kami mendapat informasi, Gedung DPR/MPR dijaga ketat oleh tentara. Jadi untuk memasukinya kami harus bertempur dulu dengan mereka,” kenang eks mahasiswa Universitas Pakuan tersebut.
Begitu rombongan bus dan kendaraan yang memuat rombongan Front Nasional mencapai kawasan Taman Ria, situasi ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan para mahasiswa. Memang ada beberapa panser milik Korps Kavaleri AD dan sekira dua kompi prajurit Korps Marinir AL yang tengah berjaga-jaga. Namun, mereka membiarkan begitu saja rombongan mahasiswa melaju ke Gedung DPR/MPR.
“Situasi begitu absurd, kami yang sudah siap bertempur ternyata dibiarkan begitu saja. Tak ada bentrok dan tak ada sama sekali suara tembakan,” ungkap Faizal Hoesein, Koordinator KM UNAS (Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional).
Setiba di muka pintu gerbang Gedung DPR MPR, alih-alih dihadang, rombongan mahasiswa malah disambut secara baik-baik oleh pasukan Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Para prajurit berbaret hijau itu menyilakan para korlap (koordinator lapangan) untuk mengatur secara tertib barisannya. Mereka lantas menyilakan para mahasiswa untuk masuk secara berbanjar. Sementara di kanan kiri, para prajurit bersenjata lengkap mengawal.
“Baru setelah semua kawan-kawan masuk, kami dilepas,” ujar Faizal. Apa yang menyebabkan tentara membiarkan para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR?
Tidak Biasa
Secara politis, sejatinya para mahasiswa memerlukan untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Menurut Muchtar E. Harahap dan Andris Basril, pendudukan itu harus mereka lakukan guna mendesakkan isu penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR.
“Ada semacam persepsi di kalangan para pimpinan mahasiswa bahwa tidak ada cara lain untuk melakukan desakan secara konstitusional kecuali melalui para wakil rakyat yang berada di Gedung DPR/MPR,” tulis Muchtar dan Andris dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia.
Maka sejak 19 Mei 1998, arus kedatangan mahasiswa terus mengalir deras ke Gedung DPR/MPR. Mereka tidak hanya datang dari kawasan Jabodetabek semata, tapi juga ada yang dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur bahkan ada yang khusus datang dari luar pulau Jawa. Hingga menjelang detik-detik pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, massa mahasiswa yang sudah terkumpul mencapai jumlah kira-kira 60.000 orang.
Bagi Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sintong Panjaitan, fenomena tersebut sesungguhnya tidak biasa. Menurut eks perwira Kopassus itu, dalam situasi kacau seperti pada Mei 1998, seharusnya ABRI tidak membolehkan seorang pun masuk ke Gedung DPR/MPR.
“Karena itu, saya heran mengapa Gedung DPR/MPR bisa diduduki secara mudah oleh massa mahasiswa kala itu?” ujar Sintong.
Dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Sintong sangat meyakini bahwa tidak terlalu sulit bagi ABRI saat itu untuk mencegah massa mahasiswa masuk ke Gedung DPR/MPR. Namun nyatanya mereka tidak melakukan upaya pencegahan tersebut. Padahal saat itu kekuatan ABRI di Jakarta sangat besar dan Presiden Soeharto yakin mereka ada di belakangnya.
“Presiden Soeharto sudah mempercayakan masalah-masalah keamanan dan ketertiban kepada ABRI,” ujar Sintong seperti disampaikan kepada penulis Hendro Subroto.
Campur Tangan Elite
Bisa jadi melonggarnya penjagaan Gedung DPR/MPR terkait dengan alotnya pergumulan yang terjadi di tingkat elit termasuk elit militer. Edward Aspinal, pengamat politik Indonesia asal Australia berpendapat, menjelang kejatuhan Soeharto, sejatinya militer Indonesia tidak lagi ada dalam suatu kesatuan sikap.
“Orang bilang di sekitar Soeharto ada kelompok 'tentara hijau' yang lebih cenderung berpihak ke Islam dan kelompok 'tentara merah-putih' yang lebih nasionalis,” ungkap Edward dalam suatu diskusi di PIJAR Indonesia pada 1997.
X-Pos edisi 28 Februari-6 Maret 1998 malah secara gamblang menyebut perseteruan dua kelompok itu mengerucut kepada nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan Jenderal Wiranto. Menurut buletin yang beredar secara gelap menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tersebut, Prabowo sangat kuat di Jakarta sedangkan Wiranto menguasai Markas Besar ABRI.
Dalam konteks seperti itu, keberhasilan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR tidak terlepas dari berjalannya secara efektif lobi-lobi politik yang dilakukan oleh para intelektual yang memiliki kedekatan dengan para mahasiswa. Majalah Time edisi 30 Maret 1998, menyebut adalah Hermawan Sulistyo dan Daniel Sparingga yang beberapa kali menjalin kontak rahasia dengan elit militer. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana para mahasiswa dapat diperbolehkan melakukan aksinya. Namun analisa yang dilansir oleh Time itu dibantah oleh keduanya dalam majalah Gamma edisi 8 Agustus 1999.
Yang jelas pendudukan mahasiswa terhadap Gedung DPR/MPR tidaklah berlangsung lama. Dua hari setelah lengsernya Soeharto sebagai presiden, nyatanya massa mahasiswa bisa “diusir” secara mudah oleh tentara.
Baca juga:
Reformasi atau Mati
Kekecewaan Soeharto pada Habibie
Isyarat Patahnya Kekuasaan Soeharto