PADA Mei 1957, Sumitro Djojohadikusumo dua kali memenuhi panggilan Corps Polisi Militer Bandung. Panggilan itu untuk meminta keterangan seputar perannya dalam pengumpulan dana Partai Sosialis Indonesia (PSI) jelang Pemilihan Umum 1955. Pemeriksaan yang sama juga bertujuan mengorek keterangan tentang pemberian kredit saat dia menjabat menteri keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap.*
“Diduga keras Sumitro menyalahgunakan kedudukannya di pemerintah dengan bertindak pada waktu yang sama sebagai ketua panitia PSI untuk pemilihan, dan menyelewengkan uang negara untuk partainya,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Menurut politisi Masyumi Jusuf Wibisono, Khouw Kim Eng, anggota PSI yang tinggal di Cirebon mengaku menyumbang uang ke PSI lewat Sumitro. “Pemeriksa menyita dua buah kuitansi sebagai tanda penerimaan beberapa juta rupiah yang diberikan Sumitro kepada Khouw Kim Eng. Tetapi tersangka waktu itu ternyata sudah ada di Sumatra Barat,” kata Jusuf Wibisono dalam biografinya, Karang di Tengah Gelombang karya Soebagijo IN. Jusuf juga sempat diperiksa dan ditahan atas tuduhan korupsi
Khouw Kim Eng, direktur NV Libra, menjadi tahanan Kejaksaan Agung pada pengujung 1955. Dia dituduh melakukan kecurangan perdagangan barter dengan Hongkong yang merugikan negara puluhan juta rupiah. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta melepaskannya dan menjadi tahanan luar dengan jaminan uang jutaan rupiah, mobil, rumah, tanah, sawah, dan tokoh penting seperti Iwa Kusumasumantri.
Sumitro menerima panggilan ketiga pada 8 Mei 1957. Kali ini dia mangkir.* Menurut informasi dari sumber yang dipercayainya, kali itu dia bakal ditahan. Kepada Sutan Sjahrir, Sumitro pamit pergi meninggalkan Jakarta untuk bergabung dengan perjuangan daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Sjahrir tak keberatan, bahkan dia menyarankan, “Oke, Cum (panggilan akrab Sumitro). Tapi kok daerah terpencar-pencar seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bersatu supaya kuat membendung kekuatan-kekuatan destruktif yang merusak Sukarno,” kata Sjahrir dalam biografi Sumitro, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang karya Hendra Esmara dan Heru Cahyono.
Itulah terakhir kali Sumitro bertemu Sjahrir. Setelah itu, Sumitro pergi berpetualang dengan cap PSI yang terlanjur identik pada dirinya.
Menyeberang ke Seberang
Sumitro kemudian bergabung dengan para pemimpin militer di Sumatra dan Sulawesi yang menentang pemerintah pusat: Kolonel Zulkifli Lubis (mantan wakil KSAD), Letkol Ahmad Husein (panglima Sumatra Barat dan ketua Divisi Banteng), Letkol Barlian (panglima Sumatra Selatan dan ketua Dewan Garuda), Kolonel Maludin Simbolon (panglima Sumatera Utara dan ketua Dewan Gajah), Kolonel Dahlan Djambek (panglima Divisi III Sumatra Barat dan Riau), dan Letkol HN Ventje Sumual (panglima Indonesia Timur dan ketua Permesta/Piagam Perjuangan Rakyat Semesta). Selain Sumitro, bergabung pula tiga politisi Masyumi: Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap.
Alasan yang menyatukan Sumitro dengan para perwira itu adalah musuh bersama: KSAD Jenderal AH Nasution. Menurut Audrey dan George McTurnan Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, Sumitro berselisih dengan Nasution diduga karena dia mendalangi tuduhan korupsi terhadap Sumitro.
Dalam keadaan darurat perang (SOB, Staat van Oorlog en Beleg), Nasution sebagai Penguasa Perang Pusat memerintahkan pemeriksaan dan penahanan para pejabat yang diduga korupsi. Selain Sumitro, anggota PSI lain yang diperiksa dan ditahan sebagai terduga korupsi adalah Dr. Saroso, namun dilepaskan setelah cuti Lebaran.
Sedangkan bagi para perwira itu, terutama Lubis dan Simbolon, Nasution adalah pesaing berat dalam pemilihan KSAD. Simbolon, menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967, “dianggap sebagai pendukung setia kebijaksanaan gaya PSI” menolak melepaskan posisinya di Sumatra Utara.
Keterlibatan Sumitro dan beberapa kader lain di dalam PRRI membuat Sjahrir dan pengurus PSI di Jakarta tak nyaman. Melihat perkembangan yang terjadi di Sumatra, Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahroezah menemui Sjahrir pada 15 Januari 1958. Sjahrir lantas mengutus mereka untuk menemui Sumitro.
Menurut Sjahrir, Djoeir cocok dikirim ke Sumatra menyambangi kubu PRRI karena selama revolusi kemerdekaan dia cukup dikenal di Sumatra, sebagai anggota DPRS pada 1954, dia juga dikenal sebagai pengusung mosi otonomi daerah. Lebih dari itu, “Bung juga cukup populer di kalangan tokoh-tokoh politik dan militer di sana,” kata Sjahrir kepada Djoeir dalam Memoar Seorang Sosialis.
Dari Sjahrir, Djoeir dan Djohan menemui Mohammad Hatta. Inti pesan Hatta dan Sjahrir sama: “Perjuangan daerah untuk mewujudkan otonomi yang luas hendaklah konstruktif. Namun dukungan partai disertai peringatan bahwa perjuangan daerah janganlah berkembang ke arah pembentukan pemerintahan tandingan sebab yang demikian destruktif dan menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia,” kata Djoeir mengutip Hatta.
Djoeir dan Djohan bergegas ke Sumatra membawa pesan tersebut. Setelah bertemu Barlian di Palembang yang bersedia mematuhi nasihat Sjahrir dan Hatta, Djoeir menemui Husein di Padang. Dia kemudian bergabung dengan Djohan dan Imam Slamet yang lebih dulu sampai di Bukittingi. “Prioritas pertama kami sebagai anggota pimpinan pusat PSI adalah menemui Bung Cum,” kata Djoeir.
Mereka berusaha menemui Sumitro di rumah anggota PSI, Egon Hakim di Tarandam Padang. Namun Sumitro sudah pergi ke Payakumbuh. Mereka menyusulnya, tapi kalah cepat. Sumitro sudah pergi ke Pekanbaru terus ke Bengkalis, lantas menyeberang ke Singapura. Subadio Sastrosatomo dan Djohan kemudian berhasil menemui Sumitro di Singapura, namun gagal mengubah sikap politiknya.
“Dia ternyata menempuh jalan sendiri dan diumumkan menjadi salah seorang menteri PRRI,” kata Djoeir.
Dalam kabinet PRRI yang diumumkan pada 15 Februari 1958, Sumitro menjabat menteri perdagangan dan perhubungan. Anggota PSI lainnya, Sutan Mohammad Rasjid sebagai perwakilan di Eropa dan duta besar keliling PRRI; anak angkat Sjahrir dari Banda, Des Alwi, menjadi juru bicara PRRI di Singapura, Manila dan Hongkong; dan simpatisan PSI, Mr. Assaat sebagai menteri dalam negeri PRRI.
“Sumitro, Rasjid, dan Des Alwi, adalah tiga tokoh yang berhubungan dengan PSI dan Sjahrir, yang secara langsung dan terang-terangan bergabung dengan pemberontakan,” tulis Mrazek.
Selain Sumitro, Tan Po Goan, anggota parlemen dari PSI, juga menyeberang ke Singapura tak lama setelah Sumitro pergi. Pengacara yang terkenal mengungkap skandal korupsi Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo itu juga disebut-sebut terlibat PRRI. “Kebetulan keduanya dari persemaian yang sama, yakni PSI sehingga kepergian mereka kerap dianggap sebagai keterlibatan PSI dalam PRRI,” tulis Hendra dan Heru.
Keterlibatan Tan Po Goan terungkap dalam dokumen berupa foto kopi surat yang dikirim dari Singapura kepada Daan Mogot. Dari surat itu, tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme, dapat dibaca bahwa keuangan PRRI sedang sulit karena hanya dapat bantuan 30.000 dolar Malaysia per bulan.
Adanya sokongan dana, persenjataan, dan pelatihan dari Amerika Serikat mendorong kubu oposisi berani mendirikan PRRI. Sumitro jadi penghubungnya. Menurut Audrey dan George Kahin, penunjukan Sumitro sebagai pencari dana dan senjata memang tepat. Selama masa awal revolusi, dia orang penting dalam upaya Republik mendapatkan dana dari luar, terutama dari kalangan usaha di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Audrey dan George Kahin menulis, “Sumitro sering mengadakan hubungan dengan kantor CIA di Singapura yang dipimpin seorang teman yang dikenalnya di Jakarta, dan dengan para pejabat pemerintah Malaysia, Filipina, Thailand, Taiwan, serta para pengusaha Inggris, Belanda, dan Cina perantauan.”
Setelah empat bulan, mulai Februari sampai Mei 1958, pemerintah pusat berhasil memadamkan perlawanan PRRI. Para perwira pembangkang dan tiga politisi Masyumi menyerahkan diri setelah Sukarno berjanji memberikan amnesti sebelum 5 Oktober 1961. Sumitro lebih dulu meninggalkan rekan-rekannya. Dia lari ke Singapura dan dari sana meneruskan perlawanannya terhadap pemerintahan Sukarno.
Atas adanya tuduhan sebagai “agen CIA”, Sumitro di kemudian hari mengatakan kalau Audrey dan George Kahin “ngawur”. “Banyak orang CIA justru membenci saya sebab saya nggak mau terlalu tunduk. Mereka kan mau mandori alias mendikte. Saya menolak didikte. Kalau mau kerjasama oke-lah, tinggal tukar pikiran dan informasi,” ujar Sumitro.
Sumitro baru kembali ke Indonesia atas permintaan penguasa Orde Baru pada 1967. Sumitro menyatakan keluar dari PSI dan mengungkapkan kekecewaanya: “Orang-orang PSI memang begitu, kalau saya masuk kabinet dan gagal mereka bilang ‘itu bukan orang kita. Dia bukan orang partai, dia duduk sebagai perorangan. Itu salah dia!’ Namun, kalau berhasil maka bilang, ‘nah, itu orang kita.’ Begitu pula ketika saya bergabung dengan gerakan daerah, mereka lantas bilang bahwa itu ulah Sumitro pribadi.”
* Tulisan ini direvisi pada 24 November 2017 pukul 21.00 WIB.