Masuk Daftar
My Getplus

Anak Tiran Masuk Istana

Dinasti Marcos yang kembali berkuasa di Filipina. Menanggung beban historis yang pelik dan kelam.

Oleh: Randy Wirayudha | 28 Sep 2022
Momen perayaan kemenangan Bongbong Marcos dalam Pilpres Filipina 2022 (Twitter @bongbongmarcos)

MAKIN dekat “tahun politik”, situasi di tanah air makin panas. Ada satu perdebatan yang meresahkan publik, yakni mantan narapidana (napi) korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Pangkalnya kemungkinan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30/PHUM/2018 yang dikeluarkan empat tahun silam. Putusan tersebut tidak membatasi hak politik seseorang untuk dipilih dan memilih. MA merilis putusan itu dengan bendasar pada payung hukum: Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang HAM.

Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks-koruptor ikut Pemilu 2019, larangan tersebut hanya bersifat normatif lantaran tidak diatur dalam undang-undang. Maka setelah KPU membuka pendaftaran bakal calon partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 pada 1-22 Agustus 2022, kekhawatiran terhadap para kembalinya eks napi koruptor mencalonkan diri mencuat. Kekhawatiran diperkuat dengan masing-masing parpol yang tidak mempermasalahkan pernah-tidaknya para pendaftar caleg mereka tersangkut skandal rasuah.

Advertising
Advertising

Berbeda dari pendaftaran caleg, hingga kini eks-koruptor masih tidak boleh maju sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). Larangan itu berdasarkan pasal 169 UU No. 7 Tahun 2017, yang berbunyi: “...tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.”

Namun, itu tetap perlu terus diperhatikan lantaran tidak tertutup kemungkinan UU tersebut bisa direvisi dengan bermacam dalih. Jangan sampai di masa mendatang eks-koruptor atau keluarganya tak hanya bisa masuk gedung parlemen tapi juga istana seperti yang terjadi di negara tetangga, Filipina.

Baca juga: Kabut Golput yang Menggelayut

Ferdinand Romualdez 'Bongbong' Marcos Jr. presiden terpilih Filipina periode 2022-2028 (ops.gov.ph)

Dari Marcos ke Marcos

Di Filipina, Ferdinand Romualdez Marcos Jr. yang notabene anak mantan tiran korup Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr. bisa maju dan bahkan menang pada Pilpres Filipina 9 Mei 2022. Ia maju dengan kendaraan politik Partai Partido Federal ng Pilipinas (PFP).

Berpasangan dengan Sara Duterte yang merupakan putri Presiden Rodrigo Duterte, sosok yang akrab disapa Bongbong Marcos itu meraup 31,6 juta suara (58,77) persen, mengalahkah tiga pesaingnya: Leni Robredo (independen, 27,94 persen), Manny Pacquiao (Partai PROMDI, 6,81 persen), dan Isko Moreno (Partai Aksyon, 3,59 persen).

Terpilihnya Bongbong Marcos lantas menjadi kontroversi lantaran menandai comeback-nya “Dinasti Marcos” ke Istana Malacañan setelah Ferdinand Marcos (1965-1986). Pelantikannya pada 30 Juni 2022 pun diwarnai aksi unjuk rasa yang khawatir rezim kelam dalam sejarah itu bisa berulang atau bahkan ditulis ulang.

Baca juga: Manny Pacquiao dan Enam Petinju Beralih Pejabat

Akibatnya setelah Bongbong ditetapkan sebagai pemenang pilpres, panic buying terjadi di sejumlah toko buku yang menjual beraneka buku tentang rezim berdarah Ferdinand Marcos. Masyarakat meyakini buku-buku tentang ayah Bongbong bukan tidak mungkin ditarik dari peredaran mengingat Wapres Sara Duterte juga menjabatan sebagai menteri pendidikan.

“Mereka (pembeli) terdorong panic buying. Mereka khawatir dan takut buku-buku itu semuanya akan direvisi,” sebut seorang pemilik toko buku, Alexine Parreno, dikutip Reuters, 27 Mei 2022.

Bongbong Marcos (kanan) & pasangan cawapresnya, Sara Vicenta Zimmerman Duterte-Carpio (Twitter @indaysara)

Professor Ramon Guillermo, guru besar di University of the Philippines, juga khawatir.

“Jika (keluarga) Marcos kembali berkuasa dan keluarga Duterte mendukung mereka, kita bisa saja mengalami situasi yang lebih sulit dalam mengajarkan tentang apa yang telah terjadi di masa lalu,” ujarnya.

Baca juga: Pembunuhan PM Jepang dalam Lintasan Sejarah

Ferdinand Marcos mulai berkuasa sebagai Presiden Filipina pada 30 Desember 1965. Sosok kelahiran Ilocos Norte pada 11 September 1917 itu sekolah hukum di University of the Philippines sebelum direcoki Perang Dunia II.

Pada Desember 1938, Marcos didakwa dalam kasus pembunuhan Julio Nalundasan yang merupakan rival politik ayahnya, Mariano Marcos. Meski begitu dakwaan itu kemudian dibatalkan Mahkamah Agung pada 22 Oktober 1940 karena dianggap kurangnya bukti. Marcos dilepaskan dari cap tersangka dengan mengikuti pelatihan pasukan cadangan Amerika Serikat, ROTC (Reserve Officers’ Training Corps), di kampusnya pada 1941.

Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr. saat menjadi prajurit USAFIP di Perang Dunia II (Wikipedia)

Setelah lulus pelatihan ROTC, Marcos dimasukkan ke dalam USAFIP (United States of America Force in Philippine) dengan pangkat letnan tiga dan turut angkat senjata dalam upaya menangkal invasi Jepang pada Desember 1941. Tapi Marcos yang ditugaskan di sektor G-2 (intelijen) di Divisi Infantri ke-21 Amerika ditawan Jepang dalam Pertempuran Bataan (7 Januari-9 April 1942) kendati dibebaskan pada 4 Agustus 1942. Menurut sejumlah dokumen militer Amerika, Marcos dibebaskan Jepang dengan imbalan mendukung José Paciano Laurel yang akan dijadikan presiden boneka Jepang.

“Dari dokumen-dokumen itu menyebutkan Marcos bersedia bekerjasama dengan para politisi Filipina yang berkolaborasi dengan (pemerintahan) pendudukan Jepang selama 1942-1944. Dokumen itu, beberapa ditulis tangan sendiri oleh Marcos, bahwa ia akan mendukung Laurel menjadi Presiden Republik Filipina pada Oktober 1943. Marcos punya utang budi, di mana pada 1940 Laurel sebagai hakim MA menuliskan opini yang membatalkan dakwaan Marcos atas kasus pembunuhan lawan politik ayahnya,” tulis suratkabar The Washington Post, 24 Januari 1984.

Baca juga: Jenderal MacArthur Merebut Manila!

Maka ketika Marcos berkampanye untuk menjadi anggota senat pada 1962, klaimnya sebagai pahlawan perang diragukan banyak pihak –perdebatan ini berlangsung hingga akhir rezim Marcos. Marcos dengan bangga mengklaim bahwa dia veteran Filipina dengan medali kehormatan terbanyak, 33 medali, di mana dua di antaranya adalah medali Distinguished Service Cross dan Medal of Honor.

“Sejumlah peneliti dan sejarawan sempat melakukan upaya pemeriksaan selama 18 bulan untuk memverifikasi klaim penghargaan itu, baik dari pemeriksaan arsip militer Amerika dan memoar tentang para penyintas perang asal Amerika dan Filipina. Sementara dari dokumen Kedutaan Filipina (di Amerika) mengungkapkan hanya ada sebuah salinan rekomendasi (medali) Silver Star tahun 1963 yang ditandatangani oleh seorang perwira Filipina. Akan tetapi dokumen itu tak mengonfirmasi bahwa dia (Marcos) benar-benar diberi medali penghargaan itu,” ungkap The Washington Post, 18 Desember 1983.

Ferdinand Marcos didampingi keluarganya saat dilantik sebagai Presiden Filipina ke-10 pada 1965 (malacanang.gov.ph)

Di tengah kontroversi itu, Marcos tetap “memoles” cerita versi dirinya untuk memuluskannya menjadi presiden Senat Filipina pada 1963 dengan kendaraan politik Partai Nacionalista. Seiring angin yang berpihak padanya, Marcos bertarung di Pilpres 1965 berpasangan dengan Fernando Lopez. Ia menang tipis dengan 3,8 juta suara (51,94 persen) dari rivalnya, Diosdado Macapagal (42,88 persen).

“Dia menang dalam pemilu dengan mempropagandakan anti-korupsi dan menguatkan janji itu saat pelantikannya. Dia berseru, ‘dengan dukungan masyarakat kita akan membuat negeri kita menjadi besar lagi,’” ungkap Thomas M. Leonard dalam Encylopedia of the Developing World.

Baca juga: Di Balik Kelanggengan Pemerintahan Shinzo Abe

Dimulailah era Ferdinand Marcos usai dilantik pada 30 Desember 1965. Dengan menjanjikan banyak program pembangunan infrastruktur dan pertanian dengan berutang pada negara-negara asing, Marcos justru membawa negerinya bergolak tak lama setelah sebagai petahana memenangi Pilpres 1969. Ia sampai menetapkan status darurat militer selama 14 tahun (1972-1981) lewat Proklamasi Nomor 1081 Tanggal 21 September 1972.

Marcos berdalih status darurat militer itu untuk menangani ancaman komunis CPP (Partai Komunis Filipina) dan pemberontak separatis Mindanao. Namun nyatanya, sebagaimana di masa transisi pasca-Tragedi 1965 di Indonesia, Marcos memanfaatkan masa-masa itu untuk menyingkirkan pula banyak lawan politiknya di luar kaum komunis dan separatis.

Harian Sunday Express edisi 24 September 1972 dengan halaman muka yang mengumumkan darurat militer

Catatan Amnesty International pada 1 September 1976 menyebutkan, era berdarah tirani Marcos itu memakan korban tak terkira dari kalangan lawan politik, aktivis pelajar, buruh, petani, hingga jurnalis. Tercatat terdapat 3.257 jiwa yang jadi korban extrajudicial killing, 35 ribu kasus penyiksaan, 77 kasus penghilangan paksa, dan 70 ribu kasus penahanan tanpa peradilan.

Belum lagi menyoal perkara kultur korupsi dan kleptokrasi oleh Marcos dan para kroninya. Terlebih budaya korup ini sudah dibawa Marcos ke istana presidennya sejak ia menjabat wakil rakyat dan anggota kongres.

“Marcos dengan cermat melihat kekuasaan politik sangat bertautan erat dengan kekayaan. Oleh karenanya ia meraup keuntungan sekaligus untuk memastikan rival-rival politiknya yang potensial tak bisa ikut memanfaatkan kekayaan yang bisa digunakan untuk melawannya. Baik anggota keluarga dan kawan-kawan terdekatnya memonopoli kegiatan ekonomi gula, kelapa, dan produksi terigu. Dia juga mengarahkan alokasi kredit pemerintah kepada kroni-kroninya. Bank pemerintah DBP dijadikan bank swasta agar para kroninya bisa melakukan pinjaman dan menyuntikkan dana ketika perusahaan-perusahaannya kolaps,” catat David G. Timberman dalam A Changeless Land: Continuity and Change in Philippine Politics.

Baca juga: Oligarki Zaman Kuda Gigit Besi hingga Era Jokowi

Kemudian saat tekanan di dalam negeri maupun internasional mulai tak terbendung lagi, Marcos dan keluarganya melarikan diri ke Hawaii. Gerakan EDSA atau Revolusi Kekuatan Rakyat sukses meruntuhkan rezim Marcos. Pemerintahan Filipina pun berganti ke tangan Presiden Maria Corazon Sumulong Cojuangco “Cory” Aquino.

Nyatanya usai Marcos kabur ke Hawaii, ditemukan pula sejumlah dokumen yang mencatatkan kleptokrasi Marcos di Istana Malacañan. Disebutkan ia sampai ikut membawa kabur 5-10 triliun dolar uang negara. Tak lupa dokumen terkait harta simpanan Marcos di sejumlah bank di Swiss.

Dalam pelariannya, Ferdinand Marcos malah disambut Gubernur Negara Bagian Hawaii, George Ariyoshi (Armed Forces of the Philippines)

Pemerintah Filipina lewat Presidential Commission on Good Government (PCGG) sejak 1986 itu juga berupaya untuk mengambilalih harta haram Marcos itu dibantu politikus cum pengacara Swiss, Sergio Salvioni. Rekening-rekening atas nama Marcos dan istrinya, Imelda, kemudian dibekukan terlebih dulu sebelum akhirnya berhasil dikembalikan kepada negara pada 1999 di masa Kepresidenan Benigno Aquino III.

“Total nilai rekening-rekening yang dibelukan di Zurich, Jenewa, dan Fribourg pada 1986 adalah 356 juta dolar, di mana pada 1999 saat ditransfer kembali ke Manila, meningkat dengan bunga mencapai 681 juta dolar,” tulis Salvioni dalam catatannya bertajuk “Recovering the Proceeds of Corruption: Ferdinand Marcos of the Philippines” yang termuat dalam buku Recovering Stolen Assets.

Baca juga: Ekstradisi dari Hong Kong?

Marcos sendiri menghembuskan nafas terakhir pada 15 Januari 1989 atau tiga tahun pascakabur dari Manila karena penyakit pneumonia. Menjelang ajalnya di Rumahsakit St. Francis, Honolulu, Marcos sempat berharap bisa dimakamkan di tanah airnya. Pihak keluarganya bahkan sampai menawarkan untuk mengembalikan 90 persen harta milik Marcos untuk negara tapi tawaran itu ditolak Presiden Cory Aquino.

Setelah wafat, jasad Marcos terpaksa dikebumikan pemakaman pribadi Byodo-In Temple di Pulau Oahu. Meski begitu kemudian jasadnya diperbolehkan untuk dibawa pulang ke kampung halamannya, Ilocos Norte pada 1993 atas izin Presiden Fidel Ramos.

“Semoga para sahabat dan para pembenci bisa melihat lebih jauh sosok yang sebelumnya berdiri tegak di atas visinya, kasih sayangnya, dan besarnya cinta kepada negeri,” tutur Bongbong Marcos terkait wafatnya sang ayah, dikutip Associated Press, 29 September 1989.

Gerakan massa pada Revolusi EDSA (Repro People Power: The Philippine Revolution of 1986/malacanang.gov.ph)

Bongbong Marcos sendiri yang lahir pada 13 September 1957 di Manila, sedianya sudah kembali dan bahkan mulai masuk politik Filipina lagi pada 1991 atau dua tahun sebelum jenazah ayahnya dipulangkan dari Hawaii. Di masa ayahnya berkuasa dan sebelum melarikan diri ke Hawaii, Bongbong juga sudah mengecap pengalaman politik sebagai Wakil Gubernur Negara Bagian Ilocos Norte (1980-1983) dan naik jadi gubernur menggantikan tantenya pada 1983 sampai terjadinya Revolusi EDSA pada 1986.

Bongbong Marcos kembali pada 1991 atas izin Presiden Cory Aquino dengan alasan agar ia dan keluarganya bisa dihadapkan pada sejumlah dakwaan penggelapan pajak. Seiring proses pemeriksaan, Bongbong kembali ke jalur politik dan terpilih jadi anggota legislatif mewakili Ilocos Norte dan pada 1995 mengajukan diri sebagai calon anggota senat.

Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad

Di sisi lain kemudian Bongbong dihadapkan pada hukuman penjara. Laporan United Press International, 31 Juli 1995 menyebutkan, Bongbong divonis tujuh tahun penjara dan denda senilai 138.491 peso usai diputuskan bersalah telah menggelapkan pajak semenjak ia menjadi Gubernur Ilocos Norte sepanjang 1982-1985. Namun setelah mengajukan banding pada 1997, Marcos terhindar dari hukuman bui dan sekadar diperintahkan membayar kekurangan pajak senilai 30 ribu peso dan dendanya senilai dua ribu peso.

Selebihnya, Bongbong yang mengembalikan kejayaan dinasti politik di Ilocos Norte, makin berkibar di arena politik, baik di tingkat legislatif maupun di level senat. Bahkan pada 2016, Bongbong memberanikan diri maju jadi cawapres menemani capres Miriam Defensor Santiago walau kalah dengan perolehan suara terkecil, 3,42 persen dari sejumlah calon lainnya.

Lawatan Presiden Bongbong Marcos ke Istana Bogor (ops.gov.ph)

Baru pada Pilpres 2022, Bongbong lebih pede maju sebagai capres dan sebagaimana bisa ditilik hasilnya, ia menang untuk mengikuti jejak ayahnya duduk di kursi kepresidenan. Satu negara tetangga pertama yang ia kunjungi usai menjabat tak lain adalah Indonesia, sekaligus memperingati 75 tahun hubungan diplomatik RI-Filipina. Lawatannya disambut langsung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor pada 5 September 2022.

“Jakarta menjadi lawatan pertama kepresidenan tak lain karena sejumlah alasan. Salah satunya karena kita tak hanya dekat secara geografis tapi juga dalam hal kultur dan etnisitas. Dan saya pikir dengan kemitraan kita yang kuat perlahan akan membawa kita keluar dari pandemi ekonomi…dalam dua tahun lagi kita akan memperingati 75 tahun hubungan diplomatik yang akan terus diperkuat dan itu jadi relasi terlama bagi kami. Bahkan kita sudah punya relasi sebelum menjadi sebuah negara dari kepulauan selatan kami ke Indonesia selama ribuan tahun,” ujar potongan pidato Presiden Marcos, dikutip dari laman resmi kepresidenan Filipina, 5 September 2020.

Baca juga: Darah Aktivis Kamala Harris

TAG

filipina korupsi pemilu

ARTIKEL TERKAIT

Korupsi di Era Orde Baru Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Jejak Ali Moertopo dalam Kerusuhan Lapangan Banteng Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971