Masuk Daftar
My Getplus

Rebut Manila!

Pertempuran Manila jadi satu-satunya palagan kota di Perang Pasifik. Obsesi Jenderal MacArthur yang memicu horor pembantaian.

Oleh: Randy Wirayudha | 03 Feb 2021
Pasukan Amerika memasuki kota Manila dan menghadapi perang kota pertama dan terakhir di front Pasifik (malacanang.gov.ph)

SUDAH tiga bulan sejak Jenderal Douglas MacArthur menginjakkan kaki lagi di Filipina untuk menunaikan janjinya, “I Shall Return!”, namun Manila masih belum dikuasainya. Padahal, bagi MacArthur Manila merupakan yang utama di Filipina.

MacArthur mendarat kembali ke Filipina pada 20 Oktober 1944. Dia mendarat di Pantai Merah Leyte. Saking semangatnya, MacArthur yang ditemani Presiden Filipina Sergio Osmeña turun dari kapal sesegera mungkin walau celananya harus kebasahan oleh air laut di bibir pantai.

“Bagi MacArthur, kembali ke Filipina dan menunaikan janjinya sudah jadi obsesi lamanya, sebagaimana paus beluga bagi Ahab dalam novel (Herman) Melville, Moby Dick. Kepala staf intelijen MacArthur Brigjen Charles Willoughby mengatakan: ‘Setiap pertempuran di Papua, setiap raid di Rabaul atau serangan kapal patroli terhadap kapal-kapal tongkang Jepang, adalah pendahuluan bagi penaklukan kembali Filipina,’” tulis James M. Scott dalam Rampage: MacArthur, Yamashita, and the Battle of Manila.

Advertising
Advertising

MacArthur telah menuntaskan sumpahnya kepada rakyat Filipina yang diucapkannya setelah “terusir” pasca-Corregidor direbut Jepang pada Maret 1942. Namun tetap saja ia belum puas. Panglima Sekutu di front Pasifik Selatan itu ingin buru-buru bermarkas di Manila. Terlebih Pertempuran Luzon telah dimulai pada 9 Januari 1945 dengan pendaratan di Teluk Lingayen.

Baca juga: Yang Tercecer dari Pertempuran Biak Papua

Jenderal Douglas MacArthur kembali ke Filipina pada Oktober 1944 (National Archives and Records Administration)

Bagi MacArthur, Filipina hanya berarti satu hal: Manila. Setiap hari, setiap jam dalam Pertempuran Luzon, dia kian mendekati tujuannya. Di bibir pantai dekat Teluk Lingayen itu pula MacArthur bermarkas. Pada 31 Januari 1945, ia berniat menyampaikan sesuatu yang penting saat menggelar inspeksi ke Guimba, tempat Divisi Kavaleri ke-1 Angkatan Darat Amerika Serikat (AD AS) pimpinan Mayjen Vernon D. Mudge bermarkas.

“Di sana, ia (MacArthur) memerintahkan Mayjen Vernon D. Mudge, komandan divisi: ‘Rebut Manila! Kepung Jepang, singkirkan Jepang, selamatkan anak buah Anda, tapi berangkatlah ke Manila! Bebaskan para interniran di Santo Tomas. Rebut Istana Malacañang dan Gedung Legislatif.’ Seruan itu tanpa disengaja dan tak terhindarkan akan turut menghancurkan kota,” ungkap Joseph P. McCallus dalam The MacArthur Highway and Other Relics of American Empire in the Philippines.

Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor

Perintah itu lantas diteruskan Mayjen Mudge ke para koleganya, termasuk atasannya, Panglima Tentara AD ke-6 Letjen Walter Krueger. Padahal, dalam rencana Pertempuran Luzon sebelumnya, serangan ke Manila sama sekali tak dibahas. Mayjen Oscar W. Griswold, komandan Korps ke-16 yang jadi ujung tombak pendaratan ke Luzon, menganggap Manila takkan dipertahankan Jepang dengan kuat sehingga tak ada alasan untuk merebutnya dengan pertempuran kolosal.

“Pada 1945, Manila dengan luas kota 15 mil persegi, dihuni sekitar satu juta warga sipil. Sebuah area metropolitan yang padat penduduk, sekaligus kota industri, bisnis, dan pemerintahan modern. Pada akhirnya, merebut Manila menjadi penting secara politis dan strategis bagi Amerika Serikat,” tulis Kevin T. McEnery dalam The XIV Corps Battle for Manila, February 1945.

Rencana untuk membuka pertempuran merebut Manila pun dipetakan secepat mungkin. Amerika menyisihkan sekitar 25 ribu personel dari total 280 ribu prajuritnya di Tentara AD ke-6. Mereka akan dibantu sekira tiga ribu gerilyawan Filipina “Hunters ROTC”.

Jenderal Tomoyuki Yamashita si "Macan Malaya" (kiri) & Laksamana Muda Sanji Iwabuchi. (National Archives and Records Administration/malacanang.gov.ph).

Baca juga: Deklarasi Perang Soviet Terhadap Jepang

Di lain pihak, Panglima Tentara Jepang di Filipina Jenderal Tomoyuki Yamashita bersikeras untuk tak melabeli Manila sebagai kota terbuka kendati ia kekurangan personel untuk mempertahankannya. Mandat mempertahankan Manila ia serahkan pada koleganya, Laksamana Muda Sanji Iwabuchi, yang akan memimpin 17 ribu prajurit yang mayoritas personil Marinir Kaigun (Angkatan Laut Jepang).

Yamashita lebih memilih untuk mengerahkan sebagian besar pasukannya untuk menghadapi Sekutu di pedalaman utara Pulau Luzon. Garis besar rencananya sudah jelas, yakni memperlambat laju Sekutu menuju kepulauan utama Jepang. Mengutip R. Connaughton, J. Pimlott, dan D. Anderson dalam The Battle for Manila, Yamashita memilih menyimpan pasukan besarnya yang terbagi dalam tiga grup: Grup Shimbu (80 ribu) di bawah pimpinannya langsung di sisi timur Pegunungan Manila, Grup Kembu (30 ribu) di perbukitan utara Manila, dan Grup Shobu (152 ribu) di timur laut Pulau Luzon.

Untuk membantu Panglima Pangkalan AL ke-31 Laksda Iwabuchi yang memimpin 17 ribu pasukan pertahanan Manila, Yamashita memerintahkan sebagian kecil dari pasukan Grup Shimbu untuk menghancurkan semua jembatan dan instalasi vital di segenap kota, serta mengevakuasi warga sipil Jepang, untuk kemudian mengundurkan diri lagi ke sisi timur Pegunungan Manila.

Bara dan Pembantaian di Manila

Pertempuran Manila di hari ketiga bulan Februari akan jadi yang pertama dan satu-satunya pertempuran kota di front Pasifik. Pertempuran itu memaksa kedua belah pasukan mempertahankan mati-matian setiap jalan dan tiap gedungnya sebagaimana jamak terjadi di front Eropa.

Laksda Iwabuchi berniat bertempur sampai titik darah penghabisan. Ia ingin unjuk balas, mengingat sebelumnya kapal tempur yang pernah dinakhodainya, Kirishima, ditenggelamkan armada Amerika di perairan Guadalcanal pada 1942.

“Kita harus senang dan bersyukur atas kesempatan untuk mengabdi pada negeri kita dalam pertempuran besar ini. Sekarang dengan kekuatan yang ada, kita akan menghadapi musuh dengan berani. Banzai untuk Kaisar! Kita akan melawan hingga prajurit terakhir,” seru Iwabuchi kepada belasan ribu anak buahnya, dikutip Scott.

Baca juga: Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua

Pertempuran Manila akhirnya dibuka dengan penetrasi elemen dari Divisi Kavaleri ke-1 Amerika yang menyeberangi Sungai Pasig lewat jembatan ponton pada 3 Februari 1945 petang. Jembatan ponton digunakan karena jembatan aslinya sudah diledakkan Jepang.

Universitas Santo Tomas yang disulap jadi kamp interniran jadi sasaran pertama. Kamp itu hanya dijaga satu detasemen serdadu Jepang. Ketika mereka melihat tank-tank dari Batalyon Kavaleri ke-44 Amerika menerobos pagar luar pada pukul 8 malam, pasukan pertahanan itu segera mengibarkan bendera putih. Didampingi Earl Carroll, pemimpin para interniran dan penerjemah Ernest Stanley, pasukan Jepang menawarkan negosiasi untuk melepaskan ribuan interniran tanpa desingan peluru.

Pusat kota Manila (kiri) dan kota tua Intramuros hancur lebur membawa serta 100 ribu nyawa sipil ikut menguap sepanjang Palagan Manila. (National World War II Museum).

Begitu pun saat Resimen Kavaleri ke-8 menyasar Istana Malacañang dari arah Sungai Tullahan. Mereka tak menemukan perlawanan berarti dari pasukan Jepang yang bertahan. Baru setelah tiga hari sejak dimulainya Palagan Manila, pasukan penyerbu mendapati perlawanan alot Jepang di komplek-komplek gedung pemerintahan hingga area pemukiman selama berhari-hari.

Karena Manila tak dinyatakan sebagai kota terbuka, warga sipil pun turut jadi korban akibat terjebak di berbagai pertempuran Amerika-Jepang. Sekitra 100 ribu dari satu juta warga Manila jadi korban pembantaian Jepang sebagaimana 300 ribu warga sipil di ibukota China jadi korban Jepang dalam Tragedi Nanking, 1937-1938.

Baca juga: Kabut Pekat di Nanking

Kengerian pembantaian yang berlangsung sejak 7 Februari 1945 itu antara lain diungkapkan prajurit Divisi Infantri ke-37 Claude Higdon Jr. Higdon tercengang ketika di jalan-jalan tampak mayat-mayat tak berseragam, melainkan jasad-jasad berbalut gaun dan bahkan pakaian bayi.

“Pada mayat orang dewasa, tampak tangannya terikat. Ada pula satu keluarga yang dibunuh,” kenang Higdon dikutip Scott.

Kolase korban pembantaian dan pemerkosaan massal serdadu Jepang di Manila. (National Archives and Records Administration/malacanang.gov.ph).

Seiring jalannya pertempuran dan setelah merebut satu gedung ke gedung lain, pemandangan serupa terus disaksikan pasukan Amerika lain hingga 28 hari jalannya pertempuran. Hampir semua orang yang diketahui sebagai pegawai pemerintahan dieksekusi atau rumahnya dibom tentara Jepang.

Pembantaian sistematis itu umumnya diawali dengan pemerkosaan terhadap warga perempuan dan dilanjutkan dengan eksekusi. Para ibu hamil disembelih dengan bayonet, lalu dilemparkan dari atas gedung. Semua interniran asing yang masih ditahan, lazimnya berakhir di ujung hunusan gunto (pedang) perwira Jepang.

“Kehancuran Manila adalah salah satu tragedi besar dalam Perang Dunia II. Sebanyak 70 persen instalasi kebutuhan hidup, 72 persen pabrik, 80 persen distrik pemukiman selatan, dan 100 persen distrik bisnis rata dengan tanah. Rumahsakit-rumahsakit dibakar dengan para pasiennya masih terikat di tempat tidur. Warga lelaki dimutilasi, warga perempuan semua umur diperkosa sebelum dibantai dan mata bayi-bayi dicongkel dan ditempelkan di tembok-tembok seperti jelly,” tulis William Manchester dalam American Caesar: Douglas MacArthur 1880-1964.

Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta

Pembantaian dan pemerkosaan massal paling horor ditemukan pasukan Amerika setelah merebut Hotel Bayview. Dari beberapa penyintas yang melaporkannya ke pasukan Amerika, diketahui hotel itu dijadikan tempat pemerkosaan massal. Para korbannya lantas dibakar hidup-hidup di kamar-kamarnya.

Pembantaian Jepang yang tak pandang bulu itu dilakukan serampangan terlebih kepada orang asing. Warga Jerman, sekutu Jepang di Blok Poros, ikut jadi korban. Pada 10 Februari, sekira 400 orang asing yang bersembunyi –termasuk lima warga Jerman dan Duta Besar Spanyol untuk Filipina Juan Rocha– di German Club dihabisi untuk dijadikan pelampiasan para serdadu dan perwira Jepang yang frustrasi.

Diajukan ke muka pengadilan, Jenderal Yamashita sebagai pucuk pimpinan Jepang di Filipina dihukum gantung. (National Archives and Records Administration).

Penderitaan warga Manila diperparah oleh bombardir Sekutu pada 17-23 Februari, kala mengepung kota tua Intramuros untuk memaksa sekira enam ribu pasukan Jepang yang tersisa agar mau menyerah. Sekitar seribu nyawa warga sipil menguap baik akibat tangan serdadu Jepang maupun terjebak reruntuhan bangunan imbas bombardir yang diperintahkan Letjen Oscar Griswold dan Mayjen Robert Beightler itu.

“Griswold dan Beightler tak ingin menyerang hanya dengan infantri. Mereka menyerang dengan serangan artileri yang masif. Mereka tidak memperhitungkan bagaimana warga sipil bisa tetap diselamatkan. Intramuros praktis hancur lebur,” tulis Robert Ross Smith dalam Triumph in the Philippines.

Tiga hari berselang, Intramuros bisa direbut Amerika. Di hari yang sama, Laksda Iwabuchi bunuh diri dengan menembakkan pistol ke mulutnya. Perlawanan sporadis Jepang berangsur mereda dan Manila resmi direbut dan dibebaskan pada 3 Maret 1945 kendati dengan harga luar biasa mahal.

Kerugian Amerika sendiri berupa 1.010 prajuritnya tewas dan lima ribu luka-luka. Sedangkan Jepang, 16 ribu serdadunya tewas. Namun, Tragedi Manila adalah sekira 200 ribu nyawa sipil, baik warga Filipina maupun tahanan interniran, yang melayang.

Baca juga: Anzio, Palagan Sengit Merebut Roma

TAG

perang pasifik filipina perang dunia

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Quick Count yang Krusial Percobaan Pembunuhan Presiden Soeharto di KTT ASEAN Anak Tiran Masuk Istana Tujuh Petinju Beralih Pejabat (Bagian I) Persaingan Inggris-Amerika di Tepian Rhine Mengirim Peti Mati Pembantaian Nazi di Biara Ardennes Tragedi Kematian Magellan CIA, Filipina, dan Permesta Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang