SUDAH keluar ongkos hampir 130 juta peso (setara Rp35 miliar), Manny Pacquiao harus legawa. Popularitasnya sebagai eks-petinju profesional yang bergelimang gelar dunia tak bisa menjaminannya menang di pemilihan presiden (Pilpres) Filipina 2022.
Di pilpres Filipina pada 9 Mei 2022, Pacquiao yang –berasal dari partai PROMDI–berpasangan dengan cawapres Lito Atienza mesti gigit jari. Hasil penghitungan suara hanya menempatkannya di urutan ketiga dengan perolehan 3,6 juta suara (6,81 persen).
“Sebagai petinju dan atlet, saya mengerti bagaimana menerima kekalahan. Saya hanya berharap bahwa, meskipun saya kalah dalam pertarungan ini, rakyat Filpina yang telah menderita akan mendapatkan kemenangan,” ungkap Pacquiao, dikutip Marca, 11 Mei 2022.
Baca juga: 11 Maestro Bola Kaki Beralih Politisi (Bagian I)
Sosok kelahiran Kibawe, 17 Desember 1978 itu sepanjang kariernya hampir selalu membanggakan buat negerinya. Di tinju profesional, dia punya catatan 62 kemenangan (39 KO), delapan kali imbang atau no contest, dan dua kali kalah. Tak hanya jadi kebanggaan Asia, Pacquiao bahkan dianggap sebagai petinju kidal terbaik sepanjang masa versi media Ranker pada 2020.
Selain memenangkan 12 gelar dunia, figur berjuluk “PacMan” itu juga jadi satu-satunya petinju yang pernah juara di delapan divisi atau kelas berbeda dalam sejarah tinju dunia: kelas terbang (WBC 1998), kelas super bantam (IBF 2001), kelas bulu (The Ring 2003), kelas super bulu (WBC dan The Ring 2008), kelas ringan (WBC 2008), kelas welter ringan (The Ring 2009), kelas welter (WBO 2009) dan (WBA 2019), dan kelas menengah ringan (WBC, 2010 dan WBO, 2014).
Saat masih berkarier tinju, Pacquiao pernah menyandang pangkat militer di pasukan cadangan Angkatan Darat Filipina. Sejak masuk unit cadangan dengan pangkat kehormatan sersan pada 2006, Pacquiao sudah promosi sampai pangkat kolonel pada 2017.
Sebelum gantung sarung tinju pada Oktober 2021, Pacquiao dengan kendaraan Partai PDP-Laban yang berhaluan demokratik-sosialis terjun ke dunia politik. Semenjak 2010 ia jadi wakil rakyat di Parlemen Filipina mewakili (dapil) Sarangani. Namun, Pacquiao harus tumbang setelah “di-KO” anak diktator Filipina.
Pacquiao hanya satu dari sekian petinju yang loncat arena ke politik. Ia juga nyaris jadi petinju profesional pertama dunia yang mencapai posisi pejabat publik tertinggi: presiden. Beberapa petinju yang masuk ke politik lazimnya sekadar jadi anggota parlemen, walikota. Yang tertinggi menteri. Berikut enam di antaranya:
Chris John
Lain Pacquiao, lain pula dengan Chris John, sesama petinju Asia Tenggara yang punya nama di pentas tinju dunia. Di antara petinju legendaris Indonesia, Chris John dianggap salah satu yang paling sukses di level profesional.
Petinju kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah pada 14 September 1979 itu sudah mengenal tinju sejak usia lima tahun. Ia beranjak ke tinju profesional pada 1998 dan langsung melesat dalam dua pertarungan perdananya.
“Pertarungan saya yang terbesar terjadi di awal-awal karier (pro). Saat itu saya ingat di tahun 1999 ketika Kejuaraan Nasional, saya menghadapi (almarhum Muhammad) Alfaridzi. Di ronde-ronde awal kena pukulan telak hingga hidung saya patah. Setelah itu saya ingat kata-kata ayah, untuk kemudian bisa bangkit,” kenang Chris John dalam konferensi pers pensiunnya, dikutip Okezone, 19 Desember 2013.
Baca juga: 11 Maestro Bola Kaki Beralih Politisi (Bagian II – Habis)
Sebelum pensiun pada Desember 2013 dan mengakhiri karier dengan kekalahan dari Simphiwe Vetyeka, petinju berjuluk “Sang Naga” itu memegang rekor petinju Indonesia yang paling awet mempertahankan gelar dunia. Total 16 kali ia mempertahankan sabuk dunia di kelas bulu WBA dalam kurun 2003-2013.
“Di pertarungan terakhir, saya sudah merasa kondisi saya tak lagi seperti dulu. Akhirnya pensiun jadi pilihan terakhir. Saya sendiri yang ingin pensiun dan sudah berkonsultasi dengan pelatih. Kalau saja saya menang melawan Vetyeka, mungkin saya masih akan melanjutkan karier saya,” sambungnya.
Selain masih eksis di pentas tinju nasional sebagai promotor, Chris John terjun ke kancah politik. Ia masuk Partai Demokrat pada Februari 2018. Enam bulan berselang, ia pindah ke Partai Nasional Demokrat lewat Dapil X Jawa Tengah jelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, di mana ia mesti menerima kekalahan.
Kendati kiprahnya di dunia politik belum semoncer kariernya di dunia tinju, bukan Chris John namanya jika langsung mengibarkan bendera putih. Menjelang Pemilu 2024, Chris John berniat “nyaleg” untuk Pemilu 2024. Harapannya masih sama: mengembangkan tinju profesional lewat kebijakan-kebijakan di parlemen sebagai wakil rakyat.
“Kalau ada yang dukung mungkin saja (‘nyaleg’ 2024), asal tidak keluar uang sendiri. Repot. Kalau nanti ada yang dukung dan serius, kenapa enggak?” tutur Chris John, dilansir CNN Indonesia, 17 Juni 2019.
Alexis Argüello
Lahir di lingkungan yang keras di kota Managua, Nikaragua, 19 April 1952, Argüello tumbuh jadi pribadi yang keras pula. Di usia belia, 13 tahun, Argüello sudah jadi tulang punggung keluarga dengan merantau ke Kanada pasca-ayahnya bunuh diri.
Sembil bekerja serabutan, Argüello menumbuhkan minat pada tinju setelah saudarinya, Marina, dipersunting seorang petinju amatir. Di usia 16 tahun Argüello mulai meniti karier di level amatir.
“Akan tetapi tinju amatir tak mendatangkan banyak uang, jadi Argüello merasa harus beralih ke (tinju) profesional. Debut Argüello dilakoni pada 1 Agustus 1968 melawan ‘Cachorro’ Amaya di León, Nikaragua. Sayangnya debutnya (di kelas bulu) itu tak tercatat karena kurangnya pengorganisasian di asosiasi Nikaragua,” tulis jurnalis tinju Christian Guidice dalam Beloved Warrior: The Rise and Fall of Alexis Argüello.
Baca juga: Konflik Kehidupan Roberto Durán dalam Hands of Stone
Kendati mengalami beberapa kekalahan menyesakkan, mental baja Argüello membuatnya tetap bertahan di level pro hingga kemudian dia bergelimang sabuk gelar juara dunia kelas bulu WBA pada 1974, kelas bulu super WBC pada 1978, dan kelas ringan WBC pada 1981. Argüello yang menyadari usianya beranjak tua, gantung sarung tinju pada 1995.
Argüello lalu serius memijak dunia politik. Sedianya kiprahnya di dunia politik telah dirintisnya pada 1980-an saat masih berkarier di tinju. Argüello bergabung dengan partai sosialis FSLN (Front Nasional Pembebasan Sandinista). Dia sudah berpolitik saat Revolusi Nikaragua (1961-1990) berkecamuk.
“Meski mendukung revolusi dari jauh di Miami, kemudian Argüello malah keluar dari Sandinista karena rekening bank-nya dibekukan, propertinya diambilalih, dan salah satu adiknya terbunuh. Argüello sempat vakum di tinju hanya untuk balik ke Nikaragua untuk bergabung ke Contras, salah satu gerakan anti-Sandinista. Usai ikut angkat senjata bergerilya di pedalaman hutan, ia kembali ke Amerika melanjutkan karier tinjunya,” ungkap Ian C. Friedman dalam Latino Athletes.
Usai pensiun pada 1995, Argüello merapat lagi ke Partai Sandinista. Ia bahkan sukses di pemilu 2008 dengan memenangkan kursi wakil walikota Managua.
Empat tahun berselang, setelah berganti kendaraan politik ke Partai PLC (Partai Liberal Konstitusionalis), Argüello terpilih jadi walikota Managua pada 9 November 2008. Akan tetapi baru beberapa bulan menjabat, Argüello ditemukan tergeletak tak bernyawa di kediamannya pada 1 Juli 2009. Kepolisian menyatakan Argüello bunuh diri dengan menembakkan pistol ke jantungnya.
(Bersambung)
Baca juga: Pencarian Islam Muhammad Ali