Konflik Kehidupan Roberto Durán dalam Hands of Stone
Kisah anak melarat yang menjelma jadi petinju ternama. Jatuh-bangun setelah pernyataan kondangnya “No Mas!”.
GEMURUH di arena Madison Square Garden di New York, Amerika Serikat kian terdengar seiring pelatih gaek Ray Arcel (diperankan Robert De Niro) memasuki lorong arena menuju kursi di sisi ring. Malam itu, 13 September 1971, ia tergelitik memantau petinju potensial asal Panama, Roberto Durán (Édgar Ramírez), yang tengah menghadapi Benny Huertas di sebuah laga kelas ringan.
“Insting ring (tinju) adalah seni. Sebuah anugerah dari Tuhan yang mengalir dalam diri petinju seperti halnya seorang seniman yang menghasilkan karya atau penulis yang menghasilkan buku hebat,” kata Arcel dalam monolog kala menggambarkan sosok Durán yang sedang fokus diperhatikannya.
Arcel terkesan lantaran Durán hanya butuh satu menit enam detik di ronde pertama untuk menang TKO atas lawannya. Itu jadi kemenangan ke-25 petinju berjuluk Manos de Piedra alias Si Tangan Batu itu dalam karier profesionalnya.
Pascalaga, Arcel dipertemukan dengan Durán oleh manajer Carlos Eleta (Rubén Blades) di ruang ganti. Eleta menganggap Arcellah yang bisa mengantarkan Durán merebut titel dunia yang hingga saat itu belum pernah dicicipi sang petinju.
Baca juga: Khabib Nurmagomedov Sang Elang Dagestan
Butuh desakan keras dari Eleta agar Durán mau dilatih Arcel. Pasalnya sejak kecil Durán punya segudang kenangan pahit berurusan dengan orang Amerika. Begitulah adegan enam menit pertama film biopik olahraga bertajuk Hands of Stone yang dibesut sineas Jonathan Jakubowicz.
Alur cerita lantas mundur ke adegan yang mendeskripsikan apa saja yang membuat Durán begitu alergi dengan banyak hal berbau Amerika. Tepatnya, ketika Durán berumur 13 tahun dan ikut unjuk rasa pelajar pada 9 Januari 1964 yang berujung ricuh di Terusan Panama. Durán yang sudah putus sekolah melihat sendiri bagaimana militer Amerika menghalau ratusan demonstran dengan cara-cara represif. Penembakan kepada para pelajar yang mencoba mengibarkan bendera Panama di zona yang masih dikuasai Amerika itu juga dilakukan.
Sejak saat itu, Durán kecil berkeinginan untuk jadi petinju agar bisa melindungi ibunya yang jadi orang tua tunggal dan adik-adiknya. Selain bekerja serabutan membantu ekonomi keluarga, Durán sering jadi petinju jalanan untuk mendapatkan uang hasil taruhan. Suatu kali, ia bertemu pelatih tinju profesional Nestor ‘Plomo’ Quiñones (Pedro Pérez).
Plomo lantas memungut Durán dari jalanan ke sasana tinju. Begitu Durán tumbuh dewasa, Carlos Eleta ikut andil membawa Durán ke tinju profesional. Namun untuk mewujudkan ambisi jadi juara dunia demi mengharumkan nama Panama, Durán butuh tangan dingin Ray Arcel.
Baca juga: Tinju Kiri Muhammad Ali di Jakarta
Bagi Arcel yang punya strategi bertarung di ring jempolan dan sudah mencetak 18 juara dunia selama 50 tahun kariernya, Durán petinju yang nyaris sempurna. Insting dan pergerakannya natural serta pukulannya sekeras batu sehingga dijuluki Manos de Piedras. Akan tetapi Durán kerap indisipliner. Soal ini Arcel jagonya dan dia berhasil menangani Durán.
Hasilnya pun manis. Laga demi laga dengan mudah dilalui Durán dengan kemenangan telak. Termasuk ketika berhadapan dengan simbol tinju Amerika Sugar Ray Leonard (Usher Raymond) di Montréal, Kanada, 20 Juni 1980, yang mengantarkan Durán merebut gelar WBC kelas welter.
Baca juga: Ring Kehidupan Max Schmeling
Namun, Durán kemudian jadi arogan dan kedisiplinannya mulai kendor. Bahkan jelang rematch kontra Leonard lima bulan kemudian di New Orleans Superdome, Durán masih getol foya-foya. Akibatnya di ronde kedelapan Durán menyerah. Tak hanya kehilangan gelar akibat kekalahan TKO itu, Durán juga kehilangan muka lantaran diolok-olok media dan publik.
Kehidupan rumah tangganya dengan Felicidad (Ana de Armas) pun mulai terguncang. Durán yang di negerinya hero seketika terjun menjadi zero. Masyarakat Panama yang saban hari berkutat dengan kemiskinan dibuat kecewa oleh Duran yang selama ini dijadikan harapan, kebahagiaan, dan kebanggaan mereka.
Bagaimana perjuangan dan pergulatan mentalnya untuk bangkit dan seperti apa kerasnya usaha Ray Arcel dan istri Durán untuk membangunkan “Si Tangan Batu” dari keterpurukannya? Silakan ditonton sendiri Hands of Stone. Meski sudah dirilis pada 26 Agustus 2016, hingga saat ini masih bisa Anda saksikan di platform daring Mola TV.
Drama Sarat Konflik
Hands of Stone boleh jadi hiburan tersendiri buat para penikmat tinju dunia sekaligus wahana bernostalgia dengan era emas tinju pada 1980-an. Ia melengkapi deretan film bertema tinju, baik fiktif maupun biopik, yang bermunculan sejak Ali (2001), Million Dollar Baby (2004), Cinderella Man (2005), Rocky Balboa (2006), Ressurecting the Champ (2007), The Fighter (2010), Max Schmeling (2010), Creed (2015), Southpaw (2015), atau Bleed for This (2016).
Dengan dibantu Miguel Ioann Littin dalam sinematografi, nuansa retro dan atmosfer “latino” cukup terasa dalam garapan Jakubowicz ini lewat tone film serta rangkaian music scoring yang dikomposeri Angelo Milli.
Perpaduan itu cukup bisa membuat penonton merasakan nuansa 1970-an dan 1980-an, baik kala adegan masa kecil Durán di Panama maupun saat sudah berkarier di tinju pro di Amerika. Faktor-faktor teknis itu jadi penyokong penting dalam bab-bab kehidupan Durán yang melodramatik.
Baca juga: Ada Trump di Sudut Ring Mike Tyson
Kehidupan Durán amat berwarna. Melarat di masa kecil, mendadak kaya setelah juara dunia, dan jatuh-bangun pasca-pertarungan dengan Leonard yang kondang dengan ucapan “No Mas”-nya kala menyerah dari Leonard. Semua fase kehidupan itu diangkat diceritakan Jakubowicz dalam Hands of Stone yang diadaptasi dari biografi karya jurnalis Christian Guidice, Hands of Stone: The Life and Legend of Roberto Durán.
“Roberto Durán memiliki kombinasi antara heroisme dan cela dalam kehidupannya, di mana justru itu yang membuat saya jatuh hati pada kisahnya. Hubungannya dengan pelatih Yahudi dan perseteruannya dengan Leonard adalah salah satu sejarah olahraga yang paling menarik. Kisah Durán unik karena dia adalah pahlawan yang tak membosankan. Dia punya karakter yang menginspirasi. Namanya dikenal dunia namun cerita di balik itulah yang tak banyak diketahui,” terang Jakubowicz kepada Remezcla, 15 Juni 2016.
Baca juga: Ronde Terakhir Roger Mayweather
Oleh karenanya, pendalaman karakter Durán dijalani sang aktor Edgár Ramírez dengan tak main-main. Ramírez melakukan transformasi fisik selama lima bulan jelang produksi, berlatih langsung di Panama, hingga bertemu anak-anak Durán demi mendapatkan gambaran lebih utuh akan kehidupan nyata petinju legendaris itu.
“Petinju Panama punya gaya unik, pergerakannya sangat musikal, hampir seperti berdansa salsa. Selain ditemani pelatih merangkap terapis fisik, awalnya saya juga dilatih anak-anak Durán. Untuk memahami kehidupannya, saya harus berlatih di permukiman kumuh. Di mana saya melihat tinju adalah olahraga orang miskin. Mereka mencari nafkah dengan tangan kosong. Anda bertarung untuk makan dan itu kondisi yang sebenarnya alih-alih hanya kiasan,” ungkap Ramirez dalam wawancaranya dengan Esquire, 5 Agustus 2016.
Meski didukung dengan kisah kehidupan Durán dengan premis-premis yang menarik itu, ditambah akting solid aktor-aktor papan atas, Hands of Stone menuai banyak kritik miring usai dirilis 26 Agustus 2016. Dramatisasi yang diracik Jakubowicz dianggap justru membuat filmnya tak fokus.
Jakubowicz memang banyak menambahkan percabangan cerita hingga “tumplek-blek” dalam 111 menit durasi film. Adegan konflik antara Amerika Serikat dan Panama yang berujung pada pembunuhan Presiden Omar Torrijos pada 1981, atau kisah tentang Ray Arcel yang acap diancam mafia Italia di New York, misalnya, lebih bagus dijadikan film tersendiri.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Dramatisasi yang dilakukan Jakubowicz juga acapkali tak sesuai dengan fakta kehidupan Durán dan Arcel. Dalam Hands of Stone, Arcel digambarkan pertamakali comeback setelah 16 tahun pensiun dari dunia tinju akibat dibujuk Eleta untuk melatih Durán, pasca-pertarungan Durán vs Huerta pada 13 September 1971. Momen itu juga digambarkan jadi pertemuan awal Arcel dan Durán.
Padahal, faktanya bukan seperti itu. Menurut Donald Dewey dalam Ray Arcel: A Boxing Biography, Arcel terlebih dulu melatih Alfonso Frazer baru melatih Durán. Frazer merupakan petinju kelas welter ringan asal Panama yang dimanajeri Eleta. Eleta berhasil membujuk Arcel untuk comeback dan melatih Frazer dua pekan sebelum Frazer naik ring menghadapi Nicolino Locche untuk memperebutkan gelar dunia versi WBA.
Dua pekan kemudian barulah Eleta membujuk Arcel untuk mau bertemu dan melatih Durán. Kala itu, Durán tengah menyiapkan diri untuk pertarungan pertamanya di kelas ringan memperebutkan gelar dunia (WBA) kontra Ken Buchanan, 26 Juni 1972. Nama Durán juga sudah didengar Arcel dari Eleta ketika masih melatih Frazer di Panama City.
Saat bersedia melatih Durán, Arcel tetap minta Plomo jadi asistennya atau lebih tepat jadi penerjemahnya. Pasalnya, Arcel tak bisa bahasa Spanyol dan Durán tak bisa berbahasa Inggris. Sebagaimana diungkapkan Ronald K. Fried dalam Corner Men: Great Boxing Trainers, Arcel merasa harus sering bicara dari hati ke hati dengan Durán. Dengan begitu, diharapkan Durán bisa lebih disiplin, di mana itu jadi titik kelemahannya.
“Durán tak harus diajari bertinju oleh siapapun. Hari pertama saya melihatnya berlatih di Panama saat sedang melatih Frazer, saya bilang ke semua orang: ‘Jangan ubah gaya bertarungnya. Biarkan saja dia bertarung dengan gayanya.’ Masalahnya ada pada komitmen. Dia harus bertarung tiga menit setiap ronde untuk merebut gelar juara dan komitmen bergantung pada kedisiplinan,” cetus Arcel dikutip Fried.
Baca juga: Menanti Reuni Tyson vs Holyfield
Dramatisasi lain yang tak sesuai fakta sejarah terjadi dalam adegan break pertarungan. Di sudut ring, Arcel acap menyisir rambut Durán sebelum mulai bertarung lagi. Itu dilakukannya sebagai strategi perang urat syaraf. Jika Durán bertarung lagi dengan penampilan tetap klimis, bakal turut menjatuhkan mental lawan.
Hal itu tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata Arcel dan Duran. Yang paling mendekati dengan dramatisasi itu, lanjut Dewey, adalah kebiasaan Arcel yang kerap menyeka keringat dari wajah Durán. Tidak lebih.
Baca juga: Persahabatan Petinju Jerman dan Afro Amerika
Dramatisasi terakhir yang dipilih sutradara yang merangkap penulis skenario itu seolah mempertahankan enigma tentang benar-tidaknya “No Mas” (Inggris: No More) dikatakan Durán kepada Leonard dalam rematch, 25 November 1985. Padahal menurut biografi yang ditulis Guidice maupun biografi Arcel karya Fried, yang sama-sama memverifikasi pernyataan Durán lewat wawancara dengan Eleta, kisahnya bukan begitu. Durán mulanya mengeluh nyeri pada perutnya, namun keluhan itu justru jadi bahan ejekan Leonard untuk Durán di atas ring.
“Dari keterangan manajer Carlos Eleta, Durán (faktanya) mengatakan: ‘Saya tidak mau melawan badut ini lagi.’ Akan tetapi Howard Cosell yang menyiarkan pertarungan itu, hanya menggaungkan perkataan ‘No Mas’ (tidak mau lagi, red.) yang kemudian jadi tajuk berita utama di mana-mana dan sampai saat ini lestari dalam sejarah olahraga,” tulis Guidice.
Data Film:
Judul: Hands of Stone | Sutradara: Jonathan Jakubowicz | Produser: Jay Weisleder, Carlos Garcia de Paredez, Claudine dan Jonathan Jakubowicz | Pemain: Édgar Ramírez, Robert De Niro, Ana de Armas, Usher Raymond, Oscar Jaenada, Ellen Barkin, Rubén Blades, Pedro Pérez | Produksi: Fuego Films, Vertical Media, Panama Film Commission, Epicentral Studios | Distributor: The Weinstein Company | Genre: Biopik Olahraga | Durasi: 111 menit | Rilis: 26 Agustus 2016, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar