Pencarian Islam Muhammad Ali
Berbeda keyakinan dengan ibunya, petinju legendaris Muhammad Ali masuk Islam. Pencarian hidayahnya terus berlanjut hingga senjakala usianya.
RUANG rawat nomor 263 di Scottsdale Osborn Medical Center, Arizona, Amerika Serikat (AS) pada pukul 20.30 tanggal 3 Juni 2016 sudah ramai dengan keluarga Muhammad Ali. Anak-anak dan istrinya mulai mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk ajal menjemput.
“Ali dirawat karena infeksi pernapasan. Sebelumnya ia juga sempat dirawat karena infeksi tapi berhasil sembuh lagi. Tetapi kali ini, setelah beberapa hari perawatan, kondisinya melemah. Keluarganya sudah menemaninya saat ventilator yang menyambung hidupnya dilepaskan. Ali kesulitan bernafas,” tulis jurnalis Jonathan Eig dalam Ali: A Life.
Di momen sakaratul maut itulah Zaid Shakir, seorang imam dari Zaytuna College, Berkeley, California, merapat ke Ali yang tergolek di tempat tidur. Setelah mengecek denyut nadi yang melemah di leher Ali, Imam Shakir mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Ali.
“Seperti halnya saat bayi lahir, ia mengucapkan kalimat (syahadat): ‘Tiada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad adalah utusan Allah.’ Ia merapalkannya dengan merdu. Salah satu cucu Ali memberikan tasbih. Shakir mengenggamkan tasbih itu ke tangan Ali dan mengatakan: ‘Muhammad Ali, inilah saatnya. Tiada Tuhan selain Allah; ucapkan, ulangi, Anda menginspirasi banyak umat, surga menantimu,’” sambungnya.
Baca juga: Ronde Terakhir Roger Mayweather
Setelah beberapa kali Imam Shakir mengulangi dua kalimat Syahadat, Ali menghembuskan nafas terakhir. Tepat pukul 21.10 malam pada 3 Juni 2016, Ali dinyatakan meninggal di usia 74 tahun karena syok septik.
Sesuai wasiat almarhum, jenazah Ali diterbangkan ke kampung halamannya, Louisville, Kentucky. Prosesi memandikan jenazah dan sholat mayatnya dihelat sepekan kemudian, 9 Juni 2016 di Freedom Hall, Kompleks Kentucky Exposition Center, Louisville.
Imam Shakir memimpin prosesinya di Freedom Hall. Dengan penjagaan ketat Kepolisian Louisville, ribuan pelayat dengan tertib memandangi jenazah Ali yang sudah ditempatkan di peti mati berkalang kain hitam bertuliskan ayat-ayat suci Alquran berwarna emas.
“Tempat itu merupakan tempat di mana pertamakali Ali melakoni debut pertarungan profesionalnya pada 29 Oktober 1960. Ketika itu Ali melawan Tunney Hunsaker (menang angka),” lanjut Eig.
Baca juga: Sudut Ring Leon Spinks
Ribuan pelayat itu mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dari Shaykh Hamza Yusuf. Mereka juga tertib dan khusyuk saat mendirikan salat jenazah diimami Shakir.
Pemakamannya sendiri baru dilanjutkan keesokan harinya, 10 Juni 2016, di KFC Yum! Center. Setelah diberikan penghormatan dari beberapa kerabat dan tokoh terdekat almarhum, jenazahnya dibawa menuju tempat peristirahatan terakhir di Cave Hill Cemetery.
Untuk penghormatan terakhir, beberapa tokoh dipilih sebagai pengusung jenazah ke kuburan. Selain mantan petinju seperti George Chuvalo, Larry Holmes, George Foreman, Lennox Lewis, dan Mike Tyson, aktor Will Smith yang memerankan Ali dalam biopik Ali (2001) juga diberi kehormatan mengantar sang legendaris ke liang lahat.
Baca juga: Ada Trump di Sudut Ring Mike Tyson
Tak hanya Amerika dan dunia tinju, dunia Islam juga berduka. Catatan Muhammad Ali Center, upacara pemakaman Ali disaksikan sekitar 1 miliar orang lewat layar kaca yang ditayangkan stasiun televisi ESPN, ABC, BBC, CNN, CBS, dan Fox.
Sejumlah olahragawan turut menyampaikan duka citanya. Di antaranya Michael Jordan, Steph Curry, dan LeBron James dari arena basketl dan Tiger Woods dari dunia golf.
Para politisi Paman Sam tak ketinggalan. Tokoh-tokoh macam Bill dan Hillary Clinton, Donald Trump, Presiden Barack Obama, serta Perdana Menteri Inggris David Cameron turut menyatakan kedukaannya.
Kecintaan pada Muhammad Ali begitu mendunia, dan terutama AS, negeri tempatnya dilahirkan. Ironisnya, sejak kecil Ali didera diskriminasi rasial dan diskriminasi agama ketika muda. Ditambah kontroversi yang mengiringi prestasinya di dunia tinju acap membuatnya jadi sasaran tembak caci-maki.
“Ali bukan hanya petarung di ring tetapi ia juga sosok yang memperjuangkan kebenaran. Orang yang bertarung untuk kita. Ia berdiri sejajar dengan (Martin Luther, red.) King dan (Nelson) Mandela. Pertarungannya di luar ring mempertaruhkan gelar dan reputasinya. Mendatangkan musuh dari kanan-kiri, membuatnya dicerca dan nyaris memenjarakannya. Tetapi Ali bertahan. Dan kemenangannya membuat kita bisa terbiasa dengan Amerika seperti yang kita kenal sekarang. Muhammad Ali mengguncang dunia. Dan dunia menjadi lebih baik karenanya,” ungkap Presiden Obama dalam pernyataan resmi Gedung Putih.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Menemukan Nabi Kulit Hitam
Muhammad Ali lahir pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky dengan nama Cassius Marcellus Clay Jr. Ia satu dari enam anak pasangan Cassius Marcellus Clay Sr. dan Odessa O’Grady Clay. Cassius Sr. merupakan juru gambar papan iklan dan Odessa seorang asisten rumah tangga (ART).
Lantaran ayahnya tukang mabuk dan gemar main serong, Cassius dan saudara-saudaranya mendapat pendidikan agama Protestan dari ibunya.
“Mereka anak-anak gereja karena istri saya yang membawa mereka di gereja setiap (hari) Minggu,” kenang sang ayah, dikutip majalah Emel edisi ke-17, Februari 2006.
Baca juga: Tinju Kiri Muhammad Ali di Jakarta
Namun Cassius bukan seorang Protestan taat. Ia justru meragukan banyak ajaran Yesus Kristus.
“Ibu saya seorang Baptis. Ia percaya Yesus adalah anak Tuhan dan saya tidak percaya itu. Saya merasa Tuhan tak punya anak. Tuhan tidak beranak-pinak. Manusialah yang beranak-pinak. Rasanya keliru mendengar seorang perempuan berkata: ‘saya mengandung anak Tuhan.’ Itu tidak masuk akal. Sampai ia meninggal, keyakinan kami berbeda tapi saya percaya ia pergi ke surga. Jika Anda Muslim yang baik, Kristen yang baik, Yahudi yang baik, tak peduli apa agamanya, jika Anda orang baik, Anda akan menerima berkat dari Tuhan,” kata Cassius alias Ali dikutip Thomas Hauser dalam Muhammad Ali: His Life and Times.
Seiring meretas karier tinju yang dikenalnya sejak berusia 12 tahun, Cassius belia mulai mencari “hidayah” selain agama yang turun-temurun dipeluk keluaganya. Sedikit demi sedikit kemudian ia mengenal Islam di Chicago pada usia 16 tahun.
“Mulai tahun 1958 (Cassius) Clay bisa tiga kali bolak-balik dalam tiga tahun. Kota di mana kaum kulit hitam bisa lebih terbuka mengekspresikan opini mereka. Di kota ini juga Cassius Clay bertemu seseorang yang mengubah hidupnya,” sambung Eig.
Baca juga: Buka Puasa di Gedung Putih
Sang pengubah hidup Ali itu ialah Elijah Muhammad. Elijah bukan hanya pengasuh tapi juga sudah dianggap “Nabi” orang kulit hitam. Islam yang diajarkan Elijah bukanlah Islam Sunni apalagi Syiah. Elijah berdakwah dan mengajarkan Islam “aliran” yang didirikan sosok yang dianggap “Imam Mahdi”, Wallace Fard Muhammad, bernama Nation of Islam (NOI).
Cassius kepincut pada NOI karena jamak mengangkat isu kekerasan atas nama diskriminasi rasial. Titik balik terjadi ketika Cassius melihat suratkabar yang jadi corong NOI, Muhammad Speaks, menampilkan kartun-kartun rasisme kulit putih yang menindas kulit hitam dan artikel-artikel mengenai pembunuhan Emmett Till pada 1955.
“Tidak ada yang mengguncangkan jiwa saya lebih dari kisah Emmett Till,” ungkap Cassius, dikutip Elliott Gorn dalam Muhammad Ali: The People’s Champ.
Meski penasaran, Cassius tak serta-merta diterima Elijah masuk NOI. Beruntung, ia bisa sedikit mempelajari NOI dari aktivis Malcolm X pada 1962. Baru setelah Ali merampungkan laga kontra Sonny Liston pada 1964, NOI menerima Cassius jadi pengikutnya.
Ayah Cassius marah karena Cassius mengajak serta adiknya, Rudolph Valentino Clay, masuk Islam. Sang ayah yang murka, menuduh NOI telah mencuci otak kedua putranya.
“Mereka (Black Muslims/NOI) telah mencuci otak kedua anak saya. Anak saya dibuat bingung hingga ia tak tahu di mana ia berada. Mereka telah merusak kedua anak saya. Mestinya Black Muslims beraktivitas di luar negara saja agar tak merusak anak-anak baik seperti anak-anak saya. Para muslim itu mengatakan kepada anak saya untuk membenci kulit putih, untuk membenci para ibu mereka. Para muslim itu mengatakan saya orang jahat karena saya percaya pada Tuhan. Yang mereka inginkan hanyalah uang,” kata Cassius Clay Sr. kepada harian The Pittsburgh Press, 7 Februari 1964.
Cassius tak peduli. Ia malah nyaman mempelajari keyakinan barunya. Keyakinan itu baginya “benar” untuk menghadapi situasi sosial, terutama bagi kaum kulit hitam, yang senantiasa jadi “keset” bagi orang kulit putih.
Kendati demikian, NOI begitu berbeda dari Islam ajaran Nabi Muhammad SAW. NOI memang percaya Allah sebagai Tuhan-nya. Tetapi NOI mempercayai ada nabi atau rasul lain setelah Nabi Muhammad SAW. Ritual-ritual sholatnya pun “serupa tapi tak sama”.
Mengutip Edward Curtis IV dalam “Islamizing the Black Body: Ritual and Power in Elijah Muhammad’s Nation of Islam” yang termaktub dalam buku Religion and American Culture: A Journal of Interpretation, Elijah Muhammad memberi pencerahan pada para pengikutnya untuk shalat lima waktu menghadap kiblat ke Makkah dalam bahasa Inggris. Hari besarnya selain Idul Fitri bukanlah Maulid Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiul Awal (kalender Hijriah), melainkan 26 Februari (kalender Masehi) sebagai “Saviour’s Day” yang memperingati hari lahir Fard Muhammad.
Dalam dakwah, setiap penceramah diperbolehkan mengutip ayat Alquran maupun Alkitab. Ajarannya menyatakan Allah atau Tuhan bersemayam di setiap diri manusia. Termasuk Fard Muhammad yang oleh karenanya dianggap Imam Mahdi juga Tuhan oleh Elijah. Lanjutannya, kalimat syahadat NOI, termasuk yang dibaca Cassius, bukanlah dua kalimat syahadat sebagaimana Islam ortodoks.
“Tuhan bagi Elijah Muhammad adalah Fard Muhammad. Ketika umat Elijah Muhammad berikrar di kalimat pertama syahadat, ‘tiada Tuhan selain Allah,’ mereka juga menyatakan di kalimat kedua syahadat bahwa Elijah Muhammad sebagai ‘rasul penutup,’” ungkap Curtis James Tilleraas dalam This Side of Paradise.
Baca juga: Durán dan Leonard, dari Lawan jadi Kawan
Cassius kemudian mengganti namanya jadi Muhammad Ali. Dengan dalih agama pula ia lantas menolak wajib militer Perang Vietnam.
“Saya tak memilihnya (nama Cassius). Itu nama orang kulit putih. Saya Muhammad Ali, sebuah nama dari orang bebas. Perang dilarang dalam ajaran Alquran. Saya bukan ingin mengelak dari wajib militer. Kami tidak seharusnya ambil bagian dari perang kecuali melalui firman Allah atau rasul kami (Elijah Muhammad). Kami tidak ikut campur dalam perang orang Kristen atau perang orang beragama lain,” kata Ali.
Pencerahan Usai Berhaji
Selain mempercayai Alquran dan Alkitab, shalat dengan bahasa Inggris, dan syahadat yang berbeda, semua ajaran NOI sama dengan rukun Islam ortodoks. Termasuk pergi haji. Ali, sebagaimana “nabinya”, Elijah Muhammad, dan mentornya, Malcolm X, menunaikan ibadah haji pada 3 Januari 1972.
“Pergi haji pada 1972 menginspirasi Ali, seperti halnya Malcolm X. Bertemu orang-orang yang berbeda warna kulit dari seluruh dunia, memberinya perspektif yang berbeda dan menghadirkan kesadaran spiritual yang lebih luas,” lanjut majalah Emel.
Baca juga: Ring Kehidupan Max Schmeling
Ali baru meninggalkan ajaran-ajaran NOI tiga tahun pasca-berhaji. Selain karena kematian Malcolm X pada 1965, ajaran NOI tiada yang meneruskan sepeninggal Elijah pada 1975.
Putra sang “nabi”, Wallace D. Muhammad, yang berganti nama jadi Warith Din Muhammad, memilih kembali ke ajaran Islam ortodoks. Ali mengikutinya meski belum benar-benar mendalami Islam saat masih berkarier di tinju profesional.
“Wallace belajar dari studi-studi yang tidak dipelajari ayahnya dan Wallace mengajarkan kami makna sejati Alquran. Ia menunjukkan tidak ada perbedaan melalui warna kulit, tanggungjawab terhadap kehidupan pribadi, dan tidaklah baik mengkambinghitamkan masalah kita kepada orang lain. Banyak para ulama (NOI) yang tak menyukainya dan masih percaya Elijah adalah nabi. Tetapi saya mengubah apa yang saya yakini dan saya meyakini Islam yang sejati,” tandas Ali dikutip Hauser.
Baca juga: Persahabatan Petinju Jerman dan Afro Amerika
Tambahkan komentar
Belum ada komentar