RATUSAN ribu orang menyesaki jalan-jalan utama di Hong Kong. Negeri kepulauan dengan status otonomi khusus di bawah Republik Rakyat China (RRC) itu tengah bergejolak. Massa menggugat upaya “komunisasi” oleh pemerintah daratan sejak Minggu (9/6/2019). Menurut sumber Kepolisian Hong Kong yang dikutip Reuters, Selasa (9/6/2019), massa yang terkonsentrasi sudah berjumlah sekira 240 ribu orang. Massa menetang kembalinya cengkeraman China atas negeri mereka.
Namun, aksi unjuk rasa damai itu berubah ricuh pada Selasa (12/6/2019). Bentrokan pecah. Polisi terpaksa melontarkan gas air mata, water cannon, dan bahkan tembakan peluru karet sebagaimana kerusuhan demonstrasi pada 2014.
Aksi itu dipicu oleh berlangsungnya sidang Dewan Legislatif Hong Kong untuk mengesahkan Undang-Undang Ekstradisi. UU tersebut dianggap sebagai penggembosan demokrasi di Hong Kong. Jika disahkan, pemerintah RRC bisa leluasa menangkapi para tersangka kasus pidana maupun politik yang melarikan diri ke Hong Kong untuk dibawa kembali ke daratan utama guna disidangkan dengan sistem hukum RRC.
“Warga Hong Kong tidak percaya pada pemerintah China,” kata Long Chen, salah satu pengunjuk rasa, dilansir CNN World, Selasa (12/6/2019).
Long Chen merupakan pekerja maintenance lepas dan terpaksa tak masuk kerja demi “menyelamatkan” masa depan negerinya. Ia hanya satu dari sekian warga Hong Kong dari beragam latarbelakang yang menggugat kembalinya sistem komunis China menjamah Hong Kong.
“Kami merasa tak punya pemimpin saat ini. Ini (aksi protes) adalah harapan terakhir kami. UU ini berbahaya. Kami tak mau melihat China melenyapkan kebebasan kami,” kata Sean, mahasiswa yang turut turun ke jalan.
Milik China, Inggris dan Kembali ke China
Negeri di Semenanjung Kowloon dengan sekira 263 pulau ini sebelum jadi koloni Inggris merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan dan pelayaran milik Dinasti Qing. Tetapi gara-gara kalah dari Inggris di Perang Opium I (1839-1842), Hong Kong diserahkan ke Inggris.
Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina
Sedianya penyerahan Hong Kong sudah dilakoni menjelang kekalahan Dinasti Qing lewat Konvensi Chuenpi, 20 Januari 1841. Dalam dokumen The Chinese Repository Volume 10, konvensi itu dihelat antara dua utusan: Sir Charles Elliot dan Qishan (Jing’an). Isinya adalah: penyerahan kepulauan dan pelabuhan Hong Kong kepada Inggris, ganti rugi perang enam juta dolar oleh China kepada Inggris yang dicicil sampai 1846, pembukaan hubungan resmi dua negara, dan dibukanya pelabuhan Canton dalam 10 hari setelah Hari Raya Imlek.
Meski diuntungkan, Inggris belum puas. Menteri Luar Negeri Inggris Lord Palmerston mengganti Elliot dengan Jenderal Henry Pottinger. Kesepakatan dalam konvensi itupun gugur dan perang berlanjut hingga ditandatanganinya Perjanjian Nanking, 29 Agustus 1842.
Selain menuntut perdagangan bebas dan ganti rugi perang, Inggris menuntut penyerahan Hong Kong dari Kaisar Daoguang dalam isi perjanjiannya. “Segera setelah perjanjian itu ditandatangani, bendera kuning China (Dinasti Qing) dan bendera Union Jack (Inggris) dikibarkan bersama,” ungkap Sir Harry Parkes, salah satu diplomat yang menyaksikan, dikutip Stanley Lane-Poole dalam The Life of Sir Harry Parkes.
Perjanjian itu lantas diratifikasi Kaisar Daoguang pada 27 Oktober dan Ratu Victoria pada 28 Desember di tahun yang sama. Isi perjanjiannya baru berlaku efektif pada 26 Juni 1843, ketika Hong Kong resmi berada di bawah ketiak Kekaisaran Inggris.
Baca juga: Kekejaman Inggris di Jawa
Cengkeraman Inggris kian meluas setelah Konvensi Peking (Beijing), 18 Oktober 1860. Semenanjung Kowloon disewakan China kepada Inggris. Lewat Konvensi Ekstensi Wilayah Hong Kong (1898), di mana statusnya Inggris menyewa pada China selama 99 tahun, semenanjung ini lantas dijadikan wilayah perluasan Hong Kong.
Di bawah kolonialisme Inggris, Hong Kong berkembang pesat, mengingat punya pelabuhan yang strategis. Tidak sedikit tokoh pergerakan yang memilihnya sebagai “suaka”. Tan Malaka, salah satunya, yang berkelana ke banyak negeri pasca-diusir pemerintah kolonial dari Hindia Belanda pada 1922. Tan singgah ke Kowloon, seberang pelabuhan Hong Kong, sejak pindah dari Shanghai dengan nama samaran Ong Soong Lee.
“Kotanya dikelilingi perairan dan satu-satunya penghubung dengan Canton adalah jalur kereta api yang tentunya banyak diawasi polisi,” sebut Tan dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara, jilid 2. Tan Malaka memang jadi target operasi polisi penyelidik Inggris setelah bersua salah satu koleganya, Dawood.
Tan pun diciduk kemudian dan diiterogasi polisi penyelidik Inggris dari Singapura berdarah India, Pritvy Chan. Tan dikira buron Filipina yang tengah dicari-cari oleh sang polisi. Tan kemudian ditransfer ke Markas Besar Kepolisian Hong Kong untuk interogasi lanjutan dengan Kepala Inspektur Murphy.
Singkat cerita, Tan dalam tahanan Inggris di Hong Kong pernah diminta pemerintah Hindia Belanda untuk diekstradisi. Beruntung, otoritas Inggris di Hong Kong menolak lantaran kebijakan kolonialis Inggris melindungi para pelarian politik, meski kemudian Tan Malaka dideportasi.
Baca juga: Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi
Seiring waktu, Hong Kong sempat lepas dari tangan Inggris gegara invasi Jepang, yang dimulai di pagi yang sama saat Jepang menyerang Pearl Harbor, 8 Desember 1941. Hong Kong lantas dibanjiri pengungsi dari kalangan terpelajar yang tak ingin jadi korban Perang Sipil China, usai Perang Pasifik. Banyaknya kaum terpelajar membuat industrialisasi Hong Kong bergulir pada 1950-an. Perlahan, Hong Kong jadi macan ekonomi.
Status Hong Kong mulai jadi pembahasan lagi sejak 1979. Muara dari pembahasan itu adalah ditandatanganinya Deklarasi Bersama China-Inggris pada 19 Desember 1984.
RRC menuntut Inggris mematuhi perjanjian konvensi tahun 1898. Inggris menyanggupi. Pada 1 Juli 1997, Hong Kong terlepas dari 156 tahun cengkeraman kolonialisme Inggris dan diserahkan ke RRC dengan catatan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem”.
Hong Kong diizinkan menjalankan pemerintahan sendiri selama 50 tahun. Itu artinya, baru pada 2047 Hong Kong bisa benar-benar 100 persen di bawah sistem politik dan hukum RRC.
Namun, Beijing tampaknya tak ingin menunggu sebegitu lama. Beberapa isu sudah lama ditebar ke dewan rakyat Hong Kong. Hal itu memicu protes dari rakyat Hong Kong. Pada 2012, gejolak muncul untuk memprotes rencana masuknya materi kurikulum pro RRC ke sekolah-sekolah di Hong Kong. Dua tahun berselang, demo besar-besaran terjadi untuk menentang regulasi pemilu di Hong Kong, terkait keterlibatan Beijing dalam pemilihan kepala eksekutif daerah otonomi Hong Kong.
“Hong Kong hanya akan jadi kota China lainnya yang dikuasai Partai Komunis,” kata aktivis pro-demokrasi cum bos perusahaan media Next Digital Jimmy Lai dalam tulisannya di Nikei Asian Review.
Isu UU Ekstradisi yang meletupkan gejolak saat ini makin menegaskan campur-tangan RRC. Tanpa UU Ekstradisi saja, kata massa, sudah terjadi beberapa penculikan oleh otoritas China terhadap sejumlah tersangka yang mengungsi ke Hong Kong. Konglomerat Xiao Jianhua, salah satunya. Dia diculik di Hotel Four Seasons pada Januari 2017.
Sang pebisnis itu sudah dibawa ke tahanan di daratan China dan nasibnya belum jelas. “Jika undang-undang ini disahkan, di mana mungkin sebentar lagi, sama saja seperti gong kematian bagi Hong Kong yang dunia ketahui sekarang (bebas dan berdemokrasi),” tandas aktivis politik Ray Wong Toi-yeung, disitat Vox, 11 Juni 2019.