Yuri Vasilievich Babansky (terakhir berpangkat letnan jenderal) kesal generasi muda Russia banyak yang tak paham sejarah negerinya. Terlebih, pada Perang Perbatasan pada 1969 yang dirinya ikuti. Konflik singkat namun berdarah itu lama dipendam sehingga kini nyaris terlupakan.
“Sayang sekali untuk disadari, tetapi orang-orang muda, yang sudah berusia lebih dari 20 tahun, tidak mengetahuinya, seperti yang Anda lihat, tidak ada apa-apa. Seringkali, Anda dapat mendengar yang berikut: ‘Kami melupakan Perang Patriotik Hebat, kami hampir tidak ingat perang dengan Prancis pada tahun 1812, kami tidak mengingat Perang Saudara sama sekali.’ Dua komponen mendidih dalam diriku sekarang. Dengan perasaan emosional saya untuk Damansky, saya lebih suka bahwa Rusia berdiri tegak dan tidak memberikan pulau ini, dan, saya pikir, tidak ada yang akan menjadi lebih buruk dari ini. Dan dari posisi sadar, saya menemukan Cina sebuah negara yang masih mampu merebut sebidang tanahnya sendiri,” ujarnya sebagaimana dikutip Ratibor Khmelev dalam artikelnya di en.topwar.ru edisi 9 April 2021, “Yuri Babansky Will Not Forget Damansky”.
Perang Perbatasan antara Soviet dan Republik Rakyat China (RRC), yang tak dideklarasikan, terjadi pada Maret 1969. Perang tersebut memperebutkan pulau kecil Zhenbao atau Damansky dalam perspektif Russia di Sungai Ussuri, sungai yang menjadi batas wilayah RRC dan Soviet.
Hingga tahun 1858, Sungai Ussuri merupakan jalur air internal Tiongkok. Kepemilikan itu diperkuat dengan perjanjian Nerchinsk yang ditandatangani ke-Tsar-an Russia dan Kekaisaran Dinasti Qing pada 1689, yang menyatakan perbatasan kedua negeri berada di Xing’an Luar/Stanovoy yang terletak di utara Amur (sungai yang tegak lurus dengan Ussuri). Setelah Perjanjian Aigun (1858) dan Perjanjian Peking (1860) ditandatangani barulah kepemilikan wilayah timur Ussuri beralih ke Russia. Namun, status kepemilikan itu terus bertahan bahkan hingga kedua negara telah menjadi republik komunis. Solidaritas sesama negeri komunis membuat pemimpin RRC Mao Zedong tak mempermasalahkannya.
Baca juga: Bantuan Alutsista dari Uni Soviet
Upaya mempertanyakan perjanjian tersebut baru mengemuka setelah RRC dan Soviet mulai tidak akur pada akhir 1950-an. Pangkal ketidakakuran tersebut berada pada perbedaan doktrin sebagai hasil interpretasi –yang dilanjutkan dengan praksis– terhadap Marxisme-Leninisme. Kebijakan “Peaceful Coexistence” Soviet, yang mengupayakan perdamaian dengan Blok Barat, dikecam pemimpin RRC Mao Zedong sebagai revisionisme.
Tensi hubungan dua raksasa komunis itu meningkat pesat dan akhirnya pecah pada awal 1960-an. Pada 1961 RRC menolak komunisme ala Soviet yang dianggapnya sebagai karya “pengkhianat revisionis.” Hubungan kedua negara pun diwarnai dengan saling lempar kritik. Setelah RRC mengkritik lemahnya respon Soviet terhadap blokade AS dalam Krisis Rudal Kuba (1962), pemimpin Soviet Nikita Khrushchev membalasnya dengan mengejek RRC karena menggertak India dalam sengketa perbatasan RRC-India di wilayah Himalaya (Oktober-November 1962). Pada Juli 1964, RRC membalas lagi dengan menyuarakan dukungannya terhadap Jepang dalam sengketa empat pulau di Kepulauan Kuril antara Soviet-Jepang.
RRC kemudian meninjau ulang perbatasannya dengan Soviet, di mana Sungai Ussuri berikut ratusan pulau kecil di dalamnya, termasuk Zhenbao/Damansky, berada. Menurut RRC, Perjanjian Aigun (1858) dan Perjanjian Peking (1860) yang ditandatangani semasa tsar Russia adalah perjanjian tidak setara. Upaya dialog sempat diadakan pada 1964, namun tak menghasilkan apa-apa. Sementara, hubungan buruk kedua negara tetap berlanjut, terlebih ketika pada paruh kedua 1960-an Sekretaris Pertama Soviet Leonid Brezhnev mengambil kebijakan luar negeri lebih keras. Pada musim semi 1969, RRC menolak klaim Soviet sebagai pemimpin gerakan Komunis dunia.
Baca juga: Patriotisme China dan Vas Porselen
Konflik politik tersebut berlanjut dengan perhatian masing-masing terhadap perbatasan bersama. Sementara Soviet menambah kekuatan pasukan perbatasannya dari satu divisi pada 1961 menjadi 22 divisi pada 1969, RRC mengalihkan fokus utama militernya dari perbatasannya di pantai tenggara ke daratan di utara.
Di lapangan, konflik politik itu mengubah para pasukan penjaga perbatasan kedua negara dari yang saling tukar hadiah menjadi saling curiga dan waspada. Bentrok antara nelayan kedua negara dengan pasukan penjaga perbatasan negeri tetangganya juga acap terjadi. Konflik fisik antara kedua pasukan penjaga perbatasan yang dimulai pada Januari 1967 kian hari kian bertambah kendati tidak satu pun peluru dimuntahkan militer masing-masing negara. Perintah yang mereka terima dari komando tertinggi masing-masing jelas: dilarang memulai tembakan pertama.
“Saat itu, episode seperti itu biasa terjadi: penjaga perbatasan Soviet atau Cina akan berpatroli di salah satu dari banyak pulau yang disengketakan, dan penjaga dari negara lain akan menemui mereka di pulau itu, mengklaim bahwa mereka melanggar wilayah kedaulatan mereka, dan menuntut mereka pergi. Sampai saat ini, konfrontasi biasanya hanya melibatkan sedikit lebih dari teriakan, perkelahian, dan penggunaan pentungan, tongkat, dan sesekali selang kebakaran,” tulis Michael S. Gerson dalam The Sino-Soviet Border Conflict: Deterrence, Escalation, and the Threat of Nuclear War in 1969.
Namun, bentrokan antara nelayan-nelayan Tiongkok dengan pasukan penjaga perbatasan Soviet pada awal 1968 mengubah pola konflik yang ada. Empat warga sipil RRC yang merupakan nelayan di Ussuri tewas oleh peluru penjaga perbatasan Soviet yang panik. Beijing segera memerintahkan militer distrik setempat melakukan pembalasan setimpal. Perintah itu lalu dijabarkan komandan regional dengan membentuk unit komando dari personel elite unit-unit garnisun Shenyang guna menyergap patroli perbatasan Soviet. Pada 25 Januari 1969, proposal diajukan petinggi Distrik Militer Provinsi Heilongjiang dan disetujui Staf Umum Tentara Pembebasan Rakyat dan kemudian pemimpin politik tertinggi.
“Pada 19 Februari 1969, sebuah rencana yang diprakarsai otoritas militer Heilongjiang untuk menempatkan tiga batalyon infanteri di Damansky/Zhenbao guna pertahanan melawan ‘revisionisme’ telah disetujui Staf Umum PLA, dan mungkin mengingat kemungkinan dampak internasional, Kementerian Luar Negeri RRT. Pada saat itu, perasaan permusuhan di antara elit dan massa di kedua negara terhadap satu sama lain telah dihasut sedemikian rupa sehingga peluang untuk menyelesaikan masalah perbatasan sama sekali tidak ada,” tulis Chien-peng Chung dalam Domestic Politics, International Bargaining and China’s Territorial Disputes.
Baca juga: Menyabung Nyawa di Udara China
Konflik makin panas. Kewaspadaan RRC makin meningkat menyusul invasi Soviet terhadap sekutu Blok Timurnya, Cekoslowakia, pada Agustus 1968.
“Orang Cina prihatin atas patroli militer Soviet yang semakin intensif di sepanjang perbatasan utara Cina, dan menjadi waspada setelah invasi Chezchoslovakia pada 21 Agustus 1968, dan proklamasi Doktrin Brezhnev berikutnya, yang menyatakan hak Uni Soviet untuk campur tangan dalam negara sosialis guna melestarikan ‘sistem sosial’ mereka. Setelah invasi, Beijing menyatakan dukungan untuk rakyat Cekoslowakia dan mendorong penarikan Albania dari Pakta Warsawa. Karena hubungan Tiongkok-Soviet pada 1969 mencapai titik tidak bisa kembali, Mao mengizinkan demonstrasi perbatasan berlanjut, untuk ‘memberi isyarat’ kepada Uni Soviet bahwa Cina bukanlah Cekoslowakia, dan bahwa Doktrin Brezhnev tidak dapat diterapkan pada ‘sistem sosial Mao.’ Dokumen yang tidak diklasifikasikan dari wilayah Khabarovsk Krai di Timur Jauh Rusia menuduh bahwa pada 1969 saja, sekitar 300 insiden serangan lintas batas harian oleh warga China terjadi,” sambung Chien-peng.
Muara dari semua kisruh yang ada itu terjadi pada 2 Maret 1969. Saat itu, lewat dari pukul 10 pagi, Babansky bersama segelintir pasukan perbatasan Soviet yang tak ikut latihan dibuat kaget oleh pemandangan di seberang Sungai Ussuri, di titik perbatasan NIzhne-Mikhailovka. Sekira 30 personel militer RRC terlihat berpakaian kamuflase sedang berbaris melintasi sungai yang sedang membeku menuju Zhenbao. Babansky langsung melaporkannya pada Letnan Senior Ivan Strelnikov selaku komandan pos.
Dipimpin langsung Strelnikov, pasukan Soviet segera menuju lokasi guna memperingatkan pasukan RRC menggunakan sebuah BTR-60 dan dua truk ringan. Strelnikov memerintahkan Babansky menghadapi pasukan RRC yang dipimpin Sun Yuguo (komandan pos perbatasan RRC setempat), sementara dia dan enam personelnya bermanuver menuju sungai guna mengapit.
Sun Yuguo yang ditugaskan untuk memancing pasukan Soviet, tak khawatir sedikit pun didatangi pasukan Babansky. Di tempat yang tak terlihat lawan di dekatnya telah bersiaga kompi komando RRC yang siap menyergap. Wang Guoxiang, salah satu anggota pasukan komando RRC itu, telah berbaring di atas salju sejak malam sebelumnya di titik kurang dari 20 kaki dari Babansky berada. Dia dan kawan-kawannya tinggal menunggu tembakan aba-aba dari Sun.
Begitu tembakan aba-aba berbunyi, pasukan komando RRC langsung memberondong lawannya. Ketika Babansky menoleh ke arah pasukan Strelnikov untuk mencari tahu apa yang terjadi, peluru dari senapan-senapan mesin pasukan RRC telah berhamburan di sekelilingnya. Babansky langsung tiarap sembari melihat pasukan Strelnikov dihabisi komando RRC.
Baca juga: Perang Antara Negeri Kiri
“Cina adalah yang pertama memulai ketika pengangkut personel lapis baja kami ditembak terbakar pada 2 Maret,” kata Babansky sebagaimana dikutip Ratibor Khmelev dalam artikelnya di en.topwar.ru edisi 9 April 2021, “Yuri Babansky Will Not Forget Damansky”.
Babansky yang mengambil alih komando mencoba bertahan dengan pasukan yang tersisa. Permintaan bantuan segera dilayangkan, dan diterima langsung Komandan Detasemen Perbatasan ke-57 Kolonel Demokrat Leonov yang sebetulnya akan melaporkan keberhasilan unitnya menyelesaikan latihan militer.
“Dalam waktu satu jam Kolonel Jenderal Oleg Losik, komandan Distrik Militer Timur Jauh, sedang berbicara di telepon dengan Alexei Kosygin, ketua Dewan Menteri Soviet yang kebingungan. Para pemimpin politik Rusia telah sepenuhnya lengah oleh serangan China. Brezhnev berada di luar negeri, sementara Kremlin disibukkan dengan dampak lanjutan invasi Cekoslowakia tahun sebelumnya serta pertempuan puncak yang akan datang dengan Amerika Serikat,” sejarawan militer Jesse Du dalam “Russia vs. China: How Conflict at the Sino-Soviet Border Nearly Started Nuclear War”, dimuat dalam historynet.com, Juli 2021.
Dua jam bertempur hingga hampir kehabisan amunisi, Babansky akhirnya mendapat perintah mundur dari Kolonel Leonov. Gerak mundurnya dibantu oleh beberapa BTR-60 yang didatangkan dari pos 1 Kulebyakiny Sopki dan dipimpin langsung Letnan Senior Vitaly Bubenin. Bubenin justru harus bertempur lantaran BTR-60-nya dimaksa RPG pasukan RRC. Tapi dengan pertempuran itu, Bubenin justru berhasil menyeberang ke sisi RRC dan merebut pos komando RRC.
Soviet kehilangan lebih dari 30 serdadunya, termasuk Strelnikov, dalam pertempuran tersebut. Sementara, jumlah korban di pihak RRC tidak diketahui pasti. Kendati hari itu juga pertempuran berdarah itu telah selesai, konflik justru kian tajam. Masing-masing pihak memperkuat pasukannya di perbatasan. Losik memperkuat pasukannya dengan menambahkan Divisi Senapan Motor ke-135 ke belakang Ussuri dan mengerahkan tank T-62 serta peluncur roket multi BM-21 Grad kendati masih menunggu persetujuan Moscow. Di Beijing, Chen Xilian, komandan Distrik Militer Shenyang, mengirim tambahan resimen infanteri dan artileri dari Divisi ke-67.
“Cina tampaknya tidak hanya siap secara militer tetapi juga secara politik, dengan cepat meluncurkan gerakan massa pada hari berikutnya yang mencakup lebih dari 400.000 orang. Bahkan lebih banyak orang berpartisipasi dalam protes dan demonstrasi publik selama beberapa hari berikutnya, dan secara keseluruhan sekitar 260 juta orang, atau sepertiga dari populasi RRC, ambil bagian. Namun, demonstrasi dukungan publik ini sama sekali tidak sekeras serangan yang dilakukan terhadap kedutaan besar China di Moskow pada 7 dan 8 Maret oleh ‘gerombolan’ pelempar batu yang berjumlah masing-masing 50.000 dan 100.000, dengan tujuan untuk memecahkan jendela kedutaan dan meneror stafnya,” tulis Chien-peng. (Bersambung)