MATA Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe berkaca-kaca. Selepas merampungkan pidato terakhirnya, Jumat (28/8/2020), ia membungkuk dengan khusyuk ke hadapan kamera di depannya untuk pamit kepada 126 juta rakyatnya. Sebagai PM dengan masa pemerintahan terlama, Abe mundur dengan alasan kesehatan.
“Kesehatan yang buruk tak semestinya memengaruhi keputusan-keputusan politik dan karena saya tak bisa memenuhi ekspektasi rakyat Jepang, saya memutuskan bahwa saya tak bisa terus menjadi perdana menteri dan akan mundur. Selama tujuh tahun saya sudah berusaha yang terbaik, namun saya menderita penyakit dan saya butuh perawatan,” ungkapnya, dikutip The Guardian, Jumat (28/8/2020).
Baca juga: Tetsu Nakamura Sang Samurai Kemanusiaan
Masa pemerintahan Abe sejatinya baru akan kedaluarsa pada 2021. Namun sejak delapan tahun silam Abe mengidap penyakit radang usus besar kronis. Penyakit ini juga sempat jadi penyebab Abe mundur pada 2007. Petinggi Partai LDP (Partai Liberal Demokratik) itu total menakhodai negeri “Matahari Terbit” selama tujuh tahun 247 hari.
Abe pertamakali terpilih jadi PM Jepang pada 2006, PM termuda dalam sejarah Jepang. Sempat mundur, Abe kembali maju ke pemilihan dan menang pada pemilu 2012, 2014, dan 2017. Ia mewariskan “Abenomics”, semacam strategi stimulus perekonomian Jepang, sejak 2012.
Tiga poin terpenting Abenomics adalah pelonggaran moneter besar-besaran, pengeluaran fiskal, dan reformasi struktural. Untuk jangka pendek, Abenomics berhasil mendongkrak perekonomian Jepang dengan hasilnya booming pariwisata hingga tersedianya lapangan kerja. Namun, pandemi corona menggoyahkan Abenomics dan perekonomian Jepang berada di bibir jurang resesi walau secara ekonomi masa pemerintahan Abe bisa dibilang sebagai era yang stabil.
Sejak 2013, PM Abe juga mewariskan Hari Restorasi Kedaulatan pada setiap 28 April sebagai peringatan hari terakhir pendudukan Amerika Serikat atas Jepang (28 April 1952). Namun, kontroversi terkait perkara bersifat historis tak pernah luput dari pemerintahannya. Maklum, sebagai politikus konservatif sayap kanan, Abe juga anggota Nippon Kaigi (Konferensi Jepang), organisasi ultra-konservatif sayap kanan yang sejak berdiri pada 1997 acap menuntut revisi Undang-Undang No.9 tahun 1947 tentang larangan perang sebagai penyelesaian sengketa dengan negara lain.
Undang-undang tersebutlah yang membuat Jepang tak memiliki angkatan bersenjata pasca-Perang Dunia II. Jepang hanya diizinkan memiliki pasukan bela diri yang beroperasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca juga: Tangan Dingin Moon Jae-in
Abe termasuk perdana menteri Jepang yang senantiasa menyanggah keterkaitan negerinya terhadap jugun ianfu (budak seks perempuan) di semua wilayah yang diduduki Jepang semasa perang. Abe juga acap disorot lantaran sering menyambangi Kuil Yasukuni untuk menghormati para prajurit Jepang di masa perang. Dua hal tersebut kerap jadi pemicu ketegangan dengan negara-negara yang jadi korban pendudukan Jepang di masa perang, utamanya RRC dan Korea Selatan.
Semua warisan itu merupakan buah manuver-manuver politik Abe yang diarungi sejak 1982 dan tak lepas dari sokongan keluarga besar yang reputasinya tak sembarangan. Abe yang lahir di Tokyo pada 21 September 1954 dari suami-istri Yoko Kishi dan Shintaro Abe hidup di keluarga yang berada dalam lingkaran politik dan pemerintahan. Silsilah “dinasti politik” itu turun-temurun di pihak ibu dan ayahnya.
Para Pendahulu yang Berpengaruh
Dari pohon keluarga, figur berpengaruh teratas yang teridentifikasi adalah kakek canggah dari garis ayahnya, Shishaku (wakil tinggi kaisar) Ōshima Yoshimasa. Yoshimasa merupakan gubernur jenderal Kwantung pertama (1905-1912) setelah wilayah di Semenanjung Liaodong itu disewa Kekaisaran Jepang dari Dinasti Qing.
Sebagai perwira militer, Jenderal Yoshimasa acap memetik kegemilangan. Perang Boshin (1868-1869) atau perang saudara antara Aliansi Satchō yang pro-Kaisar Meiji dengan Keshogunan Tokugawa, Perang Sino-Jepang I (1894-1895), dan Perang Rusia-Jepang (1904-1905) semua meningkatkan reputasinya.
Baca juga: Konflik Keluarga dalam Perang Dunia
“Di Perang Rusia-Jepang, Ōshima yang memimpin Divisi Ke-3 Angkatan Darat (AD) Kekaisaran Jepang, ikut mendorong kemenangan Tentara AD Ke-2 di Pertempuran Liaoyang, Pertempuran Shaho, dan Pertempuran Mukden. Sedari Oktober 1905 menjabat Gubernur Jenderal Kwantung dan di masa pemerintahannyalah dibangun fondasi pasukan terbesar Jepang, Tentara Kwantung,” ungkap Rotem Kowner dalam Historical Dictionary of the Russo-Japanese War.
Dari pihak ayah Abe juga ada Kan Abe sang kakek, politikus Diet Nasional (parlemen) dari faksi antiperang di Kabinet PM Hideki Tojo yang alumnus jurusan politik Universitas Kekaisaran Tokyo (kini Universitas Tokyo). Hebatnya, sebagaimana disitat Dong-A Ilbo, 28 Oktober 2018, ia bisa masuk parlemen sebagai calon independen setelah menang di Prefektur Yamaguchi dalam Pemilu 1937.
Di masa akhir perang, Kan beraliansi dengan sejumlah politisi liberal penentang perang dan berhasil melengserkan PM Tojo. Namun, Kan tak bisa melihat pemilu pertama Jepang pascaperang lantaran keburu wafat (30 Januari 1946) karena TBC kala ikut membantu persiapan pemilu.
Baca juga: Suara Titisan Dewa Mengakhiri Perang Dunia II
Sementara, kakek Shinzo Abe dari pihak ibu, Nobusuke Kishi, punya haluan politik bertolak belakang dari kakek pihak ayah. Kishi sejak muda mengagumi “Bapak Fasis Jepang” Ikki Kita. Setelah lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Kekaisaran Tokyo, pada 1920 Kishi masuk pemerintahan sebagai pegawai Kementerian Pemasaran dan Industri.
Kishi jadi satu dari sedikit figur ekonomi yang inovatif. Dia berhasil mendongkrak perekonomian Jepang dengan mencontek sejumlah kebijakan di Eropa, seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Uni Soviet, kebijakan kartel industri lewat kemajuan teknologi Jerman Nazi, dan teori-teori manajemen buruh Frederick Winslow Taylor di Amerika Serikat.
Diungkapkan Sterling dan Penny Seagrave dalam The Yamato Dynasty, Kishi selalu membayangkan Manchuria bisa menjadi pusat industri besar Jepang di luar kepulauan. Maka ketika Tentara Kwantung sukses mencaplok Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo pada September 1931, Kishi sering berperjalanan ke Manchukuo. Pada 1935, ia didapuk menjadi Wakil Menteri Pembangunan Industri Manchukuo dan berkawan baik dengan Tojo yang kelak jadi perdana menteri.
Tetapi sejak itulah julukan “Shōwa no yōkai” (Iblis Shōwa) tersemat padanya. Selain menerapkan sejumlah kebijakan berbau nepotisme, masuknya Nissan Group yang dipimpin pamannya Kishi ke Manchukuo, membuat Kishi turut mengeksploitasi pekerja paksa China. Bibit-bibit pemberontakan di antara para buruh sudah jauh-jauh hari diantisipasinya dengan teror mafia Yakuza yang diberi imbalan jalur perdagangan opium.
Baca juga: Sebelum Pearl Harbor, Pesawat AL Jepang Pernah Tenggelamkan Kapal AL AS.
Setelah Tojo menjadi perdana menteri, pada Oktober 1941 Kishi yang naik menjadi menteri Perlengkapan Perang juga mengatur perbudakan lebih dari enam ratus ribu orang Korea dan 41 ribu orang China. Oleh karenanya, di ujung perang Kishi ditangkap Sekutu dan ditahan di Penjara Sugamo sebagai penjahat perang Kelas A. Namun pada akhirnya, Kishi tak pernah diajukan ke Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh dan dilepaskan pada 1948 setelah datang lobi dari Dewan Amerika untuk Jepang. Dewan berisi mantan duta besar dan konsul jenderal AS itu minta Kishi dibebaskan karena dianggap orang yang tepat membangun kembali Jepang.
Petualangan politik Kishi pascaperang berlanjut sebagai anggota parlemen dan pendiri Partai Demokratik Jepang. Partai ini pada 1955 merger dengan Partai Liberal menjadi Partai LDP dan jadi tunggangan politik Kishi. Setelah menjadi menteri luar negeri pada 1956, ia berhasil menjadi perdana menteri (1957-1960).
Di era pemerintahan Kishi Jepang membangun kembali persahabatannya dengan negara-negara bekas jajahanya dengan negosiasi ganti rugi. Selain Indonesia, ada Myanmar, Filipina, dan Thailand.
Tokoh penting lain dari dinasti politik Shinzo Abe adalah ayahnya, Shintaro Abe, putra Kan Abe. Shintaro merupakan musuh politik Tojo dan Kishi. Namun Shintaro tak mengikuti jejak ayahnya dalam hal haluan politik, melainkan justru berkembang di bawah ketiak Kishi. Terutama setelah Shintaro menikahi putri Kishi, Yoko Kishi, alias ibu Shinzo Abe, pada 1951.
“Sebelum masuk ke politik, (Shintaro) Abe selepas lulus SMA pada 1944 masuk akademi Angkatan Laut untuk berlatih menjadi sukarelawan pilot Kamikaze (serangan bunuh diri, red.). Tetapi perang keburu berakhir sebelum Abe menyelesaikan latihannya,” tulis Patrick Hein dalam “Leadership and Nationalism: Assessing Shinzo Abe” yang dimuat di Asian Nationalisms Reconsidered.
Baca juga: Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang
Pascaperang, Shintaro melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Tokyo dan selepas lulus pada 1949 ia bekerja jadi wartawan politik di suratkabar Mainichi Shimbun. Pada 1956, ia meninggalkan karier jurnalistiknya untuk menjadi sekretaris pribadi mertuanya saat Kishi menjabat menteri luar negeri.
Shintaro terus menjadi sekretaris pribadi ketika Kishi naik jadi perdana menteri. Setahun kemudian, dengan tunggangan politik yang sama dengan ayahnya, Partai LDP, Shintaro masuk parlemen setelah menang di daerah Prefektur Yamaguchi dalam pemilu 1958.
“Sejak saat itu dia terus terpilih selama delapan kali (dalam pemilu) dan pada November 1974, ia ditunjuk PM Takeo Miki masuk kabinet sebagai Menteri Pertanian dan Kehutanan. Tuan Abe juga kemudian menjabat berbagai pos di kabinet dan menjadi salah satu pemimpin berpengaruh di partai penguasa, LDP. Seperti jabatan Ketua Komite Kebijakan LDP di Parlemen, Ketua Sekretaris dan Ketua Dewan Pertimbangan Kebijakan LDP,” tulis Japan Report, laporan pusat informasi Konsulat Jenderal Jepang di New York, edisi Januari 1982.
Baca juga: Jepang-RI: Enam Dasawarsa Bersama Saudara Tua
Shintaro gagal mengikuti jejak mertuanya menjadi perdana menteri –jabatan tertinggi yang dipegang Shintaro adalah menlu (1982-1986). Pasalnya, pada 1988 Shintaro bersama sejumlah anggota parlemen dan PM Noboru Takeshita terseret kasus korupsi perdagangan saham ilegal yang melibatkan perusahaan SDM, Recruit Holdings Co., Ltd. Akibatnya, Shintaro dipaksa mundur dari posisi Sekjen LDP dan sejak itu karier politiknya tak pernah pulih.
Dinasti politiknya kemudian diteruskan Shinzo Abe, putra keduanya. Putra pertamanya, Hironobu Abe, menggeluti karier di perindustrian, yakni di Mitsubishi Shoji Packaging.
Shinzo Abe meninggal dunia setelah ditembak ketika sedang kampanye pada 8 Juli 2022.
Baca juga: Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura