Suara Titisan Dewa Mengakhiri Perang Dunia II
Sempat dikudeta sekelompok militer Jepang, rekaman pidato Tennō Heika pun mengudara untuk mencegah negeri sakura binasa.
SORE 14 Agustus 1945 itu, Kepala kantor berita Jepang Nippon Hōsō Kyōkai (NHK) Hachiro Ohashi sibuk mengatur anak buahnya dari tim perekam. Selepas menerima pesan dari Menteri Biro Informasi Hiroshi Shimomura, ia segera memerintahkan Direktur Teknis Daitaro Arakawa memasang alat-alat yang dibutuhkan ke Kementerian Dalam Negeri.
Para teknisi NHK itu lantas mengecek ruangan demi ruangan untuk mendapatkan spot yang takkan bergaung ketika dipasangi aneka peralatan rekaman. Dipilihlah ruangan Goseimu (kantor administrasi kekaisaran) di lantai kedua yang lantainya diselimuti karpet dengan tirai tebal yang menutup jendelanya. Ruangan itu paling pas.
“Lalu para teknisi NHK itu menyiapkan piringan hitam yang akan direkam, juga mikrofonnya. Yang tak kalah penting, aliran listriknya juga mereka sambungkan dengan gulungan kabel dari generator kecil, seandainya listrik padam mengingat Tokyo tengah sering dibombardir (Sekutu) dari udara,” tulis Jim Smith dan Malcolm McConnell dalam The Last Mission: The Secret History of World War II’s Final Battle.
Sekira pukul 11.30 malam, Tennō Heika (Yang Mulia Kaisar Shōwa) pun tiba di ruangan. Disambut sembah sujud para teknisi di ruangan itu, sang kaisar pun sampai di hadapan mikrofon. Hening mengisi ruangan itu sejenak sebelum sang kaisar bersuara. Suaranya bakal disiarkan dan didengarkan rakyatnya untuk kali pertama, mengingat sebelumnya hanya para pejabat pemerintahan saja yang mendengar suara sang kaisar.
Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor
Sosok yang dipercaya sebagai titisan Dewa Amaterasu itu akan membacakan Daitōa-sensō-shūketsu-no-shōsho atau Instruksi Kekaisaran tentang Penghentian Perang Asia Timur Raya. Instruksi kepada semua rakyat dan militer Jepang untuk berhenti berperang itu sebagai respon atas penerimaan syarat menyerah kepada Sekutu.
“Perekamannya dilakukan dua kali. Rekaman yang pertama, ia berbicara terlalu pelan dan melalui saran para teknisi, ia ditawarkan untuk merekam ulang. Pada rekaman kedua, nada suaranya terlalu tinggi. Meski begitu, rekaman yang kedualah yang dianggap sebagai rekaman resminya, sementara rekaman pertama hanya disimpan sebagai cadangan,” ungkap sejarawan John Toland dalam The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire, 1939-1945.
Siaran Pidato Kaisar
Rekaman pidato kaisar berdurasi 3 menit 30 detik itu ternyata tak bisa langsung disiarkan. Sekelompok perwira muda AD Jepang di bawah Mayor Kenji Hatanaka, yang tak setuju Jepang menyerah pada Sekutu, berhasil mensabotase dengan kudeta. Mereka menduduki istana kaisar, kantor kementerian, dan NHK.
Beruntung, kudeta itu hanya seumur jagung. Kala mentari kembali terbit dari ufuk timur, 15 Agustus 1945, Hatanaka yang berada di kantor NHK mendapat kabar bahwa Pasukan AD Distrik Timur dan Pasukan Kempeitai (polisi rahasia Jepang) akan melucuti gerombolannya. Pesawat telepon di salah satu ruangan kantor NHK tetiba berdering. Dari pembicaraan di telepon, Hatanaka diperintahkan komandan AD Distrik Timur Jenderal Shizuichi Tanaka untuk menyerah dan mengakhiri kup.
Pukul 8 pagi, Istana Kekaisaran direbut kembali dari tangan komplotan Hatanaka yang berhasil dilucuti. Hatanaka dan beberapa pentolan kudeta lalu kabur dan kemudian bunuh diri di halaman istana. Jangankan meneruskan perang, merebut rekaman pidato kaisar pun komplotan kup satu malam itu gagal.
“Para staf istana sudah khawatir sejak selesaikan rekaman kaisar, bahwa mungkin akan ada upaya menghancurkannya. Satu rekaman dengan cap ‘COPY’ disembunyikan dalam sebuah kotak kayu dengan cap istana, dibawa keluar dari Kementerian Dalam Negeri melalui koridor labirin oleh staf kementerian, Motohiko Kakei,” sambung Toland.
“Satu rekaman lainnya bercap ‘ORIGINAL’, disembunyikan di kotak makan siang seorang pengurus rumahtangga istana untuk kemudian diselundupkan keluar istana. Rekaman yang dipegang Kakei dibawa ke studio NHK. Sementara satunya lagi dibawa juga dengan jalur berbeda ke kantor NHK, di mana kepala NHK memasukkannya ke brankas yang ia sembunyikan dengan rapi,” tambahnya.
Baca juga: Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Tepat jam 12 siang 15 Agustus, rekaman itu disiarkan NHK setelah didahului pengumandangan lagu kebangsaan “Kimigayo”. Tangis pun pecah di setiap pelosok negeri setelah pidato berdurasi tiga menit itu berakhir.
“Perang telah berlangsung hampir empat tahun. Kendati semua pihak sudah melakukan yang terbaik, perjuangan yang berani dari militer dan kesetiaan seratus juta rakyat – situasi perang berkembang menjadi kerugian Jepang, sementara situasi perang telah berbalik merugikan kita. Lebih daripada itu, musuh telah memulai penggunaan bom yang baru dan kejam, di mana kekuatannya yang merusak telah membinasakan banyak jiwa. Jika kita terus berperang, tidak hanya akan menghasilkan kehancuran dan kemusnahan negeri Jepang, tetapi juga akan mengarah kepada kepunahan peradaban manusia,” kata kaisar dalam pidatonya.
Meski dalam pidatonya kaisar tak secara terang menyebut Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, setelah pidato itu berakhir, penyiar radionya mengklarifikasi bahwa pesan dari kaisar punya arti Jepang telah menyerah. Siaran itu kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris untuk bisa ditangkap siaran radio Amerika dan Inggris.
Baku tembak di semua medan peperangan akhirnya berhenti pada 15 Agustus 1945 malam, dikenal sebagai V-J Day atau Hari Kemenangan atas Jepang. Panglima Sekutu di Pasifik, Jenderal Douglas MacArthur, menjejakkan kaki untuk pertamakali di Tokyo pada 30 Agustus. Selain memastikan bahwa takhta Kaisar Hirohito takkan diganggu gugat, MacArthur mesti memastikan pasukannya tak bertindak di luar batas atas nama balas dendam terhadap sipil maupun bekas pasukan Jepang.
Penandatanganan kapitulasi Jepang lantas digelar di atas geladak battleship USS Missouri yang berlabuh di Teluk Tokyo, 2 September 1945, pukul 9 pagi. Delegasi Jepang dipimpin Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu dan Kepala Staf AD Jepang Jenderal Yoshijirō Umezu. Sementara di pihak Sekutu yang dipimpin Jenderal MacArthur, hadir sejumlah perwakilan Inggris, Uni Soviet, China, Australia, Selandia Baru, Prancis, dan Belanda. Epilog dramatis itu menutup “bab” Perang Dunia II yang disulut Jerman-Nazi.
Baca juga: Melindungi Bangkai Kapal era Perang Pasifik
Tambahkan komentar
Belum ada komentar