FRANZ Magnis-Suseno atau biasa disapa Romo Magnis bikin heboh lewat tulisannya tentang golput di Koran Kompas, 12 Maret 2019. “Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak…tanda kebodohan,” demikian mantan guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menulis.
Ada yang setuju, tapi banyak pula yang balik mengkritiknya di media-media sosial. Soal kata-kata yang dinilai keras, Romo Magnis mengaku semestinya bisa memilih kata-kata yang lebih lembut namun tetap tidak menyesal “menyerang” kaum golput yang enggan memilih.
“Saya memang mengecewakan mereka. Tapi mereka juga mengecewakan saya. Secara prinsipal saya sulit mengerti jika ada orang yang mengatakan tidak ingin memilih. Sikap abstain karena kecewa entah dengan orang atau sistem, saya rasa suatu sikap yang tidak bisa dipertanggungjawabkan!,” ujar Romo Magnis di laman Deutsche Welle, 14 Maret 2019.
Kritikan Romo Magnis itu tentu punya niat mulia, di mana kedua kubu capres juga menegaskan masyarakat untuk tidak golput. Terlebih, bila berkaca pada angka golput yang mencapai 30,42 persen di Pilpres 2014. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan pemilu pertama pada 1955 atau Pemilu 1971, di mana untuk kali pertama golput menjadi gerakan politik.
Para pakar politik dari masa ke masa sudah menjabarkan sejumlah varian golput. Namun sederhananya, golput jadi “hantu” tersendiri akibat dua faktor: teknis dan ideologis. Faktor teknis lantaran perkara administratif dan ideologis lantaran memang tidak mau menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih tapi secara tidak sah karena alasan kecewa.
Dalam Pemilu kali ini, kekecewaan banyak berasal dari anggapan bahwa siapapun yang terpilih memimpin Indonesia, kondisi si empunya hak pilih bakal sama saja. Iskandar, pedagang martabak di Bekasi yang ditemui Historia pada malam akhir pekan lalu, salah satunya.
Baca juga: Kampanye Hitam Pemilu Indonesia
Ia menggerutu pada kawannya pedagang jus di booth sebelah gerobaknya yang enggan mengganti channel di pesawat TV mini kala beberapa stasiun TV swasta menayangkan debat cawapres, 17 Maret 2019. “Debat terus nontonnya itu teman saya, Mas. Dari tadi sok paham. Padahal saha nu menang mah sarua wae. Ya kita mah begini-begini weh,” ujarnya dengan logat Sunda seraya membuatkan pesanan best-seller martabak manis coklat-keju.
Pernyataan Iskandar memang tak sepenuhnya mewakili suara rakyat kecil. Pun begitu, toh ia tetap punya hak untuk tidak menjatuhkan pilihan antara Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Ia dan entah berapa kaum golput lainnya tetap bukan pelanggar hukum, mengingat UU No. 39/1999 tentang HAM. Tapi jangan sekali-kali memaksa orang untuk golput karena ada konsekuensi pidananya, diatur dalam UU No. 8/2012 tentang Pemilu.
Mula “Hantu” Golput
Golput sebagai gerakan politis muncul pertamakali pada 1971. Namun, golput sebagai non gerakan telah ada sejak Pemilu 1955. Di masa itu, seorang yang apatis saja bisa diperkarakan oleh aparat. Hal itu dialami antara lain oleh seorang yang ditemui Arief Budiman, aktivis 66 yang juga kakak Soe Hok Gie.
“Ekonomi diabaikan total sampai pada titik rakyat tak lagi mampu beli beras. Suatu hari seseorang mengatakan: ‘Tuan, saya lapar. Saya tidak ingin menghabiskan waktu ikut kampanye politik, saya ingin makan.’ Tanpa ditanya dengan sopan, orang ini ditahan dan dituduh berpolitik, lebih tepatnya politik anti-pemerintah,” ujar Arief dalam catatannya bertajuk “The Moral Force” yang dihimpun David Bourchier dan Vedi Hadiz di Indonesian Politics and Society: A Reader.
Di Pemilu 1955, angka golput termasuk tinggi. Mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencatat dalam Mengapa Kami Memilih Golput, pada 1955 angka golput mencapai 12,34 persen. Sebagian besar dari 12,34 persen yang golput di Pemilu 1955 itu, kata Arief, terdorong dari kekecewaan terhadap rezim yang menyengsarakan perut rakyat.
Tingginya angka golput sampai membuat Wapres Moh. Hatta menghimbau masyarakat agar mempergunakan hak pilih. “Memilih itu bukanlah suatu kewajiban yang ditimpakan kepada Saudara melainkan adalah hak Saudara sendiri, harus ikut serta menentukan nasib sendiri sebagai warga bangsa yang merdeka dan berdaulat. Apabila hak pemilih itu tidak Saudara pergunakan, tanggung jawab tentang buruk atau baiknya nasib kita bersama sebagai bangsa tetap terletak di bahu Saudara. Oleh karena itu, pergunakanlah hak memilih itu,” kata Hatta, dikutip Indonesia Raya (29/9/55).
Saat itu orang-orang yang apatis memang belum disebut golput. Istilah “golput” baru mengemuka jelang Pemilu 1971. Arief Budiman pula dengan beberapa rekannya di Angkatan 66 yang mengusung gerakannya, sebagai bentuk protes terhadap rezim Orde Baru Soeharto.
“Pemilu 1971 diikuti 10 partai yang diperbolehkan hidup oleh Soeharto. Setelah itu pemilu jumlah partai tinggal tiga: Golkar, PPP dan PDI. Bagi saya, dengan membatasi jumlah partai, pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar…Golput di tahun 1971 merupakan protes terhadap UU Pemilu yang tidak demokratis. Kita dipaksa memilih partai yang diizinkan hidup pemerintah,” tulisnya dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005.
Baca juga: Lagu-lagu Pemilu
Istilah “golput” dicetuskan Imam Waluyo. Menurut Arbi Sanit dalam Golput: Aneka Pandangan Fenomena Politik, manifesto “Penjelasan Tentang Golongan Putih” tertanggal 28 Mei 1971, dijelaskan atributnya menghadirkan lambang perisai segilima dengan warna putih polos di tengahnya. Dalam manifesto itu juga disebutkan golput tidak melanggar hukum karena tujuan gerakannya justru menegakkan hukum terkait pemilu.
Dikecam, Dipersekusi
Gerakan yang merugikan Soeharto dan Golkar itu mulanya hanya ditanggapi celaan oleh beberapa pejabat. Mendagri Amir Machmud, sebagaimana dikutip A Samsuddin dalam Pemilihan Umum 1971, menyebut golput sebagai “gerakan kentut.” Mendikbud Mashuri Saleh mencibirnya sebagai “gerakan putus asa”. Sedangkan Menlu Adam Malik mendampratnya “golongan setan.”
Namun, kian hari kampanye-kampanye golput Arief Budiman dkk. bikin resah penguasa. Aparat pun turun tangan melarang diskusi-diskusi terkait golput. Tak berhenti di situ, sejumlah pentolan golput, termasuk Arief, ditahan untuk pasca-Pemilu 1971 yang menghasilkan angka golput 6,67 persen.
Jelang Pemilu 1982, kabut golput kembali menggelayut. Jumlah pendukungnya makin banyak dengan masuknya Petisi 50 pimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. “Ali Sadikin tidak hanya protes terhadap regulasi tapi juga menyatakan kelompoknya tidak akan ikut-ikutan dalam pemilu,” tulis Leo Suryadinata dalam Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia.
Mendagri Amir Machmud pun memperingatkan, siapapun yang memboikot pemilu adalah musuh bagi Pancasila. Senada dengan Amir, Ketua DPR Darjatmo juga memberi sikap keras. “Ada sekelompok orang yang tidak ingin menggunakan hak pilihnya? Silakan saja. Tapi jika mereka memengaruhi rakyat untuk golput, itu sama saja dengan agitasi dan tidak akan ditolelir,” ujar Darjatmo.
Baca juga: Manuver Politik Jelang Pemilu 1955
Tekanan keras terhadap kalangan golput tetap tak mampu mencegah kemunculan golput yang angkanya terus meningkat di setiap pemilu. Pada Pemilu 1982 dan 1987, angka golput mencapai 8,53 persen. Angka itu naik menjadi 9,05 persen pada Pemilu 1992 dan naik lagi jadi 10,07 persen di Pemilu 1997. Di pemilu pertama era reformasi, Pemilu 1999, angka golput-nya 10,40 persen. Jumlah itu melonjak di Pilpres 2004, yakni 23,47 persen di Putaran I dan 24,95 persen di Putaran II. Di Pilpres 2009, angkanya 28,30 persen, dan Pilpres 2014 meningkat jadi 30,42 persen.