KASUS-kasus dugaan korupsi mengemuka di sejumlah institusi dan perusahaan negara pada masa awal pertumbuhan rezim Orde Baru. Antara lain di Pertamina, Bulog, PN Telekomunikasi, dan Jajasan Pers dan Grafika. “Korupsi itu melibatkan bukan hanya pegawai negeri tetapi juga para pemakai jasa mereka, dan masyarakat luas,” tulis Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia.
Orang mengetahui pengusutan kasus korupsi tersebut dari media massa seperti Indonesia Raya, Ekspres, Sinar Harapan, dan Pedoman. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) mengusut kasus-kasus dugaan korupsi tersebut dengan beralas pada Perpu No. 24 Tahun 1960.
Menurut Pasal 1 Perpu tersebut, korupsi ialah tindakan seseorang untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau badan dengan menyalahgunakan jabatan atau wewenangnya sehingga merugikan keuangan negara.
Baca juga: Pemberantasan korupsi setengah hati rezim Orde Baru
Pengusutan TPK sempat menyeret sejumlah terduga pelaku korupsi ke pengadilan. Tapi pengadilan membebaskan sebagian besar mereka dari jerat korupsi. Banyak pihak kecewa dengan keputusan tersebut. Misalnya media massa dan mahasiswa. Mereka merasa kasus-kasus korupsi sebenarnya telah begitu jelas terjadi, tetapi tidak terkatakan.
Untuk mengetahui mula dan akhir perjalanan kasus-kasus dugaan korupsi tersebut, simak ringkasan penjelasan berikut ini.
Pertamina
Kasus dugaan korupsi Pertamina bermula dari investasi modalnya ke sejumlah bidang usaha di luar minyak dan gas. Investasi itu merentang dari hotel, restoran, biro perjalanan, sampai persewaan pesawat terbang di luar negeri pada 1969. Investasi ini mengeluarkan biaya sebesar 3,5 miliar rupiah dan 600 ribu dolar AS. Tapi yang tercatat hanya 153 juta rupiah dan 132 ribu dolar AS.
Harian Indonesia Raya mengendus ketidakberesan kebijakan investasi dan ketiadaan pengawasan keuangan di Pertamina, termasuk hasil kontrak Pertamina dengan perusahaan minyak asing.
Indonesia Raya melaporkan hal-hal janggal di Pertamina secara berkala sejak November 1969. Misalnya laporan pada 22 dan 24 November 1969. Laporan tersebut menyorot posisi dominan Letjen TNI Ibnu Sutowo sebagai Direktur Pertamina dan ketiadaan inventarisasi kekayaan Pertamina.
Baca juga: Soeharto buka praktik pengaduan korupsi
Kasus dugaan korupsi ini kian kentara ketika Komisi Empat —komisi ad hoc yang bertugas memberikan saran dan kajian terhadap kebijaksanaan pemberantasan korupsi pemerintah— mengeluarkan laporan tentang Pertamina pada Juli 1970.
“Kompleksnya kegiatan-kegiatan perminyakan seperti eksplorasi, eksploitasi pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan pemasaran, juga dalam hubungannya dengan berpuluh-puluh perusahaan asing, memberikan lapangan yang sangat luas bagi kesempatan korupsi,” kata Wilopo, ketua Komisi Empat dalam Ekspres, 26 Juli 1970.
Laporan Komisi Empat juga menyorot Ibnu Sutowo. Komisi Empat meminta Ibnu Sutowo melepas sejumlah jabatannya agar berkonsentrasi memperbaiki Pertamina.
Baca juga: Teror terhadap pemburu koruptor
Sorotan terhadap Ibnu Sutowo juga datang dari Indonesia Raya. Harian ini memuat pertanyaan-pertanyaan menohok tentang pengelolaan Pertamina di bawah Ibnu Sutowo. Tak ada jawaban memuaskan dari Pertamina atas pertanyaan Indonesia Raya.
Hingga TPK bubar, dugaan kasus korupsi di Pertamina tak pernah terungkap. TPK hanya berhasil menyeret satu orang pegawai Pertamina ke pengadilan pada Mei 1970. Dakwaannya berupa penggelapan uang negara sebesar 5,5 juta rupiah. Sedangkan Ibnu Sutowo lepas dari segala tuduhan. Dia berhenti menjabat direktur utama pada 3 Maret 1976 setelah Pertamina berutang mencapai 4 miliar dolar AS.
Bulog (Badan Urusan Logistik)
Bulog merupakan lembaga penyuplai kebutuhan beras nasional. Bulog mengatur pengadaan, peredaran, pengendalian harga, dan persediaan beras untuk rakyat. Untuk memastikan semua tugas itu aman, rezim Orde Baru menempatkan kalangan tentara di posisi pucuk Bulog. Tetapi kebijakan ini menimbulkan sejumlah masalah.
Para pemimpin Bulog terlibat pengadaan, penjualan, dan pendistribusian beras secara gelap. Laporan Komisi Empat pada Juli 1970 menyebut bahwa pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. “Untuk tahun 1970/1971 lembaga tersebut merencanakan pengadaan beras dengan iaya Rp69,571 miliar. Tapi jumlah itu hanya akan kembali Rp56,7miliar,” tulis Komisi Empat seperti dikutip Ekspres.
Baca juga: Gerakan melawan korupsi dari Bandung dan Yogyakarta
Indonesia Raya menduga ketidakberesan di dalam Bulog telah bermula sejak 1966. Ketidakberesan itu mencakup sisi kelembagaan, manajemen, kepemimpinan, dan tindak penyelewengan. Terkait tindak penyelewengan, Indonesia Raya mengumbar cerita seputar pembelian beras rusak oleh okum pegawai Bulog. Jumlahnya mencapai 200 ton beras.
Sejumlah nama muncul di Indonesia Raya terkait dugaan kasus korupsi dalam Bulog. Nama-nama itu tak hanya berasal dari internal Bulog, melainkan juga dari rekanannya seperti Go Swie Kie dan Budiadji. Masing-masing berlatar belakang pengusaha.
Go Swie Kie dan Budiadji diduga terlibat dalam penggelapan beras di Jakarta dan Kalimantan. Selain penggelapan beras, Go Swie Kie diduga pula bermain dalam pembelian karung goni tanpa tender.
Baca juga: Jatuh bangun lembaga pemberantasan korupsi
TPK tak mampu mengendus kasus korupsi dalam Bulog. Harian Pedoman 23 November 1972 mencatat ketidaberesan dalam Bulog sebagai “korupsi yang sulit ditembus”. Hal ini mengulang apa yang diungkap oleh Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, pada 13 Februari 1969.
“Berita, cerita, dan fakta-fakta tentang hal-hal tidak beres dalam Bulog sudah banyak sekali disiarkan dalam pers. Akan tetapi sampai kini, kita tidak melihat suatu tindakan diambil terhadap mereka yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang diuraikan,” tulis Mochtar.
PN Telekomunikasi (Sekarang PT Telkom)
Berbeda dari kasus dugaan korupsi di Pertamina dan Bulog, TPK kelihatan begitu bertaring dalam mengusut kasus dugaan korupsi di PN Telekomunikasi. TPK menghitung negara rugi sebesar satu miliar rupiah akibat penyelewengan direksi PN Telekomunikasi.
Ketua TPK Sugih Arto menceritakan kronologis dugaan penyelewengan direksi PN Telekomunikasi dalam harian Merdeka, 30 April 1970. Semua bermula dari pembelian rumah dinas di Bandung dan tanah di Jawa Tengah.
Sejumlah direksi PN Telekomunikasi memanipulasi harga pembelian rumah. Harga beli rumah menjadi lebih mahal di laporan keuangan ketimbang harga beli di lapangan. Sedangkan untuk memanipulasi pembelian tanah, mereka menulis luas tanah yang dibeli lebih luas daripada luas tanah yang sesungguhnya dibeli.
Baca juga: Gerakan melawan korupsi dari Bandung dan Yogyakarta
Direksi juga memanipulasi pembelian barang-barang. Laporan keuangan mencatat ada transaksi keluar untuk pembelian sejumlah barang. Anehnya barang tersebut tidak pernah kelihatan wujudnya.
Para tersangka korupsi PN Telekomunikasi sempat mendapat vonis hukuman penjara dari pengadilan pada pertengahan Oktober 1970. Mereka keberatan dengan hukuman tersebut dan menyatakan banding. Kasus ini berujung pada kemenangan tersangka. Mereka lepas dari semua dakwaan.
Jajasan Pers dan Grafika (JPG)
Kasus korupsi JPG melibatkan pemimpin redaksi harian Merdeka. Namanya Hiswara Dharmaputra. Dia duduk sebagai bendahara JPG, lembaga negara di bawah kementerian penerangan yang mengatur perusahaan-perusahaan pers Indonesia.
Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 29 Juli 1969 menyebut Hiswara bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp12.992.309. Hiswara telah menyalahgunakan wewenang dengan memalsukan surat-surat penting dan pembukuan keuangan.
Hiswara melakukan tindak korupsi sejak Februari 1968. Dia menggelapkan uang satu juta rupiah hasil pengembangan modal JPG selama dua bulan dengan bunga 10 persen per bulan. Perbuatan ini diulang sebanyak empat kali.
Baca juga: Mereka yang dihabisi karena memberantas korupsi
Selain menggelapkan uang hasil pengembangan modal, Hiswara juga meminjam uang perusahaan tanpa dikembalikan dan mengeluarkan uang perusahaan tanpa bukti kuitansi. Dia bahkan berani bernegosiasi dengan pihak lain tanpa sepengetahuan atasannya, Brigjen TNI Harsono sebagai ketua JPG.
Tindakan Hiswara menguntungkan pihak lain, tetapi merugikan keuangan negara. Tersebab demikian, jaksa penuntut umum mengajukan hukuman lima tahun penjara. Hiswara mengajukan keberatan atas tuntutan jaksa penuntut umum. Dia mengatakan semua tindakannya sudah sepengetahuan dan berdasarkan perintah Brigjen TNI Harsono.
Dengan membawa nama Brigjen TNI Harsono, Hiswara berhasil luput dari semua dakwaan pada 21 Agustus 1970.