BERKAT peran seorang santri bernama Kasan Besari, Pesantren Tegalsari, Ponorogo kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok pemikir dan pemimpin negeri ini. Menurut Abdurrahman Wahid, sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam Reinventing Indonesia, ada dua muara kepemimpinan nasional: kalau bukan dari raja-raja Jawa, ya dari Kasan Besari.
Pesantren Tegalsari sendiri dibangun kakeknya, Mohamad Besari. Menurut penelusuran Claude Guillot dalam “Le rôle historique des perdikan ou villages francs: le cas de Tegalsari,” Archipel, Vol. 30, 1985, Mohamad Besari adalah santri sekaligus menantu Kiai Danapura di Setana, Ponorogo. Setelah Kiai Danapura wafat, perjuangan dakwah Islam diteruskan Mohammad Besari dengan membuka daerah yang kemudian dinamai Tegalsari. Mohamad Besari memberikan pengajian untuk santri dan keturunannya di rumahnya. Tapi, pengaruhnya masih terbatas di desa-desa sekitar.
Baru pada masa Kasan Besari, Pesanten Tegalsari semakin luas pengaruhnya. Dia tenar sebagai ulama yang cerdas. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah di Jawa. “Di sinilah anak-anak dari pesisir utara Jawa pergi untuk melanjutkan pelajarannya,” tulis Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning dan Pesantren dan Tarikat. Survei Belanda tentang pendidikan yang diadakan pada 1819 menyimpulkan bahwa Tegalsari merupakan salah satu tempat penting penyebaran Islam.
Selain mumpuni dalam pengetahuan agama, Kasan Besari juga memiliki kemampuan politik. Ia pernah menghelat acara maulid Nabi Muhammad di Masjid Agung, Surakarta, pusat Kerajaan Mataram. Kasan Besari dan lima ratus santrinya melantunkan pujian kepada Nabi Muhammad dalam Barzanji.
Kasan Besari, kemudian, diambil mantu oleh Pakubuwana III, dinikahkan denga putrinya yang bernama Murtosiyah. Sejak saat itu Kasan jadi bagian keluarga kerajaan dan, karena itu, mendapat julukan Kanjeng Kyai Kasan Besari. Pamornya meningkat pesat. Pesantrennya dijadikan tempat penggemblengan para pangeran dan keluarga raja.
“Tidaklah aneh jika Pesantren Tegalsari menjadi tempat penting bagi pengajaran Islam untuk elite politik dan keluarga di Kerajaan Mataram,” tulis Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan. Bahkan, pujangga Surakarta Yasadipura mengirimkan Bagus Burhan untuk mengaji kepada Kasan Besari. Selesai mengaji di Tegalsari, Bagus kembali ke Mataram dan menulis banyak karya sastra, seperti Serat Kalathida. Di kemudian hari dia dikenal sebagai Ranggawarsita, pujangga penghabisan Jawa. Baca juga: Jinarwa Raden Ngabehi Ranggawarsita