Jinarwa Raden Ngabehi Ranggawarsita
Makna namanya mencerminkan perjuangannya.
SHAKESPEARE pernah bilang: “Apalah arti sebuah nama? Mawar, jika diganti dengan nama lain, pasti akan sama harumnya.” Bagi Ki Herman Sinung Janutama, pekerja budaya dan pemerhati persoalan filsafat, tentu saja nama sangat berarti. Bahkan, dia membedah peran pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) dari namanya.
Menurut Ki Herman membaca makna nama Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan cara landa (Belanda) atau barat, akan mendapati simpulan yang tidak proporsional atau ala barat. Karena itu, dia menggunakan kajian budaya Jawa dari tradisi paramasastra atau jinarwa Jawi, yang telah dicontohkan oleh para leluhur Jawa yang tersebar dalam berbagai teks kejawen.
“Inilah yang disebut alam kapujanggan Jawi. Di dalamnya terdapat banyak model operasi demi menggali maknanya (jinarwa). Kali ini saya hanya menggunakan beberapa saja di antara operasi-operasi tersebut. Yakni operasi jinarwa dasanama, jarwadhosok, kiratabasa, dan garba,” papar Ki Herman dalam kuliah umum bertajuk “Islam dan Mistisisme Nusantara: Ranggawarsita, Islam dan Kejawen,” di Salihara, 28 Juli lalu.
Dasanama artinya sinonim, padanan, maupun persamaan kata dan istilah. Dalam bahasa Jawa, satu kata memiliki memiliki banyak padanan dan persamaan kata atau istilah. Misalnya, barat= angin= arah barat= kulon, dan seterusnya. Jarwadhosok artinya memaknai kata atau istilah, khususnya memaknai dalam kerangka dhosok atau kebaktian kepada Tuhan. Operasi ini mirip uthak-athik-gathuk, namun gayut terhadap persangkaan baik atau husnudzon. Misalnya, barat= kulon= huluwan= yakni “asal muasal” perjalanan hidup manusia dalam mencari dan menelusuri makna hidupnya.
Kiratabasa artinya memaknai kata atau istilah dengan kata atau istilah yang sekiranya mirip. Misalnya, barat (angin)= barata (keluarga)= brata (besar)= branta= brangta (cinta). Dan, Garba adalah penggabungan dan pemisahan dua atau lebih kata dan istilah. Dalam bahasa sansekerta sering disebut sebagai sansandhi. Konsekuensi dari operasi ini adalah jumbuhnya dua suku kata yang sama. Misalnya, nuswantara= nuswa+swa+(sw)anta+tata+tara.
Ki Herman ngonceki Ranggawarsita dari gelar yang disematkan kepada: Raden dan Ngabehi. Raden berasal dari kata rahadian atau roh-adi-an (roh= ruh, suksma; adi= luhur, mulia). Raden juga setara dengan radin (rasa, perasaan); dan mengacu pada kata radya (negeri, keraton, atau pemangku negeri). Gelar umum bagi para bangsawan Jawa ini dahulunya berarti pemangku negeri yang telah mencapai keluhuran ruhani, kemuliaan akhlak, ketajaman perasaan, dan kelembutan hati nurani.
Kata ngabehi pada gelar raden ngabehi menunjukkan posisi sebagai tokoh sesepuh atau orang yang dituakan oleh keraton (sultan atau susuhunan). Pada 1844, 14 tahun setelah perang Jawa (sabilolah Dipanegara), Karaton Surakarta Hadiningrat mengangkat Ranggawarsita (42 tahun) sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom, atau Kliwon Carik, atau Pujangga Karaton, dengan gelar resmi Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Selanjutnya, Ki Herman menguliti arti Ranggawarsita. Buyut Raden Mas Burhan –nama kecil Ranggawarsita– adalah Pangeran Wijil dari lingkungan ulama Kadilangu, Demak Bintara, seorang pelestari Kitab Jayabaya Kidung, dengan menuliskannya kembali dari tradisi lisan. Jika silsilah Pangeran Wijil ditelusuri ke atas, akan sampai ke Bagus Kasan atau Raden Patah atau Pangeran Jinbun, putra dari Prabu Brawijaya V, sultan terakhir Majapahit.
Keturunan Pangeran Wijil adalah Raden Ngabehi Yasadipura I, yang berputra Raden Ngabehi Yasadipura II, pujangga di lingkungan Kraton Surakarta sekaligus senapati tempur era perang Jawa. Dia bergelar Raden Tumenggung Sastranegara memimpin pertempuran di timur pesisir utara Jawa. Usai peperangan, dia dihukum mati di Batavia dan dimakamkan dengan nama kecilnya, Sayyid Abubakar, di kompleks pemakaman keramat Luar Batang, Jakarta.
Peran Mas Burhan tak beda dengan ayahnya, Sayyid Abubakar, maupun leluhurnya. Nama Ranggawarsita berasal dari kata rangga (senapati, panglima, komandan pertempuran) dan warsita (wacana, wejangan, pengetahuan hidup, episteme).
“Nama ini menunjukkan para pemimpin tanah Jawa mengubah strategi peperangannya melawan kumpeni. Selepas peperangan fisik di perang Jawa, maka peperangan dengan kumpeni berubah menjadi peperangan pengetahuan,” kata Ki Herman.
Itulah sebabnya mengapa Mas Burhan diberi gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, bukan Yasadipura III. Hal ini terbukti dengan bangkitnya semangat menuliskan kembali peninggalan pengetahuan Jawa. Bersamaan era dengan Ranggawarsita adalah Kangjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV (1809-81) dari Pura Mangkunegaran, Surakarta, sastrawan-penyair yang juga banyak pengaruhnya.
Ranggawarsita memiliki murid-murid orang asing, terdiri dari pegawai bahasa di Surakarta seperti CF Winter, JFC Grricke, dan Dr Falmer Van Den Broug. Mereka belajar bahasa dan kesusastraan Jawa kepada Ranggawarsita. Sebaliknya Ranggawarsita juga banyak belajar kesusastraan barat dari mereka. Selama hidupnya, Ranggawarsita telah banyak menghasilkan karya-karya yang tidak hanya bersifat kesusastraan, tapi juga mengandung unsur hukum, ekonomi, filsafat, sejarah, kebatinan, kemasyarakatan, ramalan, dan lain sebagainya. Karyanya antara lain Serat Paramayoga, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Sabda Jati, Serat Sabdatama, Serat Jaka Lodhang, Serat Wedharaga, atau Serat Kalatida.
Perlawanan epistemik Ranggawarsita, kata Ki Herman, diikuti pula dengan strategi para pemimpin tanah Jawa untuk mengirimkan ulama-cendikiawannya ke sekolah-sekolah di mancanegara. Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat mengirimkan para ulama-cendikiawannya ke Mekah untuk menyempurnakan pengajaran dan penyebaran agama Islam. Di Mekah mereka membantu proses belajar-mengajar di Gedung Wakaf Mataram, yang dibubarkan oleh rezim Ibnu Saud yang mengakuisisi tanah Haramain dari juru kunci keluarga Syarif Makkah pada 1912. Semua penghuni Gedung Wakaf Mataram diusir dan mengungsi ke Madinah, lalu pulang kembali ke tanah air.
Di tanah air, para ulama-cedekiawan menyempurnakan pendidikan pesantren internal kraton. Seperti, Daroel Oeloem di lingkungan Kraton Ngayogya dan Mambaoel Oeloem di lingkungan kraton Surakarta. Pura Mangkunegaran Surakarta dan Pakualaman Ngayogyakarta juga mengirim ulama-cendikiawannya ke Belanda. Di sana mereka mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan barat. Di tanah air, mereka merintis berdirinya sekolah-sekolah barat bagi pribumi.
Namun, strategi kebudayaan peradaban Jawa (Nuswantara) ini sepertinya diketahui oleh kumpeni. Mereka menghadapi ekspansi pengetahuan tradisi ini dengan antisipasi berupa gerakan etische politiek (politik etis), politik balas budi dengan mendirikan sekolah rendah untuk pribumi yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan dalam lingkungan administrasi kumpeni.
“Kumpeni menembak mati Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dianggap terlalu berbahaya bagi kolonialisme. Dia mengikuti jejak ayah dan leluhurnya sebagai rangga atau komandan pertempuran. Maka sang panglima peperangan pengetahuan Jawa itu gugur pada 24 Desember 1873 dan dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,” pungkas Ki Herman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar