Masuk Daftar
My Getplus

Mengurai Akar Kejahatan Korupsi

Korupsi termasuk dalam tindak kriminal purba. Perlu kemauan politik dari pemerintah untuk memberantas kejahatan luar biasa ini.

Oleh: Andri Setiawan | 29 Mei 2021
Gedung KPK. (kpk.go.id).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menjadi perhatian publik. Kendati menuai kontrovesi karena diduga hendak mendepak 75 pegawainya melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), KPK justru memberhentikan 51 di antara pegawai itu mulai 1 November 2021. Hal ini bertentangan dengan amanat Presiden Joko Widodo bahwa TWK hendaknya tak jadi alasan pemecatan.

Upaya pemberantas korupsi di Indonesia selalu mengahapi ujian. Beragam badan anti rasuah berdiri namun akhirnya runtuh juga. Korupsi menjadi momok yang terus menghantui sejak republik berdiri. Bagaimana korupsi bermula dan bagaimana pula upaya untuk memberantasnya?

Pegiat anti-korupsi Sely Martini dalam Dialog Sejarah “Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi di Indonesia” di saluran Youtube dan Facebook Historia, Jumat, 28 Mei 2021, menyebut bahwa korupsi termasuk dalam tindak kejahatan purba, sama seperti mencuri. Setidaknya ada tiga penyebab seseorang melakukan tindak korupsi.

Advertising
Advertising

Pertama, adanya kebutuhan atau by need. Seseorang mengambil keuntungan dari penyalahgunaan wewenang karena desakan ekonomi. Hal ini menjadi alasan pemerintah memunculkan ide seperti misalnya menaikan gaji aparat sipil negara agar tidak mengambil keuntungan lagi.

“Namun, kita bisa lihat itu sekarang ketika (telah dilakukan) birocratic reform, gaji ini naik, ternyata mereka masih saja corrupt behavior-nya itu ada,” ujar Sely.

Baca juga: Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi

Hal itu menerangan bahwa ada penyebab lain, yakni keserakahan atau by greed. Perilaku serakah ini jika telah masuk ke dalam sistem, akan menyebabkan tindak korupsi yang terencana dan tidak hanya dilakukan satu orang atau tindak korupsi by design, yang membuat korupsi ini bisa disebut sebagai kejahatan luar biasa.

Menyambung Sely, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menjelaskan bahwa korupsi merupakan persoalan multidimensi yang tidak dapat dilihat sebagai masalah yang hanya disebabkan oleh satu hal saja.

“Misalnya kalau dalam konteks Indonesia yang relijius, ada yang mengatakan karena masyarakatnya, politisinya, pejabatnya imannya kurang. Bukan itu sebenarnya. Bisa jadi itu masalah, akan tetapi karena korupsi itu persoalan multidimensi, maka cara kita melihat korupsi juga harus dengan multiperspektif,” terang Adnan.

Dari sudut pandang politik, jelas Adnan, korupsi terkait dengan bagaimana kekuasaan dikelola. Kekuasaan yang dikelola dengan buruk dan melahirkan kekuasaan yang lebih besar, maka peluang korupsi akan muncul.

Sementara dari sudut pandang administrasi publik, korupsi juga menunjukan bahwa pengaturan dan pengelolaan administrasi publik di sebuah negara itu buruk. Hal ini bisa dilihat dari standar pelayanan publik, bagaimana birokrasi dikelola hingga bagaimana pegawai digaji.

Dari sudut pandang hukum, korupsi bisa dilihat dari bagaimana hukum suatu negara bekerja atau tidak. Sedangkan dari sudut pandang sosiologi, korupsi juga dapat ditinjau dari bagaimana korupsi itu sendiri telah menjadi budaya.

“Kalau ditanya bagaimana cara menyelesaikannya, tentu harus ada upaya yang paralel, yang bekerja sama untuk menangani masalah ini,” kata Adnan.

Baca juga: Mental Korupsi Pejabat Pribumi

Adnan menyebut bahwa sejarah pemberantasan korupsi sejak Indonesia berdiri hingga pasca-Reformasi mengalami pengulangan-pengulangan yang tidak perlu. Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak pernah mengalami lompatan yang bisa mengentaskan Indonesia dari kejahatan luar biasa ini. Bahkan, lanjutnya, korupsi sekarang disertai dengan magnitude yang semakin besar, mulai dari modus operandinya, aktor yang terlibat, hingga setting politik baru yang terdesentralisasi.

“Ini semua sebenarnya merupakan fitur-fitur baru yang belum kita lihat pada problem korupsi yang terjadi pada era Orde Lama, misalnya, atau bahkan Orde Baru yang cenderung tersentralisasi korupsinya,” ungkap Adnan.

Adnan menegaskan bahwa karena korupsi merupakan masalah mutidimensi, maka pendekatan pemberantas korupsi tidak bisa hanya menggunakan KPK. KPK sendiri didirikan karena problem korupsi berangkat dari atas yang kemudian menyebar ke berbagai sektor di bawahnya.

“Oleh karena itu yang di atas harus dibereskan. Dengan cara apa? Dengan cara mendirikan badan anti korupsi yang independen. Yang nggak bisa diatur oleh pemerintah. Karena kalau diatur, akan jadi polisi, akan jadi jaksa. Dua lembaga yang sudah ada sejak lama tapi dianggap tidak berhasil dan tidak berdaya dalam menangani korupsi,” jelas Adnan.

Di luar KPK, Adnan menekankan, perlu adanya upaya-upaya lain. Upaya pemberantasan korupsi ini harus datang dari pemerintah yang berkuasa. Sayangnya, upaya pemeberantas korupsi di Indonesia selama ini justru bottom up atau datang dari masyarakat karena absennya kemauan politik dari negara.

Ketika Ode Baru jatuh, momentum upaya pemberantasan korupsi mencapai puncaknya. Namun, momentum itu kehilangan konteks karena terjadi konsolidasi politik yang melawan kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi

Ketika KPK berdiri dan diberi independensi untuk memberantas korupsi di tingkat high profile corruption dan memasuki ranah penegakan hukum, ketika itu pula musuh baru muncul. Hal ini, lanjut Adnan, memang tidak bisa dihindari dan menjadi masalah pula di badan-badan anti korupsi independen di berbagai negara.

“Sudut pandang melihat KPK itu juga harus diletakkan dalam bagaimana struktur ekonomi politiknya memberikan dukungan atau tidak. Tanpa itu, kalau hanya dengan dukungan masyarakat saja, maka ya kita bisa melihat hari ini,” terangnya.

Kepercayaan terhadap KPK sebenarnya tinggi dan telah mendapat respect dari dunia. Namun, Adnan menambahkan, jika memang tidak ada kemauan politik dari pemerintah berkuasa dan hanya mengandalkan dukungan masyarakat, pada akhirnya KPK akan lumpuh

TAG

korupsi kpk

ARTIKEL TERKAIT

Permina di Tangan Ibnu Sutowo Gubernur Jenderal VOC yang Dituduh Korupsi Jatuh Bangun Pemberantasan Korupsi Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Anak Tiran Masuk Istana Korupsi di Perguruan Tinggi Mengadili Jenderal Polisi Surya Darmadi Sebelum Menjadi Pengusaha Sawit Tugas Negara Harry Tansil