Presiden Joko Widodo memilih menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember 2019 di SMKN 57 Jakarta. Dalam sesi tanya jawab, seorang siswa bertanya mengapa negara tidak berani menghukum mati koruptor?
Jokowi menjawab bahwa kalau masyarakat berkehendak, hukuman mati bagi koruptor dapat diakomodasi dalam revisi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sebenarnya hukuman mati sudah ada dalam UU Tipikor, yaitu Pasal 2 ayat (2) bahwa pidana mati dapat dijatuhkan bila korupsinya dalam “keadaan tertentu.” Dalam penjelasannya diterangkan bahwa maksud “keadaan tertentu” adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Selama ini memang belum ada koruptor yang dihukum mati. Terlebih hukuman mati menjadi perdebatan terutama di kalangan pegiat hak asasi manusia. Dalam hal korupsi, mirisnya, pemerintah malah memberikan grasi (keringanan hukuman) kepada para koruptor.
Baca juga: Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi
Dalam sejarah, hukuman mati terhadap koruptor pernah diberlakukan oleh Marsekal Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat singkat (1808-1811).
Sejarawan Onghokham menyebut Daendels sebagai penguasa Belanda pertama (saat itu Belanda di bawah Prancis) yang membawa konsep negara modern ke Hindia Belanda. Negara modern ini mengenal batas-batas daerah, wilayah, hierarki kepegawaian, serta tindakan antikorupsi dan penyelewengan lain yang menjadi kelaziman pada zaman VOC.
“Korupsi di antara pejabat Belanda di koloni menjadi sasaran Daendels, yang lalu terkenal sebagai Tuan Besar Guntur,” tulis Onghokham dalam buku kumpulan tulisannya, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang.
Baca juga: Sepuluh Fakta di Balik Pembangunan Jalan Daendels
Dalam makalahnya yang disampaikan di Kongres Nasional Sejarah 1996, Onghokham menjelaskan bahwa Daendels memiliki obsesi untuk menghilangkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dia melihat korupsi sebagai konflik kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Baginya korupsi merusak hierarki para pejabat Hindia Belanda dan efisiensi pemerintahan. Misalnya, karena korupsi gubernur Belanda di Jawa Barat dan gubernur pantai utara Jawa memiliki kekuasaan lebih besar dari gubernur jenderal di Batavia. Para pejabat rendahan yang korup dan menguasai penghasilan haram juga memiliki kekuasaan yang nyata dan lebih besar daripada atasannya yang juga mereka suap.
Djoko Marihandono, pengajar Program Studi Prancis di Universitas Indonesia, menerangkan bahwa Daendels menerapkan hukuman yang berat kepada para koruptor. Jika terbukti di pengadilan, mereka akan dihukum membayar denda, dicopot dari jabatannya, bahkan dihukum mati.
Selain itu, beberapa pejabat yang melakukan korupsi dihukum dengan cara dipermalukan di depan umum dengan cara diikat dan dipertontonkan kepada masyarakat. Tujuannya agar menjadi pembelajaran. Sepertinya boleh juga hukuman dipermalukan diterapkan sekarang. Tapi kan, koruptor sudah tak punya malu. Buktinya ketika ditangkap KPK masih bisa tersenyum dan merasa sedang mendapat ujian dari Tuhan.
Baca juga: Kisah Basri Masse, Warga Indonesia yang Dihukum Mati Malaysia
Menurut Djoko, hukuman mati akan diberlakukan kepada koruptor bila terbukti merugikan negara sebesar 3.000 ringgit ke atas atau setara dengan gaji satu bulan ketua Raad van Indie (Dewan Hindia).
“Hukuman mati dijalankan dengan cara ditembak sampai mati. Hukuman ini dijalankan oleh Daendels,” tulis Djoko dalam “Penerapan Gagasan Revolusi Prancis Awal Abad XIX: Pemberantasan Korupsi di Hindia Timur,” termuat di Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal, apabila seseorang bersalah dan pengadilan menghukum terdakwa dengan hukuman mati, maka putusan itu harus memperoleh persetujuan dari Gubernur Jenderal.
Nahasnya, hukuman mati itu justru menimpa Kolonel JPF Filz, perwira yang diandalkan Daendels. Itu pun bukan karena korupsi secara langsung, melainkan karena dia dianggap bertanggung jawab atas kerugian negara.
“Filz adalah perwira yang dipercaya oleh Daendels untuk mempertahankan Maluku,” tulis Djoko Marihandono dalam Sejarah Benteng Inggris di Indonesia.
Kolonel Filz dari Prancis reputasinya tak diragukan. Dia memimpin pasukan cukup besar, mencapai 1.500 orang gabungan serdadu Belanda dan milisi Jawa dan Madura, di benteng Victoria. Namun, pada 16 Februari 1810, sekitar 600 tentara Inggris dan India di bawah Mayor Henry Court menyerang benteng Victoria. Pasukan ini bagian dari armada yang dipimpin Laksamana Madya William O’Bryen Drury yang berlayar dari Bombay, India.
Kolonel Filz tidak memberikan perlawanan yang berarti. Dia malah menarik pasukannya dari benteng Victoria ke Teluk Laetitia di Bukit Batu Gantung, dan membangun pertahanan di sana.
“Akan tetapi pertahanan ini tidak berlangsung lama dan segera dipatahkan. Akhirnya Kolonel Filz menyerahkan seluruh Pulau Ambon kepada Court,” tulis Djoko. Penyerahan ini diikuti oleh sejumlah pulau di sekitarnya pada 19 Februari 1810.
Baca juga: Hukuman Kejam dari Sultan Aceh
Pada Mei 1810, Daendels menerima berita jatuhnya Ambon dan pulau-pulau sekitarnya ke tangan Inggris. Dia terpukul karena Ambon merupakan pangkalan terkuat di wilayah timur dengan benteng-bentengnya, seperti benteng Victoria yang dipimpin oleh perwira andalannya, Kolonel Filz.
Setelah dilepaskan Inggris, Filz kembali ke Batavia. Daendels menyeretnya ke Mahkamah Militer yang menjatuhkan hukuman mati. Menurut laporan Inggris, Filz dihukum mati karena tidak mampu mempertahankan Maluku. Namun, menurut versi Belanda, Filz dihukum mati karena mengorbankan semua kekayaan negara di sana tanpa bisa menyelamatkannya.
“Tekanan pada kekayaan negara ini lebih layak dipercaya, mengingat Cranssen (gubernur Belanda di Ambon) yang menyerah kepada Inggris tetapi mampu mengirim rempah-rempah ke Jawa dibebaskan dan bahkan menerima penghargaan. Jadi, prioritas Daendels adalah mengorbankan pertahanan luar Jawa,” tulis Djoko.
Mahkamah Militer mendakwa Filz telah merugikan negara karena tidak dapat menyelamatkan rempah-rempah milik negara dari serangan Inggris. Mahkamah menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena merugikan negara lebih dari 3.000 ringgit. Dia dihukum mati dengan cara ditembak pada 10 Juni 1810.