PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) dan tiga anak perusahaannya (PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijay) adinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 24 Oktober 2024. Perusahaan yang didirikan oleh Loo Kie Hian atau H.M. Lukminto ini berawal dari UD Sri Redjeki, kios di pasar Klewer yang berdagang tekstil sejak tahun 1966. Pada 1980, UD Sri Redjeki berubah menjadi PT Sritex yang berkantor pusat di Sukoharjo, Jawa Tengah. Melalui kerja keras Lukminto, Sritex akhirnya memiliki pabrik pertama yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Maret 1992.
Hermawan Kertajaya dan Ardhi Ridwansyah dalam Local Champion menyebut Sritex kemudian menjadi pabrik tekstil terpadu terbesar di Asia Tenggara. Sritex menempati lahan 130 hektare dengan 50 gedung dan 30.000 karyawan (kini mencapai 50.000) serta memiliki 15 anak perusahaan.
Baca juga: Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa
Sritex merupakan partner resmi di luar Eropa yang dipilih NATO untuk memproduksi perlengkapan militer beberapa negara anggotanya antara lain untuk Angkatan Bersenjata Jerman dan Inggris. Sritex juga dipercaya memproduksi seragam militer TNI dan Polri. Sritex memproduksi seragam militer lebih dari 30 negara.
“Tak hanya berurusan dengan pakaian seragam dan baju militer, Sritex juga sangat kuat dalam memproduksi kain-kain untuk merek-merek ritel dan fesyen besar. Di bisnis feysen, Sritex memiliki partner bisnis di 40 negara,” tulis Hermawan dan Ardhi.
Sritex bisa besar karena ditopang oleh penguasa Orde Baru. Pemegang sahamnya adalah Menteri Penerangan Harmoko, teman kecil Lukminto, dan keluarga Cendana, yaitu Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri Presiden Soeharto, serta Angkatan Darat –sumber lain menyebut yayasan milik Kopassus. Oleh karena itu, Sritex dengan mudah mendapatkan pesanan dari pemerintah. Pabrik garmen ini memproduksi baju militer, kepolisian, Korpri, dan atribut Partai Golkar yang ketuanya Harmoko.
George Junus Aditjondro dalam Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau menyebut adik laki-laki paling muda Harmoko, Noor Slamet Asmoprawiro, memegang saham di berbagai perusahaan dan bekerja sama dengan pemegang saham mayoritas Sritex, Lukminto.
Baca juga:
Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)
Kebesaran Sritex tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan buruhnya. Mereka digaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Tengah. Oleh karena itu, pada 11 Desember 1995 sekitar 14.000 buruh Sritex melakukan aksi demonstrasi terbesar.
Aditjondro mencatat, mereka menuntut UMR harus naik sampai Rp70.000 per bulan, buruh perempuan harus diberikan cuti haid, kondisi kerja harus diperbaiki, serta praktik pemberian sanksi berupa pengurangan gaji bagi buruh yang tidak masuk kerja tanpa memperhatikan alasan harus dihapus. Aksi demonstrasi ini diorganisir oleh Persatuan Rakyat Demokratik (PRD kemudian dideklarasikan sebagai partai pada 22 Juli 1996), Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI).
Baca juga:
Baca juga:
Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)
Buku Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik (PRD) Menolak Takluk, terbitan PRD menyebut pemogokan buruh Sritex ini dipimpin langsung oleh Dita Indah Sari (PPBI) dan Budiman Sudjatmiko (PRD).
Pemogokan buruh Sritex ini berakhir dengan bentrokan. Aditjondro menyebut militer secara brutal mematahkan para demonstran, yang menyebabkan Wiji Thukul, seorang sastrawan dan salah satu ketua organisasi onderbouw PRD, kehilangan penglihatannya.
“Keduanya (Dita Indah Sari dan Budiman Sudjatmiko) ditangkap oleh aparat militer setempat bersama puluhan aktivis lainnya. Wiji Thukul, pimpinana JAKKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) dipukul popor matanya hingga buta,” tulis PRD.
Aditjondro menyebut bentrokan ini membuat Sritex lebih diekspos. Dua hari kemudian 100 orang anggota SMID menyelenggarakan demonstrasi solidaritas di dalam kampus Universitas Tadulako di Palu, Sulawesi Tengah.*