PRD dalam Pemilu 1999
Dilarang penguasa Orde Baru, PRD dijegal pasca-Reformasi.
Geliat politik di tanah air kian seru seiring makin dekatnya pemilihan umum (pemilu) 2024. Terbaru, kegaduhan terjadi di tubah partai penguasa, PDIP, lantaran manuver salah satu kadernya. Alih-alih mendukung Ganjar Pranowo yang diusung partainya menjadi bakal calon presiden, Budiman Sudjatmiko, sang kader itu, malah mendukung Prabowo Subianto yang diusung Gerindra.
Akibatnya, pimpinan PDI-P mengambil tindakan. Hari ini, Senin (21/8/2023), Dewan Pimpinan Pusat PDIP akan mengumumkan status keanggotaan Budiman.
“Opsinya mengundurkan diri atau menerima sanksi pemecatan,” kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, sebagaimana diberitakan kompas.com, 21 Agustus 2023.
Sikap Budiman tentu mengundang pertanyaan, tak kurang cibiran, banyak pihak. Pasalnya, ia mendukung calon yang di masa Orde Baru (Orba) berkuasa merupakan militer aktif, lawan politik Budiman dan aktivis-aktivis lain yang mengusung demokrasi sekaligus menentang kediktatoran Soeharto. Militer pula yang menangkapi para aktivis pro-demokrasi macam Budiman.
Baca juga: Hasto dan Budiman Punya Gen Samaritan
Kegelisahan para pemuda
Sekelompok pemuda gelisah. Mereka melihat bahwa Jenderal Soeharto berkuasa di Republik Indonesia sudah tiga dekade. Di antara anak muda itu ada pemuda-pemuda yang pernah kuliah di jurusan sejarah. Mereka kritis dalam memandang sejarah hingga menganggap Soeharto adalah diktator.
Sekelompok pemuda itu lalu berkumpul di Sleman sekitar 15 April 1996. Mereka mendirikan sebuah partai bernama Partai Rakyat Demokrat (PRD) kendati baru dideklarasikan pada 22 Juli 1996. Azas partainya sosial-demokrat-kerakyatan. Mereka tak menentang Pancasila.
Kemunculan PRD jelas mengusik pemerintah Orba yang telah lama nyaman dengan hanya dua partai politik plus satu golongan karya. Sebagai respon terhadap kemunculan PRD, pemerintah mengecap PRD sebagai titisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang telah dihabisi Orba tiga dekade sebelumnya. PRD pun dijadikan pemerintah sebagai musuh bersama dengan dalih komunis.
Maka kendati usia PRD belum genap seminggu, para pemimpinnya mulai digulung oleh aparat. Operasi itu berjalan setelah penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 oleh para preman yang dibekingi aparat, dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli. Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko, Sekretaris Jenderal Petrus Haryanto, dan aktivis-aktivis PRD lain dikenai pasal subversif.
“Para fungsionaris PRD tersebut dijatuhi hukuman penjara, kecuali Widji Thukul, salah satu deklarator PRD,” catat Sri Bintang Pamungkas dalam Menggugat Dakwaan Subversi: Sri-Bintang Pamungkas di Balik Jeruji Besi.
Mereka dihukum antara 4,5 hingga 13 tahun penjara sebagai tahanan politik (tapol) di Penjara Cipinang. Namun, Widji Thukul hilang tak pernah kembali bahkan ketika rezim Orba tumbang pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya presiden Soeharto dari kursi kepresidenannya.
Satu persatu tapol –termasuk tapol G30S, yang tiga di antaranya jadi lolos dari hukuman mati– di Cipinang kemudian dibebaskan pada masa pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Wilson adalah aktivis Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan juga bagian dari PRD sebelum Kudatuli yang cukup awal dibebaskan oleh Presiden Habibie.
“Waktu gua dapat amnesti, itu kan gua tolak,” aku Wilson, yang dapat amnesti pada 24 Juli 1998, kepada Historia.
Dari sekian tapol PRD kala itu, hanya Wilson dan Ken Ndaru saja yang dibebaskan. Hal itu membuat Wilson angkat bicara. Menurutnya, yang dibebaskan seharusnya tak hanya dirinya dan Ken Ndaru.
“Terus gua mengunci diri di dalam sel. Gua minta supaya seluruh tapil/napol dapat amnesti. Tidak hanya gua sama Ken Ndaru berdua,” sambung Wilson, yang mengunci diri di dalam selnya dengan gembok yang diusahakan oleh Xanana Gusmao, tapol terkait aktivitasnya sebagai pemimpin Fretilin di Timor Leste.
Wilson kalah dan harus mau keluar. Di luar penjara, Wilson meneruskan di kegiatannya di PRD yang tidak lagi menjadi partai terlarang.
Di masa pemerintahan Presiden Habibie, Pemilu diadakan pada 1999. Pemilu kali ini berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Jika di zaman Orba hanya ada dua partpol dan satu golongan karya yang jadi peserta pemilu, dalam Pemilu 1999 itu i ada 48 peserta, termasuk PRD.
Namun meski ikut Pemilu, PRD tidak bisa berkampanye dengan baik. Sebab, ketua umum dan sekretaris jenderalnya masih berada di Cipinang.
“Pemilu kampanyenya di dalam penjara,” aku Petrus Haryanto.
Bersama Budiman, Petrus termasuk yang terakhir dibebaskan. Kekhawatiran terhadap bebasnya pemimpin PRD tampaknya masih kuat sehingga banyak yang tak rela jika partai yang dicap kiri itu berjaya dalam Pemilu 1999. Alhasil, PRD hanya dapat 78.730 suara dan berada di urutan 40 dari 48 peserta Pemilu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar