Hasto dan Budiman Punya Gen Samaritan
Dalam Alkitab ada kisah orang Samaritan yang baik. Siapakah orang Samaritan itu?
Proyek DNA Historia mengajak delapan orang figur publik untuk ikut serta dalam tes DNA. Dua di antaranya politisi PDI Perjuangan: Hasto Kristiyanto dan Budiman Sudjatmiko. Hasilnya, sebagian besar DNA moyangnya berasal dari Asia Timur. Yang menarik, keduanya memiliki jejak moyang Timur Tengah, yaitu Semitik yang kemungkinan besar dari orang-orang Samaria (kini di Palestina).
“Saya tidak kaget. Sejak awal saya meyakini bahwa Nusantara adalah titik temu dari berbagai ras, etnis, dan peradaban dunia. Sehingga kita tidak bisa mengatakan diri kita asli. Inilah kita semua, perpaduan dari berbagai etnis dunia,” kata Hasto Kristiyanto dalam pembukaan pameran ASOI (Asal Usul Orang Indonesia) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Oktober 2019.
Sementara Budiman Sudjatmiko merasa terkejut memiliki DNA dari Samaritan. “Saya terkejut, kok, satu partai sama-sama turunan, kalau dalam Alkitab, Yesus menyebut The good Samaritan, yaitu orang Samaria yang baik. Orang Samaria yang menolong sesamanya tanpa melihat asal usul dan agamanya, dan kelihatannya cocok dengan ideologi kita, Bung Hasto,…Marhaenisme,” kata Budiman sambil tertawa.
Menurut Akhmad Sahal, kandidat doktor University of Pennsylvania, tulisan ini cukup menjelaskan, setidaknya sebagai pengantar tentang Samaritan. Tapi yang menjadi pertanyaan bagaimana Samaritan bisa “nyelonong” ke manusia Indonesia.
“Samaritan memang punya pertautan dengan Yahudi, tapi sebagian besar silsilah Yahudi itu bukan Samaritan. Apakah penyebutan Samaritan untuk DNA yang nyelonong ke orang Indonesia tersebut memang Samaritan, atau Yahudi? Saya kok cenderung percaya itu Yahudi, gak spesifik Samaritan. Tapi kan kalau disebut Yahudi takutnya kontroversial,” kata Sahal kepada Historia.
Siapakah Orang Samaritan?
Pada zaman kuno, bangsa Yahudi terbagi menjadi Kerajaan Israel di Utara dan Kerajaan Yudea di Selatan. Pada 722 SM, Kerajaan Utara ditaklukkan Kerajaan Assyria.
“Sepuluh suku di bagian utara Israel diusir, dipaksa untuk bergabung dan, dengan dasar agama dimusnahkan. Kesepuluh suku yang hilang itu selamanya lenyap dari sejarah,” tulis Karen Armstrong dalam Perang Suci dari Perang Salib hingga Perang Teluk.
Orang Yahudi yang menetap bercampur dengan orang-orang Assyria. Kaum campuran inilah yang menjadi orang Samaritan.
Menurut Steve Olson dalam Mapping Human History: Gen, Ras, dan Asal Usul Manusia, orang Samaritan memiliki Kitab Taurat yang sampai sekarang masih ditulis dalam salah satu alfabet Semitik kuno. Mereka menjalankan ajaran-ajaran kitab itu sebelum jatuhnya Kerajaan Yehuda di Selatan ke tangan Kerajaan Babilonia pada 587 SM.
Baca juga: Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan
“Akan tetapi, ketika kaum Yehuda mulai kembali ke Israel dari pengasingannya di Babilonia, mereka tidak pernah menerima orang Samaritan sebagai kaum Yahudi dan menolak tawaran untuk bersatu dengan orang Samaritan. Sejak saat itu, dua tradisi Yahudi ini berjalan sendiri-sendiri dengan sejumlah persamaan dan perbedaan,” tulis Steve Olson.
Yonky Karman, pendeta dan pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menyebutkan bahwa meski orang Samaritan menganut agama Yahudi, tetapi orang Yahudi menganggap agama Yahudi yang dianut mereka tidak murni lagi. Permusuhan antara orang Yahudi dan orang Samaritan meruncing ketika orang Samaritan mendirikan Bait Allah sendiri di Gunung Gerizim. Sedangkan orang Yahudi memiliki tempat suci di Yerusalem.
“Di antara kelompok di luar Yahudi yang tidak dianggap sesama, mungkin orang Samaria yang paling tidak disukai oleh orang Yahudi,” tulis Yonky Karman dalam Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian: Menjadi Gereja Bagi Sesama.
Kendati demikian, Steve Olson mencatat bahwa salah satu persamaan antara orang Yahudi dan orang Samaritan adalah sama-sama pernah mengalami sejarah penyiksaan. Komunitas-komunitas Samaritan yang hidup di bawah Kerajaan Romawi mengalami penganiayaan secara kejam. Sementara itu, komunitas-komunitas Samaritan di Syiria dan Mesir telah punah, dan pada akhir abad ke-19, jumlah total orang Samaritan hanya 150 orang.
Baca juga: Mengukur Kemurnian Manusia Indonesia
Pada abad ke-21, lanjut Steve Olson, komunitas Samaritan mulai tumbuh lagi. Jumlah mereka sekarang lebih dari 600 orang. Setengahnya tinggal di Kota Holon di luar Tel Aviv, sedangkan setengahnya lagi di Bukit Gerizim.
Orang Samaritan terkenal paling ketat dalam perkawinan seiman. Mereka menjaga tradisi itu selama lebih dari 2.000 tahun. Kini mereka memiliki lima garis keturunan lelaki, dua di Bukit Gerizim, dua di Holon, dan satu lagi berada di antara kedua komunitas.
Bagaimana dengan orang Samaritan yang berdiaspora? Situs Mashfeht Baanee Yaashaaron menyebut orang Samaritan melarikan diri dari penindasan dan perang ke Italia dan Kroasia pada awal abad ke-6.
Orang Samaritan bermigrasi ke Amerika pada abad ke-19. Menariknya, ada yang ke Indonesia pada abad ke-21, yaitu Yaqob bar-Karoza yang tinggal bersama istri dan anaknya di Surabaya. Dalam wawancara dengan minanews.net, Yaqob menyebut jumlah Samaritan sekarang kurang dari seribu orang di seluruh dunia.
The Good Samaritan
Di awal tulisan, Budiman Sudjatmiko menyebut The good Samaritan. Seperti apa kisahnya?
Yonky mengisahkan bahwa dalam kitab Alkitab, Yesus bercerita tentang seorang Yahudi yang dalam perjalanan dari Yerusalem menuju Yerikho menjadi korban perampokan dengan kekerasan. Ia tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan tak berdaya. Kemudian lewat seorang imam dan seorang Lewi. Keduanya orang Yahudi yang tergolong rohaniawan. Imam adalah orang yang memimpin ibadah dan upacara kurban di Bait Allah Yerusalem. Sedangkan orang Lewi yang membantu imam bertanggung jawab atas musik dalam ibadah dan keamanan bangunan-bangunan di kompleks Bait Allah.
Imam dan orang Lewi itu melihat orang yang tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan mengenaskan. Bukannya berhenti menolongnya, mereka malah menempuh jalan lain. Sebagai manusia, mereka mungkin simpati pada korban. Namun, mereka tidak mau repot dan ingin menghindari masalah yang mungkin akan timbul. Kemudian lewatlah orang Samaritan yang paling tidak disukai oleh orang Yahudi.
“Nyatanya, ia memberi pertolongan. Simpati yang dimiliki imam dan orang Lewi berhenti sebagai simpati," tulis Yonky. "Namun, simpati orang Samaria melahirkan aksi. Simpati memang baik, nasihat juga baik. Yang terbaik tentu saja pertolongan konkret."
Orang Samaritan itu menolong seadanya: mencuci luka orang Yahudi itu dengan anggur dan minyak, membalut lukanya, dan membawanya ke penginapan untuk dirawat lebih lanjut. Setiba di penginapan, ia masih merawatnya dan menginap semalam. Ia pergi meninggalkan korban karena ada urusan yang harus diselesaikan. Namun, ia sempat menitipkan sejumlah uang kepada pemilik penginapan sebagai biaya untuk merawat korban selama ia pergi. Setelah urusannya selesai, ia berjanji akan kembali dan membayar segala kekurangannya.
“Orang Samaria dalam cerita Yesus telah berhasil menjadi sesama bagi orang yang memerlukan uluran tangan,” tulis Yonky. “Ia telah menjadi sesama bagi orang yang malang itu, sedangkan imam dan orang Lewi belum menjadi sesama kendati kesamaan etnis dan agama.”
Setiap orang bisa menjadi The good Samaritan dengan berempati, bersimpati, dan yang lebih penting beraksi untuk kebaikan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar